???????????????????????????????
Sumber Gambar

Dunia alam bebas kembali berduka, siapa yang tidak sedih ketika kembali ada korban yang jatuh di alam bebas. Satu kabar duka tersebut berasal dari Puncak Gunung Merapi, di mana seorang pendaki jatuh ke dalam kawah. Konon si pendaki yang ingin berfoto di puncak, mendadak terpeleset ketika turun dan terjun bebas ke arah kawah.

Kondisi ini memilukan dan sebenarnya bisa saja tidak terjadi.

Cerita lalu simpang siur, ada yang bilang karena ingin berfoto selfie di atas puncak, ada yang bilang juga karena ragu-ragu untuk turun. Namun apa lacur, nasi sudah menjadi bubur, ada pendaki yang sudah gugur. Dan ada duka yang hadir di tengah-tengah kita.

Saya turut berduka, bagaimanapun mencapai puncak butuh keberanian yang tidak semua orang mampu lakukan. Kejadian ini, duka ini bisa menjadi pengingat agar tidak terjadi kejadian yang serupa.

Ada sesuatu yang salah, yang menggejala sekarang di alam bebas. Yang salah adalah egoisme manusia yang makin membesar.Β  Mari kita berkaca, agar ke depan tidak ada lagi kabar duka.

Sesungguhnya apa yang ingin dicapai saat mendaki gunung? Puncak? Sampai puncak lantas berfoto untuk menunjukkan bahwa mencapai puncak adalah sebuah pencapaian? Saya tidak tahu, mungkin demi tren?

Tidak ada yang salah berfoto di puncak gunung, yang salah adalah pola pikir bahwa puncak itu harus dicapai oleh tiap pendaki.

Mencapai puncak, menggapai kejayaan justru menjadikan perjalanan menjadi sebuah ajang penaklukkan. Alih-alih menikmati perjalanan, lambat laun orang-orang akan beralih untuk mencapai tempat tertentu, targetnya adalah menaklukkan tujuan. Lama-lama gunung hanya menjadi simbol penaklukkan, simbol keperkasaan manusia, simbol sang penakluk.

Sumber Gambar
Sumber Gambar

Egoisme dalam bentuk narsisme semakin menjemukan. Orang-orang semakin mudah naik ke gunung tapi orang-orang juga semakin melupakan attitude. Beruntunglah pendaki gunung generasi lama yang mendapatkan gemblengan a la Mapala. Tahu ilmu naik gunung, tahu sopan santun, tahu bagaimana menghadapi alam.

Gunung sekarang semakin banyak dipenuhi orang-orang dengan egoisme tinggi, semua harus mencapai puncak, pokoknya harus puncak. Naik gunung adalah mencapai puncak. Esensinya pada puncak, bukan perjalanannya.

Ada yang dengan bangga berfoto dengan Puncak Semeru padahal pendakian dilarang sampai puncak, hanya sampai Kalimati saja. Ada yang ketika diperingatkan justru mencari pembenaran, sudah tahu salah tapi ngotot cari pembenaran.

Egoisme inilah yang menyusahkan banyak orang. Merepotkan banyak orang jika terjadi sesuatu. Berapa banyak kecelakaan di alam bebas karena kesombongan, keegoisan, ketidaktahuan ?

Contoh. Apa negara akan diam jika ada korban yang melanggar larangan ke Puncak Semeru? Tidak, Tim SAR pastiΒ  akan turun tangan. Para pelanggar dengan bangga menentang aturan pemerintah, tapi ketika terjadi sesuatu mengemis pada pemerintah dan meminta pemerintah turun tangan menyelamatkan mereka.

Di mana muka mereka?

Tahukah semua bahwa batas maksimal pendakian di Kalimati sudah ditetapkan karena status Semeru yang terus bergolak? Jika pemerintah melarang demi keamanan bersama, kenapa musti dilanggar?

