Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. – QS Al Hajj – 46
Ada beberapa mosaik dan kenangan dalam hidup yang tak akan pernah saya lupakan. Tentang hubungan antar sesama manusia, tentang bagaimana saling menghormati keyakinan satu sama lain.
Kira-kira 3 tahun lalu saya sedang dalam ekspedisi dari Palu menuju Kepulauan Togean. Saya dan rombongan singgah sejenak di Taman Nasional Lore Lindu dan ditampung oleh Jagawana bernama Pak Bakti. Kami disambut di rumahnya yang begitu sederhana, bertingkat 2 dengan dinding belum diplester. Kami ditempatkan di lantai bawah, sementara keluarga beliau di atas.
Layaknya kebiasaan keluarga-keluarga yang tinggal di dalam area Taman Nasional, setiap malam sekeluarga berdiang di depan api unggun kecil di halaman. Kami pun demikian, menyatu dengan keluarga Pak Bakti. Malam tak ada listrik, genset yang ada hanya cukup untuk lampu di rumah, lainnya tidak.
Ketika kami menikmati teh panas dan menghangat diri di depan api, pelan-pelan Pak Bakti mengajak saya ke belakang.
“Mas, saya mau sembelih ayam tidak berani. Takut mas tidak bisa makan karena tidak halal” katanya sambil menunjukkan beberapa ekor ayam peliharaannya yang akan disembelih. “Mas sembelih sendiri ya? Saya bantu caranya.”
Saya tercekat. Rasanya ada semacam rasa hangat yang pelan-pelan menjalar di hati. Saya hanya bisa berterima kasih kepada Pak Bakti, tidak ada kata yang pantas selain ucapan terima kasih.
Kenapa saya bilang peristiwa tersebut akan sangat terkenang. Karena untuk pertama kalinya saya diperlakukan begitu baik sebagai manusia. Hati saya disentuh dengan kehangatan luar biasa oleh keramahan dan senyum Pak Bakti.
—
Toleransi memang adalah salah satu hal yang saya dapatkan ketika traveling. Atas pengalaman-pengalaman yang saya alami setiap saya berjumpa dengan banyak orang, saya pun dalam setiap perjalanan mencoba untuk berbagi pengalaman dan kebaikan. Untuk menumbuhkan sikap saling menghormati satu sama lain dan/atau memanusiakan manusia.
Perjalanan bagi saya membawa toleransi ke level tataran praksis, bukan sekedar teori. Kejadian-kejadian yang dialami akan mengakibatkan banyak benturan budaya yang akan membawa hati atau pikiran untuk mencoba memberi ruang, beradaptasi atau kelak bertoleransi dengan keadaan tersebut.
Pertama memang itu adalah hal yang susah, tapi berikutnya hati akan melembut perlahan-lahan. Hati akan menyesap pengalaman-pengalaman dari perjalanan.
Ada pengalaman lain ketika saya berjumpa dengan seorang traveler atheis dari Eropa. Saya orang Indonesia yang dibesarkan dengan dogma atheis adalah sebuah dosa besar, bertemu dengan seorang atheis di hostel yang sama, yang kemudian kami berbagi ruang.
Apa yang terjadi? Tidak terjadi apa-apa.
Apakah lantas saya kemudian membenci orang yang saya temui tadi gara-gara ia seorang atheis? Apakah saya lantas menganggapnya sebagai seorang yang berdosa besar, dikutuk Tuhan dan akan masuk neraka karena ia menolak eksistensi Tuhan dan agama? Atau saya menceramahinya tentang dosa, pahala, surga dan neraka atas yang ia percaya?
Tidak.
Saya justru belajar untuk tidak mengotak-kotakkan manusia berdasar atas apa yang ia percaya. Berdiskusi lama sekali sampai malam tentang apa itu agama, Tuhan dan spiritualitas dengan kapabilitas masing-masing, Dan saya mencoba menghargai apa yang percaya, termasuk kepercayaan terhadap ketidakpercayaan adanya Tuhan.
Saya merasa toleransi yang selama bertahun-tahun katanya saya dengar sampai jemu di buku diktat PPKn selama di bangku kuliah itu nyata adanya. Toleransi itu aslinya indah sekali apabila dilihat dengan kacamata terbuka, sudut pandang yang lebar dan pikiran yang terbuka.
Jika karena saya bersikap toleran lantas saya dianggap liberal, biarlah. Mungkin belum pernah bersentuhan dengan penghormatan antara satu sama lain sesama manusia.
Toleransi juga tidak membuat saya menggadaikan iman saya, juga tidak membuat saya menjadi hiperbola atas kepercayaan yang saya percaya. Ya, saya percaya bahwa agama Islam yang saya anut saya percaya adalah agama yang terbaik di dunia. Tapi saya juga percaya tahu bahwa orang-orang dengan agama berbeda pun di hatinya memiliki anggapan yang sama, agama yang mereka anut adalah yang terbaik.
