544458_3900391387187_1131364553_n
Saya, Dimas, Priant, Titiw, Al, Dinda, Fachri

Semetropolitan apapun kota yang dituju, saya tetaplah anak kampung, anak keluarga petani.

Dari dulu saya tak pernah ada bayangan bisa ke luar negeri, mimpi saya cuma mentok jalan-jalan di Indonesia. Mungkin juga sederhananya didikan orang tua, sedari kecil saya bermimpi yang realistis saja, buat saya dan kami sekeluarga, ke luar negeri adalah sesuatu yang wah sekali.

Saya dari keluarga petani tulen, mbah kakung putri petani, ibu saya masih bertani di sela-sela pekerjaannya jadi guru. Makanya ketika saya berkabar dengan keluarga di kampung, sekeluarga heboh. Kesannya ke luar negeri itu jauh sekali buat mereka, saya dipesani untuk tidak ini, tidak itu, jangan aneh-aneh, jaga tata krama dan sebagainya.

Memang ketika pertama kali sampai di Singapura beberapa waktu lalu saya benar-benar tidak percaya sudah di luar negeri.

Saya terkesima, kata orang Jawa,Β  saya gumunan, gampang kagum, gampang terpesona. Saya bener-bener takjub dan penuh syukur ketika tiba, sampai-sampai saya melakukan sujud syukur. Ini karena wujud syukur sampai luar negeri dengan selamat.

Norak dengan paspor kosong
Norak dengan paspor baru dicap imigrasi Batam

Saya geli sendiri kalau ingat detik-detik pertama kali masuk Singapura.

Saya masuk ke Singapura dari Batam dengan ferry, bersama teman-teman saya, Titiw, Priant, Dinda, Al, Dimas dan Fachri. Begitu kapal sandar dan masuk imigrasi Singapura saya pegang erat-erat paspor, grogi dan nervous. Ada rasa ketakutan jika saya ditanyai macam-macam.

Masuk ke negara asing groginya setengah mati, padahal cuma ke Singapura, negara yang kecil sekali dibandingkan dengan Indonesia tercinta.

Teman saya Priant justru usil, β€œChan, kalau nanti ditanya nginep di mana, jawab aja di Fullerton Hotel”

Dan saya dengan polosnya manut dengan kata-kata Priant.

Bisa ditebak petugas imigrasi melihat saya dari atas ke bawah sambil senyum sinis tak percaya. Saya akhirnya ditanya lebih lama, body checking dan cek barang bawaan.

Rupanya saya kena keusilan teman saya, setelah saya cek nama hotelnya, ternyata itu hotel mewah di Singapura, hotel yang konon sudah eksis sejak zaman Raffles. Pantes saya kena interogasi, saya yang tampilannya saja kere-hore, malah bilang menginap di Fullerton, jelas imigrasi tidak percaya.

Dalam pikiran petugas imigrasi mungkin saya ini seorang penipu atau orang gila.

Saya Yang Gumunan

Mungkin karena dasarnya saya gumunan, saya tak henti-henti mengagumi Singapura. Rapi, gedungnya bagus-bagus walau rasanya membosankan dan kaku sekali. Tapi soal teraturnya saya acungi jempol.

Bangunan tua dijaga benar-benar, dipadupadankan dengan bangunan baru. Tiada sampah terlihat, berkendara tertib, antri di stasiun tertib, antri masuk bis tertib, benar-benar kota yang tertib.

Biasanya saya grasa-grusu saat menyeberang jalan dan terbiasa tolah-toleh kanan kiri, sekarang tidak lagi. Cukup lihat lampu lalu lintas, lalu nyeberang. Atau kalau tidak ada lampu merah, tinggal melenggang, pejalan kaki selalu jadi raja. Mobil-mobil tunduk pada pejalan kaki, coba Indonesia bisa tertib demikian ya?

Jalanan di Singapura juga mulus, ini yang bikin iri, aspalnya tebal sekali dan tidak bumpy, saya membayangkan coba jalanan Indonesia begini. Entah kapan terwujudnya tapi, lha wong jalanan Jakarta saja bolong sana-sini. Mungkin orang-orang Dinas Pekerjaan Umum Singapura memikirkan betul cara membuat jalan yang mulus.

330846_3900367626593_787794900_o
Fullerton Hotel

Tapi juga ada yang bikin sedih waktu di Singapura. Banyak kakek-nenek sepuh yang masih harus bekerja dan tampaknya kerjaan mereka pun berat sekali. Ada kakek nenek yang malam-malam masih membersihkan toilet, ada yang sudah lumpuh jualan tisu di stasiun, ada yang jualan es krim.