Demi sebuah puncak dan eksistensi semu, keselamatan diabaikan. Merasa semua bisa naik gunung, merasa kegiatan alam bebas itu mudah. Merasa bahwa seharusnya pendakian itu tidak ada larangan?

Salah, pendaki yang baik bukanlah yang sampai ke puncak, pendaki yang baik adalah pendaki yang turut aturan, pendaki yang menghormati alam bebas, bukan pendaki yang menghalalkan segala sesuatu demi sebuah puncak.

Sumber Gambar
Sumber Gambar

Dengan mudahnya kita melihat para pendaki mengabaikan aturan, tidak mengenakan pakaian untuk alam bebas. Merasa memakai jeans adalah trendy, merasa naik gunung dengan sneakers adalah catchy.

Orang-orang tua jaman dahulu selalu berpesan, ucapkan salam jika pergi ke alam bebas. Itu sebenarnya adalah wujud kearifan lokal, wujud agar orang-orang hendaknya menghargai alam. Alam bebas seharusnya alam yang dihormati bukan menjadi tempat penaklukan dan simbol egoisme.

Foto-foto berterbaran, foto-foto yang menggelorakan petualangan dan keindahan. Foto adalah racun semu yang jika tidak ditemukan penawar hanya membawa kehancuran.

Ada yang merasa superior, mengolok-olok pendaki yang bersama pemandu atau porter. Padahal Edmund Hillary tak akan mampu sampai puncak Everest tanpa porter, tanpa pemandu.

Banyak yang mengeluh karena sistem kuota pendakian, merasa dipersulit naik gunung. Padahal semakin banyak pendaki, semakin banyak jejak yang ditinggalkan, semakin rusak juga alam. Berapa persen mereka yang sadar dan kembali turun membawa sampah mereka? Berapa persen yang dengan sadar turut menjaga lingkungan?

Sumber Gambar
Sumber Gambar

Tongsis menjadi simbol kemenangan manusia terhadap alam dan foto selfie adalah monumen keberhasilan mereka. Orang-orang semakin tidak punya malu melanggar aturan, orang-orang akan semakin mengabaikan larangan, semakin rakus akan pencapaian, semakin berorientasi pada puncak, semakin tidak menghormati aturan dan mengglorifikasi keberhasilan dirinya sendiri.

Obsesi seperti semakin menjemukan. Alam menjadi objek penaklukkan, bukan lagi tempat untuk menempa diri. Semua orang lantas mendaki dan semua orang bisa meng-klaim keberhasilannya masing-masing.

Tapi perlahan , lambat laun orang-orang telah kehilangan rasa hormat terhadap alam. Semua sudah salah kaprah. Naik gunung bukan demi menikmati alam, tapi demi sebuah monumen eksistensi bernama penaklukkan.

Melihat dunia alam bebas sekarang, mungkin Norman Edwin hanya bisa geram dari dalam kubur.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

155 KOMENTAR

  1. Aku suka tulisanmu yang ini Mas. Tapi balik lagi sih ke kesiapan masing-masing pendaki. Menurutku tidak jadi masalah besar ketika banyak pendaki yang ingin mencapai Puncak Semeru aka Mahameru, asalkan mereka tahu konsekuensinya dan sudah melakukan persiapan yang baik. Penguasaan kondisi alam juga penting agar masih bisa menggunakan akal sehat ketika ingin naik ke Puncak, tidak sekedar supaya ingin eksis. Puncak itu hanya bonus perjalanan, bukan tujuan. Ya kan? πŸ˜‰

  2. Eits gw setiap datang ke tempat baru selalu ucap salam lho, ternyata itu tanda kearifan lokal. Gw sech sekalian salam2 buat penunggu nya juga hehehe.
    Tapi yaaa seiring semakin banyak nya social media maka semakin banyak pula orang narsis dan menabrak rambu2 yg ada #LangsungNgaca

    • Arahnya cukup jelas kali mba,, klo melakukan aktifitas dialam bebas mana pun semestinya dan seharusnya mematuhi aturan yg ada demi keselamatan kita sebagai penggiat maupun kelestarian alam itu sendiri. Makanya jangan buang sampah sembarang, buanglah sampah pada tempatnya #jangan meninggalkan apapun selain jejak kaki kita
      salam lestari

  3. Aku iso merasakan sengitmu ning kene.

    Heran juga kenapa naik gunung dianggap penaklukan. Terlalu agresif, padahal ya pendaki itu cuma bertamu ke gunung.