Toh manusia jika berdoa sama-sama menengadahkan wajahnya ken langit.
Untuk memahami toleransi saya memindahkan diri saya dari tempat di mana saya mayoritas ke tempat saya di mana saya menjadi mayoritas ke tempat di mana saya menjadi minoritas. Mencoba sesekali menjadi minoritas, mencoba melihat sudut pandang mayoritas ke sudut pandang minoritas.
Saya mengalami banyak kekhawatiran, saya mengalami ketakutan-ketakutan dan pergumulan batin. Apakah saya baik-baik saya? Apakah saya masih bisa shalat? Bagaimana saya berwudhu? Bagaimana saya bisa makan makanan halal? Bagaimana jika saya diperlakukan tidak baik?
Tapi perjalanan juga yang menghilangkan kekhawatiran saya. Ini terjadi ketika saya di Jepang, di negara yang saya tahu prosentase umat muslimnya sedikit sekali.
Orang Jepang tidak masalah saya shalat di tempat umum. Ketika saya tanya apakah mereka punya Prayer Room dan mereka menjawab tidak punya mereka tidak melarang saya shalat, mereka mempersilakan shalat di tempat yang sekiranya nyaman.
Soal makanan halal pun, ketika mereka saya jelaskan sebagai muslim saya tidak makan babi dan minum alkohol. Mereka akan repot-repot membacakan semua daftar komposisi pada label makanan sampai tuntas. Itu terjadi tidak hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat.
Sebagai minoritas saya terlindungi dan sangat nyaman menjalankan keyakinan saya dan apa yang saya yakini. Mereka membebaskan dan bahkan melindungi saya.
Kejadian ini tak hanya di luar negeri. Ketika melancong di Bali saya pernah diizinkan shalat di sebuah pura desa di daerah Karangasem.
Ketika saya di Tentena saya menginap di seorang tokoh desa yang beragama Kristen, desa itu saat itu kekeringan karena jalur air mati. Tapi bapak tempat saya menginap tersebut menyediakan saya air untuk bersuci lima kali sehari. Mereka rela tidak mandi, selama saya bisa bersuci.
Keindahan-keindahan seperti ini tidak terbeli, melampaui keindahan panorama sepanjang perjalanan. Keindahan yang menyentuh hati adalah keindahan yang berlipatganda dibandingkan keindahan yang tertangkap mata.
—
Perjalanan pula yang kelak bisa memberikan seorang manusia itu pandangan yang lain dan terbebas dari prasangka. Prasangka adalah sesuatu yang berbahaya karena dari prasangka akan timbul curiga dan dari curiga akan muncul stigma.
Memupus stigma adalah perkara susah. Apalagi sudah bertahun-tahun mengendap dan menjadi kerak di alam bawah sadar. Kebenaran seperti apapun jika sudah berselimut stigma tidak akan pernah menjadi kebenaran.
Saya pernah menjadi korban stigma. Soal Watu Telu di Lombok, mereka dikatakan orang-orang yang Islamnya tiga kali sehari, tapi begitu mengunjungi komunitas Sasak di Bayan. Saya diluruskan oleh para pemuka di sana, mereka Islamnya sholat lima kali sehari. Mereka menganut Islam yang sama dengan apa yang saya anut.
Mereka muslim yang baik dan taat, bahkan mereka memiliki pesantren besar di desa mereka. Watu Telu hanyalah filosofi hidup, panduan yang mereka pegang untuk bermasyarakat.
Ada rasa bersalah yang kuat ketika saya tahu fakta tersebut. Rasa bersalah karena saya termakan berita itu pun rasa salah karena saya mungkin bertahun-tahun menyebarkan berita yang salah, turut menyebarkan kebohongan. Namun ada pula kelegaan karena pada akhirnya saya ditunjukkan kebenaran.
Perjalanan perlahan sebenarnya mengajarkan bagaimana kita bersikap dalam hidup sehari-hari. Ketika kita berulang kali melihat peta untuk mencari jalan yang benar, maka dalam hidup pun demikian, kita seharusnya berulang-kali memastikan untuk mencari kebenaran.
Jika orang beranggapan bahwa perjalanan membawa kedewasaan, saya sepakat. Seharusnya demikian karena seharusnya menikmati perjalanan adalah tentang menikmati alam yang bertasbih, menikmati bagaimana peristiwa-peristiwa yang ditemui menjadi sebuah pengalaman.
Manusia adalah orang yang menjadi dewasa dari pengalaman, manusia memilah mana yang baik dan buruk dari pengalaman. Manusia merangkum pengalaman menjadi panduan. Sesungguhnya orang yang makin banyak pengalaman pastilah lebih arif dari mereka yang punya sedikit pengalaman.
