DSCF0328.resized

“Mumpung belum maghrib kita harus melaut, langit cerah dan ombak tenang”

Gumam seorang lelaki tua di Pantai Tropical, Sumbawa Barat. Matanya yang teduh memandang jauh di samudera.

Ada gurat-gurat gamang, entah mungkin hanya tersisa sekerat rasa yakin. Lalu ia berhitung dengan waktu, dengan angin dan terakhir ia hanya bisa bertaruh pada nasib.

Sumbawa di Februari adalah soal gelombang tinggi. Angin dari timur bertiup kencang dan membawa arus yang lebih keras dari biasanya. Gelombang yang biasanya hanya 1-2 meter sekarang berlipat dua.

Lelaki tua  lama memandang laut. Ia sesekali mengangkat tangan, merasakan terpaan angin, mungkin juga menebar harap pada Penguasa Laut.

Ia lalu bercakap sebentar dengan teman-temannya, apakah mereka hendak bersekutu untuk melaut atau lebih baik menanti lebih lama lagi.

“Kalau nanti gelombang tinggi kita tak bisa kemana-mana” Kata lelaki tua, setengah membujuk yang lain.

“Sekarang waktunya, kalau gelombang tinggi kita masih bisa merapat ke darat”.

DSCF0301.resized

Lelaki-lelaki lain turut menyambut. Ada sedikit riak perdebatan di sore yang mulai memerah. Gelombang di depan sudah menanti lelaki-lelaki pemberani ini. Sementara perdebatan harus segera usai atau lelaki-lelaki ini akan kehabisan waktu.

Satu dua lelaki lalu memilih mundur dari perdebatan, memilih menunggu. Satu dua lelaki yang matanya teguh masih melanjutkan perdebatan.

Lelaki tua dengan sabar menunggu, menunggu dan menunggu. Ia tahu, Penguasa Laut akan menenangkan gelombang dan menghembuskan keberanian pada lelaki-lelaki yang lain.

Hidup orang-orang laut tak pernah mudah, mereka adalah orang-orang yang setiap hari berhitung dengan keberanian. Dengan nyali yang panjang dan memiliki cadangan nyawa yang melebihi orang kebanyakan.

DSCF0303.resized

“Satu-dua-tiga. Dorong” Mendadak satu sampan turun ke laut.

Lelaki-lelaki ini telah bersepakat. Sampan lalu didorong satu per satu ke laut. Wajah lelaki tua menunjukkan senyum yang teguh dan rasa yakin yang berlipat-lipat.

Sampan-sampan kecil yang akhirnya menjemput laut menjadi bukti. Sampan ini bukanlah kapal besar, jika orang darat melihatnya akan muncul rasa iba. Tapi bagi orang laut, Sampan adalah nyawa mereka, pada sampan ada hidup dan ulas tawa keluarga mereka.

Gelombang memboncengkan ombak yang terus bergulung. Sampan-sampan kecil mulai terombang-ambing bak kapas tertiup angin, sepertinya ringkih dan mudah dimainkan gelombang. Dari langit kumpulan sampan ini bagaikan titik-titik kecil.

Di senja yang menyurupkan cahaya, hidup orang-orang laut baru bermula.

DSCF0314.resized

DSCF0316.resized

DSCF0310.resized

Sampan-sampan adalah perlambang betapa kecilnya orang laut di Nusantara, di lautan sendiri. Nasib orang laut turut tenggelam di dalamnya samudera, nampak tidak terlalu dipedulikan.

Ironis memang, sementara kapal-kapal asing gigantis masuk ke perairan Nusantara dengan bekal kerakusan mereka, orang-orang laut dan sampannya hanya mampu mengais-ais demi satu dua kilo hasil tangkapan, hasil yang mungkin hanya bisa mengganjal perut untuk makan sehari-dua hari.

Saya merasa ada sedikit kegetiran yang indah ketika melihat lelaki-lelaki pemberani dengan sampan kecil menerobos ombak. Ada keberanian yang menjulang, ada harga diri tinggi yang selalu bisa dimiliki orang-orang laut.

Bisa jadi kegetiran yang indah ini dirasakan pula oleh Ernest Hemingway ketika membuat narasi tentang Santiago dalam Lelaki Tua dan Laut. Gurat getir, keberanian, ketabahan dan keindahan yang terangkum dalam diri orang-orang laut.

DSCF0326.resized

Mendadak lelaki tua tadi berdiri di sampan. Matanya menatap mentari yang menyurup pelan-pelan, ia melangkah ke belakang bertanya pada rekannya yang memegang kemudi, melihat mesin yang tampak seperti keledai yang lelah dan bunyinya batuk-batuk.

Lelaki tua tahu ia sudah berhitung dengan resiko. Begitulah hidup orang laut, pada ombak dan gelombang ia memasrahkan nasib, pada sampan kecil ia memenuhi ruang-ruang hidupnya, untuk menggenapi takdir.

Sampan-sampan kecil berkumpul, kemudian lelaki tua tadi menunjukkan tangannya ke laut lepas. Mendadak satu persatu sampan melesat menembus gelombang menuju arah yang ditunjuk lelaki tua. Memasrahkan hidup pada gelombang, ombak, angin dan bintang-bintang penunjuk arah di malam hari.

Matahari genap sembunyi, langit telah menepati janji berganti dengan gelap malam. Sampan-sampan sudah tak tampak di laut lepas, burung-burung laut sudah menuju peraduan.

Perlahan lampu kecil di pondok kecil di pinggir pantai menyala dan perempuan yang rambutnya tergerai angin samar-samar melempar pandang ke laut lepas. Ia barangkali menanti terbesar lelaki lautnya, pulang membawa hasil tangkapan.

Tabik.

PS : Kamera Fujifilm X-A1

DSCF0345.resized

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

27 KOMENTAR

  1. Subtil dan puitis sekali tulisan yang ini Chan dan surpricingly ejaannya (maaf) tumben bener hehehe, dari atas sampai bawah. Misalnya “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai awalan biasanya kan kerap luput dari koreksi. *pembaca garis keras* 🙂

    • Terima kasih mas adie. Karena mas adie sering sekali mengingatkan soal diksi dan EYD maka itu menjadi bahan pembelajaran.
      Saya senang sekali dengan ko,em ,as. :’)

  2. Baru saja terpikir akan menulis tentang laut, sayangnya disini sinyal internet “agak jual mahal ” rupanya. Tunggu waktu yg tepat untuk menguploadnya.
    Ceritanya inspiratif. Jika sudah urusan perut apapun akan dilakukan walaupun nyawa taruhannya

  3. Seperti inilah waktu masih di Karimunjawa, mendorong kapal bareng, ngobrol santai sambil berbagi spot yang banyak ikannya serta ngopi dan merokok bareng bagi perokok. Subhanallah kalau ingat waktu masih aktif jadi nelayan 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here