Duh, saya kog jadi membayangkan mbah kakung dan mbah putri di rumah yang bahagia dikeliling cucu-cucunya, hidupnya hanya dipikirkan untuk ibadah, sudah tidak perlu kerja-kerja lagi, tinggal leyeh-leyeh menikmati masa tua. Setiap ketemu kakek-nenek yang bekerja itu saya terharu, tersedu sedan, cengeng ya saya?

Saya sampai bolak-balik beli tisu ke kakek-kakek lumpuh tadi walaupun tidak butuh tisu, bolak-balik beli es krim walau saya sudah kekenyangan es krim. Saya cuma kasihan, tidak tega melihat mereka masih bekerja, bandingkan dengan simbah saya di desa. Hidup tenang menikmati suasana desa yang sepi, tidak bergumul nasib di kota yang terus berdetak kencang.

Baru kemudian saya pahami, itu adalah kebijakan pemerintah untuk tetap menjaga orang-orang tua tetap produktif di usia senja. Walaupun jika dirasa-rasa untuk saya, kebijakan ini terasa begitu menyedihkan.

Grandspa Ice Cream
Grandspa Ice Cream

Soal gumun, selama dua hari di Singapura saya tak berhenti gumun.

Ada saja yang digumuni di Singapura, contohnya ketika naik MRT. Jadwal kedatangan presisi per menit, tidak pernah telat. Di Indonesia kereta telat setengah jam saja malah kitanya yang santai-santai. Entah mungkin orang-orang Indonesia toleransinya terlalu tinggi, atau Singapura yang disiplinnya di atas langit.

MRT nya kencang betul, tidak pernah ada pengumuman gangguan sinyal atau antrian masuk macam di Indonesia. Stasiunnya canggih. Seolah Singapura berjarak 10 tahun di masa depan dan Indonesia belum bergerak sejak tahun 1990-an.

Ini negara kecil tapi maju pesat, Indonesia seharusnya mengadaptasi sebagian apa yang dilakukan Singapura.

Lesehan Di Singapura

Orang-orang Singapura jalannya cepat, mirip simbah saya kalau berangkat ke sawah. Mereka hobi sekali jalan kaki, pemerintah Singapura membiasakan orang Singapura berjalan kaki. Di Indonesia, orang-orang malas berjalan kaki, memilih naik angkot walaupun hanya jarak satu kilometer, memilih naik motor walau cuma ke warung yang tiga ratus meter jauhnya.

TempoΒ  cepat orang Singapura berjalan ini mungkin sama lesatan kemajuan negaranya ya?

Mungkin karena kebiasaan di kampung tak bisa dihilangkan di manapun, maka di Singapura pun demikian. Hobi saya kalau capek ya ndheprok di manapun dan lesehan, kadang tak peduli tempat. Karena saya hobi lesehan apalagi saat jalan-jalan di Singapura, mungkin orang Singapura menganggap saya udik ya? Entahlah. Tapi orang-orang Singapura jarang yang lesehan.

Teman-teman saya juga sepertinya santai-santai saja lesehan di Singapura. Mungkin lesehan itu rasanya Indonesia sekali ya?

Lesehan di Singapura itu indah sekali, pemandangannya apik, lingkungannya bersih. Coba kita lesehan di Jakarta, belum-belum kita sudah kena sembur asap hitam bis kota, atau kecipratan air yang menggenang di lubang jalan raya. Bahkan paling pahitnya, baru kita nongkrong sudah dirubung penjual teh botol.

Setidaknya lesehan di Singapura itu nikmat sekali.

241945_3900369146631_1110325025_o
Al, Dinda, Titiw, Priant dan Saya

Saya memang cuma sebentar sekali di Singapura, dua hari saja. Mungkin tidak akan bisa bercerita banyak, karena dengan waktu yang sebentar ya hanya itu saja yang bisa saya ceritakan. Waktu sebentar saya pun hanya mengunjungi tempat-tempat populer dalam waktu singkat.

Dari tulisan ini mungkin kesannya saya mengagung-agungkan Singapura ya? Begini saya bangga dengan Indonesia, kekaguman saya pada Singapura tidak akan melunturkan kebanggaan saya pada negara sendiri. Tapi memuji hal-hal yang baik bukan sebuah kejahatan kan?

Kenapa tidak hal-hal yang baik di Singapura lantas diadaptasi di Indonesia? Bukankah yang baik seharusnya memang diadaptasi? Saya tak mau menutup mata dan harus jujur bahwa dalam beberapa hal Singapura jauh lebih baik di Indonesia.

Dua hari di Singapura sangat berkesan, apalagi kemarin adalah untuk pertama kali ke luar negeri. Anak dari kampung kecil di Magelang bisa juga menginjakkan kaki di Singapura.

Tabik.