—
Betapa indahnya bagaimana hubungan sesama manusia di perjalanan, betapa Tuhan menunjukkan hal-hal besar dengan peristiwa-peristiwa kecil di perjalanan. Barangkali bersua seseorang itu hal kecil, tapi jika direnungkan mungkin ada makna yang besar.
Pelajaran dari perjalanan bisa apa saja, tapi toleransi adalah pelajaran paling besar yang pernah saya dapatkan dari sebuah perjalana dan itu baru sebagian kecil pelajaran. Bersua dengan bangsa-bangsa lain yang tersebar di banyak bagian di muka bumi, berbenturan dengan banyak budaya yang berbeda tentunya akan membuka mata, meresapi apa yang sesungguhnya terjadi di perjalanan.
Saya hanya merasa karena pelajaran mengajarkan banyak hal, maka saya pun mungkin akan mengajak banyak orang untuk melakukan perjalanan, bukan hanya sekedar rekreasi atau bersenang-senang tapi untuk belajar banyak hal. Untuk menikmati perjalanan dengan menikmati apa hal baru yang ditemui sepanjang perjalanan.
Bertumbuhlah dengan perjalanan. Karena ada ayat-ayat Tuhan dalam setiap satu langkah maju yang dipijakkan. Jika toleransi mungkin sudah bertahun-tahun menjadi pelajaran sekolah, maka nikmatilah pelajaran tentang toleransi yang sesungguhnya di perjalanan.
Karena di perjalanan kita akan bertemu berbagai manusia dari berbagai bangsa yang akan membuat hidup kita semakin bermakna.
“The highest result of education is tolerance.” – Helen Keller
Tabik.
Alhamdulillah, kawan jalan-jalan saya banyak yang non-muslim, hahaha.
Mungkin yang kayak gini kembali ke pribadi masing-masing. Ada orang yang bener-bener “saklek” ingin meluruskan segala sesuatu sesuai ajaran agama yang diyakininya. Ada juga orang yang mengembalikan hal-hal yang bersifat agama itu pada pribadi masing-masing.
Begitulah kiranya mas. 🙂
Jujur habis baca ini, gak bisa ngomong apa..
Terharu, sedih, seneng jadi satu..
Saya suka jalan sendiri, dan dalam perjalanan itu sebenarnya ketakutan terbesar saya itu tidak menemukan toleransi itu mas..
Pernah waktu saya ke salah satu daerah di Jawa Timur, saya menumpang dirumah penduduk. Awalnya mereka sangat baik dan ramah menawarkan tumpangan dirumahnya..
Ketika maghrib mereka mengajak sholat, saya blg saya tidak sholat karena saya nasrani..
Dan sikap keluarga tersebut langsung berubah sekali, malamnya si bapak bilang pada saya kalo saya cm bisa menginap dirumahnya malam itu saja..
Padahal sebelumnya beliau menawarkan selama saya berlibur bisa tinggal dirunahnya..
Ya walaupun selama travelling cuma sekali saya dapat pengalaman yg seperti itu, tapi cukup membuat saya selalu takut was was cemas kalau melakukan perjalanan..
Apalagi di Negara kita Indonesia banyak sekali konflik agama..
Sering saya ragu-ragu travelling ke daerah yg saya disana benar-benar sangat minoritas..
Apa saya bisa diterima? Apa saya baik-baik saja disana?
Semacam itulah mas..
Tapi baca tulisan Mas Eff ini, saya terharu mas..
Alangkah indah kalo kita bisa bertoleransi..
Berjalan bersama tanpa harus mengusik kepercayaan satu sama lain..
Semoga semakin banyak org yg bisa bertoleransi..
Dan toleransi tidak cuma sekedar kata yg sering kita dengar dlm pelajaran PPKN waktu masih duduk dibangku sekolahan dulu 🙂
Pagi Rara! 🙂
Duh, saya sedikit khawatir dengan apa yang dialami Rara. Semoga tidak terulang kembali ya?
Saya berharap demikian, semoga damai itu selalu menyertai di perjalanan.
Salam
Jadi teringat pengalamanku. Kebetulan saat itu aku sedang tidak solat dan menjadi tempat penitipan tas temen2 yang lagi solat di salah satu sudut stasiun kereta di Taipei. Aku perhatikan begitu banyak warga lokal yang memperhatikan kami, mulai dari membentang sajadah sampai akhir salam pun mereka masih berdiri sampil menatap kami. Karena itu bulan keempat aku berada disana, aku masih agak takut2 dengan pandangan warga lokal sana. Soalnya expresinya datar, jd susah ditebak haha. Bayanganku, sesudah selesai solat, warga lokal itu akan marah2 dan mengusir kami. Tapi ternyataaaa, mereka langsung pergi setelah kami selesai melipat sajadah. Mungkin mereka heran, atau mau tau gimana cara orang muslim solat kali ya haha.