    Padahal mendaki itu mirip seperti kita bertamu ke rumah orang, yang sopan, berbagi senyum, guyub.

    Mudah-mudahan banyak yang baca tulisanmu. Supaya bisa melihat dari perspektif yang lebih luas.

  4. Hargai alam, maka alam menjado teman. Tidak cukupkah Tuhan menciptakan alan untuk kita nikmati dengan bijak dan kita syukuri? Janganlah menantang alam, karena pada akhirnua egoisme hanya akan membahayakan diri sendiri,.

    Btw, tulisan yg mencerahkan mas. Sy suka diksinya:)

  5. Tulisanmu tepat mas, saya setuju. Saya baru pertama naik gunung, dan memang terbesit dalam diri untuk menuntaskan rasa ego. Yah, gunung memang indah dan ada kempuasan saat kita capai. Tapi kadang kita kalap dengan ego untuk berbuat lebih dari sekedar mendaki.

    Semoga kita kembali ke tujuan awal, menikmati alam untuk mensyukuri yang TUHAN ciptakan, dan berusaha tidak merusak.

  6. hahaha…..
    like it chan….
    pada ngapain sih ngejar2 puncak trus posting bahwa “gue udah naklukin gunung itu”. pada gak inget apa? bahwa gak akan pernah ada manusia yang bisa menaklukkan alam. tapi ya begitulah fenomena para pendaki maupun traveller saat ini. maunya nampang trus nyampah. akhirnya alam marah deh…
    *note : bukan alam mbah dukun.haha

  7. naik gunng itu cape,bikin kulit item, dengkul lemes, badan pegel dan tentunya duit habis banyak. mending nggak usah pada ikut-ikut deh. mending tidur aja dikosan atau duitnya dipake buat belanja di mall. think smart guys πŸ™‚

  8. Saya sangat setuju dgn anda mas.. ada yg salah dgn fenomena mendaki saat ini.. saya mau tanya sama penulis kalau pernah ke semeru, anda tetap sampai puncak atau di kalimati saja yg dianjurkan?

  9. ini cuma masalah menahan diri. Gunung kan di Indonesia gak cuma 1 atau 2 aja. Ya kalo naik gunung Semeru atau Merapi yang tidak disarankan untuk puncak ya diikuti saja, toh masih banyak gunung lain yang diperbolehkan naik ke puncak, gunung sahari misalnya.

  10. Sebagai PNS kalimat paling aku suka ini >>> Para pelanggar dengan bangga menentang aturan pemerintah, tapi ketika terjadi sesuatu mengemis pada pemerintah dan meminta pemerintah turun tangan menyelamatkan mereka.

  11. Aku belum pernah denger ada aturan ke alam bebas dilarang menggunakan jeans. Pun dengan obsesi menuju puncak sebagai simbol penaklukan terhadap alam.
    Dan setiap musibah tidak perlu ada yang harus dikambinghitamkan, biarpun itu keegoisan.

  12. Saya berduka sekaligus juga prihatin. Tapi setidaknya, musibah ini bisa jadi pengingat untuk para pendaki maupun bukan agar senantiasa waspada dalam bersikap. Kita pasti tahu kalau setiap perbuatan membawa serta resikonya masing-masing. Sering kita malah lupa resiko tersebut karena pikiran sudah dijejali oleh asumsi “nggak apa-apa”. Sekali lagi, semoga musibah ini senantiasa bikin kita ingat untuk selalu berhati-hati.