NB : Sejatinya ini catatan saya tulis setelah trip pertama kali saya ke luar negeri, ke Singapura tahun 2012 silam. Namun saya kehilangan draft tulisan ini. Beberapa hari lalu setelah menemukan flash disk saya yang saya kira sudah hilang, saya menemukan file draft tulisan ini. Akhirnya saya putuskan untuk mengunggah di blog dengan sedikit editan.

Terima kasih untuk teman-teman kesayangan, dari Kepulauan Riau dan menyeberang ke Singapura : Dimas, Fachri, Titiw, Priant, Al dan Dinda.

Terima kasih untuk Backpacker Dunia untuk info-info tentang Singapura yang begitu banyak.

256547_3900389787147_1964100695_o
Pose Sejuta Umat di Singapura. Di USS.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

28 KOMENTAR

  1. INI PASTI PAID POSTING UNTUK HONDA TIGER! :)) *ngakak liat foto pertama ada mas2 ikut nampang* Aaaah jadi kangeeeen jalan2 bego2an pake tiket murah dan ditraktir2. Hahahaha.. perjalanan kita batam bintan singgapur ini malah belum sempet aku upload. Entah kenapa yaaa.. :))

  2. Selamat Mas atas pencapaiannya ke Singapura (dulu) dan juga ke Turki (beberapa waktu yg lalu) πŸ˜€

    Kalau saya sih, harga diri seakan tercabik-cabik pas melihat para sepuh yg masih bekerja itu. Mereka masih bekerja banting tulang, kok malah saya sendiri pingin kerja yang enak-enak?

    Kalau saya cermati posisi-posisi pekerja informal kayak gitu di Singapura memang sengaja dilakoni oleh para sepuh ya? Supaya kaum muda mau tidak mau melakoni pekerjaan yg lebih “berbobot”.

    • Terima kasih mas. πŸ™‚

      Belakangan saya baru tahu itu kebijakan pemerintah Singapura untuk memberdayakan kaum tua supaya tersisihkan di Masyarakat.

      Tapi buat saya tetap gimana itu rasanya. πŸ™

  3. Selalu ada cerita menarik tentang hal-hal yang dilakukan untuk pertama kalinya dalam hidup. Setidaknya, udah pecah telor lah Chan. Kalo sekarang, telurnya udah banyak lagi hehehe. Jepang, Taiwan, Singapura, Malaysia, Turki. Tahun ini atau tahun depan Yurep lah ya.

    Usulku ya Chan, gak perlu lagi lah ngasih penjelasan klo traveling ke LN itu artinya gak cinta Indonesia. Pemikiran ini udah gak kekinian untuk ditanggapi atau dijadikan bahasan :))

    • Yurop amin!

      Untuk bab Indonesia memang bahasan lama mas, makanya saya ingin nostaljik Tampa mengeditnya. Biarpun so last year tidak apa-apa karena seharusnya tulisan ini memang rilis 3 tahun lalu mas. πŸ™‚

  4. Hahaha, tujuanku juga ke SG kali pertama keluar negeri! Tapi waktu itu gak ada yang bawa kamera, akhirnya pinjem punya temen yg tinggal di Batam, kamera analog, jadi kita pelesiran pake film rol-rolan isi 36 bonus 2 πŸ˜€

  5. hahaha, baca yg ini aku campur aduk ih… ikut sedih ngebayangin kakek nenek yg msh kerja itu, tp jd ketawa ngebayangin keluguanmu datang pertama kali kesana :D. Itu temenmu kelewatan juga toh yooo ;p…

    Tp memang hidup di Sing keras mas.. Temenku yg kerja di sana, prnh curhat. Dia iri ama aku yg kerja di Jkt, walopun gaji ga segede dia, tapi fasilitas yg didapat dr kntor sangat2 menguntungkan. Salah satu yg bikin iri, karena medical insurance dr kantorku mengcover imunisasi anak apapun jenisnya, sampe umur 5 tahun… Aku br tau, di Sing, imunisasi anak itu bayar sendiri.. dan harganya sekali vaksin…. cukup bikin aku menganga takjub :D. Udah bisa beli IPhone 6 plus yang baru dah ;p

    Ga jd iri deh ga bisa kerja di Singapur ;p

    • mbak fanny. memang temen-temenku ini ngerjain aku. πŸ™

      wah itu imunisasi apaan itu yak? mahal bener.

      saya kalau kerja lebih pengin di KL daripada di Singapura. entah kenapa, walau bagus banget tapi Singapura itu terlalu kaku.

  6. samaaaa….pertama ke luar negeri ke singapura ini…kaguuum banget nget nget….norak pake banget juga…hehe, dan pas pulang kena pemeriksaan juga dr 5 cuma ane yg kena…mungkin tampang saya ini tampang TKW kabur bawa harta majikan kali ya, soalnya bawa ransel dan gembolan gede tanpa koper apalagi bagasi..hehe…

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here