Terus temen2 aku bilang, “Kenapa? Banyak yg liatin ya? Gapapa dek, udah biasa itu. Mereka cuma mau liat aja kok. Biarin aja.”
I’m so relieved 😀
Saya merasakan hal serupa di Taiwan kak! 🙂
Orang Taiwan pada dasarnya baik-baik dan toleran. Mungkin mereka hanya bingung dan penasaran saja karena kita sholat, tapi selebihnya tidak mengganggu.
Salam
Aku mungkin sedikit orang yang ‘beruntung’ bisa merasakan toleransi (dan juga intoleransi) beragama sejak kecil, dari keluarga sendiri… Nicely written, Kak Chan 🙂
pastilah Kak Titi mendapatkan banyak sekali pengalaman dalam hidup.
Salam
Subhanallah…
saya berkali-kali merinding baca penerapan-penerapan toleransi yang indah itu…
Speechles.. saya suka artikel ini..
oh ya, salam kenal ^^
Mbak Irly selamat sore.
Terima kasih sudah mampir di Blog saya.
Toleransi memang menyentuh hati semua umat Mbak.
Adem banget baca postingan ini, bener ya mas.. traveling itu bisa mengajarkan kita untuk bisa bertoleransi. Untuk bisa melihat apa yg sebelumnya kita ‘tidak’ lihat.
Salam Mbak Melly.
Toleransi selalu mendatangkan rasa damai Mbak. 🙂
Toleransi yang begitu indah ini tidak akan anda temui di negara-negara Islam, tempat dimana praktek Islam yang lebih ortodoks dijalankan. Muslim bebas menjalankan agamanya, non-muslim? ya.. tahu sendiri lah. Beruntunglah hidup di Indonesia ini.
Salam damai
Sore Mas.
Alhamdulillah di sini saya masih merasakan toleransi yang luar biasa.
menarik. jadi pengen travelling ke negeri yang punya budaya dan pandangan berbeda. nice story mas. menginspirasi!
Segeralah! 🙂
Terima kasih sudah mampur.
Islam aja mengajarkan toleransi kok. Masa kita sebagai umatnya nggak bisa. Dengan toleransi, kita juga akan merasa nyaman kan?
sepakat mas yitno. 🙂
Betul sekali mas…….jujur baru kepikiran tentang tingginya toleransi saat traveling. selama ini tidak pernah memperhatikannya
iya mas. 🙂
perjalanan selalu memberikan pelajaran mas.
terima kasih sudah mampir ke blog ini.
Kira2 di tahun2 mendatang, ada ngga ya pelajaran traveling di sekolah? Karena pembelajarannya banyak kita peroleh dalam proses perjalanan itu sendiri.
PPKn di masa ejie, namanya PMP, deh…
#gottcha!
Ada!
Tapi ekstrakuliler, namanya Pramuka. 🙂
Toleransi itu indah, bikin adem ayem… sayang ada sj orang yang sering membenarkan dirinya sendiri sehingga menganggap yg tdk sejalan dgnya tdk pantas berada didekatnya…
Indah mbak memang. Dan mungkin yang tidak tahu tahu toleransi-lah yang merusak keindahan itu.
Tulisanmu ki panjang-panjang pak Farchan, padat, berisi, keren. Tulisanku singkat-singkat saja, cuma crita tok.hehe
Kapan-kapan aku dijak y gelem.
Tak kirimi jempol saja 🙂
Najib
sugeng sonten Mas Najib.
ayo semangat ngeblognya, terus latihan nulis, asah terus ilmu nulisnya.
nuwun jempolnya, nanti kalau pas di Magelang kita diskusi soal nulis menulis.
salam.
Bapak pasti orang yang pandai berkomunikasi. Setidaknya komunikasi yang baik meminimalisir intoleran.. maybe..,
Setuju Mbak Dwi. :’)
Seperti biasa.. tulisanmu apik, Mas!
Yg baca ini sampe berkaca-kaca 😀
Dulu waktu ke Bangkok sempat penasaran gmn rasanya jd minoritas. Rasanya agak aneh diliatin bbrp orang di dlm MRT karena aku pake jilbab. Tp di luar itu everything is fine, orang2 di sana malah ramah waktu ditanyain jalan, helpful banget. Ah, jd pengen lebih banyak jalan ke negara2 minoritas muslim.. hehe..
terima kasih melia. 🙂
betul, mencoba menjadi minoritas mungkin bisa jadi cara untuk memahami minoritas yang lain.
Aku mbrebes mili mas baca tulisanmu ini.
Maturnuwun karena sudah menulis.
Sami-sami Mbak. 🙂