  13. Lebih suka ke pantai, terus Leyeh – leyeh seharian deh. Kegunung persiapannya ribet, kalau enggak alam lawannya. Salah perhitungan, pulang bisa tinggal naman? Demi apa? Tapi tetep, itu piihan, kalau mau nekat, minimal harus penuh persiapan πŸ™‚

  14. Saya sepakat mas, alam dibatasi aturan, ada etikanya, perlu ilmunya, tidak bebas begitu saja.
    Kalo boleh ngasih pendapat, saya rasa penamaan istilah “alam bebas” kurang tepat, lebih baik kegiatan di “alam terbuka”

  15. ikutan introspeksi. sedih juga pas sabtu kemaren ke ranu kumbolo, tempat camp nya penuh banget, takutnya malah ngrusak alam. Ditambah ada yg buang sisa makanan sembarangan, sampai sampai botol bekas minuman ada di tengah danau, selain itu juga ada yg petik bunga. Sedih juga liatnya.
    Smoga ke depannya bisa dibatasi jumlah pendaki di sana, biar gak membludak dan alam tetap terjaga.

  16. “Sesungguhnya apa yang ingin dicapai saat mendaki gunung? Puncak?”

    Untuk sebagian orang, IYA. Untuk pendaki lazy kayak aku, tergantung mood.

    “Sampai puncak lantas berfoto untuk menunjukkan bahwa mencapai puncak adalah sebuah pencapaian? Saya tidak tahu, mungkin demi tren?”

    Oh tentu saja kak chan. Clara Sumarwati sampai sekarang gak diakui sebagai pendaki Indonesia yang pertama kali muncak nang Everest gara2 gak punya fotonya. Bukan demi tren, tapi, come on chan, masak gak foto2 sih? Kasian Fuji-nya ehehe.. So, tidak ada yang salah juga dengan berfoto di puncak. Dan berfoto di ujung batu itu memang menggoda.

    IMO sih gini kak. ada tiga hal penyebab kecelakaan:
    kondisi tidak aman, tindakan tidak aman, dan nasib. kecelakaan yang menimpa almarhum memenuhi kedua kondisi yang pertama. Aku sih memperkecil konteksnya pada hal itu saja dan pada batu yang dipanjatnya.

    Mengenai apakah almarhum masuk dalam jajaran pendaki egois-narsis atau tidak, wallahu alam, kita gak saling kenal.
    Apakah dia naik Merapi untuk menaklukkan, bukan sekedar mendaki? Entahlah, kita gak tau dia penakluk gunung atau sekedar pendaki. Yang aku lihat, saat itu cuaca kayaknya lagi bagus. Tidak ada kondisi alam yang lagi berbahaya yang dilawannya demi “menaklukkan puncak.”

    Aku rasa sih, kurang adil untuk almarhum ketika kasusnya ini jadi dasar bahasan tentang egoisme dan narsisme pendaki. Saat mbaca tulisanmu, aku langsung jadi merasa almarhum itu pendaki egois bin narsis yang cuma ingin menaklukkan puncak-puncak gunung di muka bumi. Padahal, kita gak kenal dia sedalam itu πŸ™

    • Kak. mungkin konteksnya Clara berbeda. saya tidak masalah kog foto-foto, yang jadi masalah itu berfoto yang melampaui batas kak. jika demikian kan merugikan diri sendiri dan banyak orang.

      Padahal tulisan ini bukan ingin merujuk atau mencap almarhum yang demikian, namun pengingat untuk kita semua. πŸ™

    • Sebenernya bukan masalah tidak boleh berfoto loh.. masalahnya almarhum sudah melanggar aturan yang sudah ada.. jelasΒ² papan peringatan sudah di pasang, sejak gunung meletus 2010 tidak boleh ada yg mendaki sampai puncak kecuali pihak yang meneliti gunung tersebut…apalagi buat berfoto di puncak garuda menginjak puncak merapipun sudah ada larangannya.. karna tidak patuh pada aturan maka resiko yg besar yg akan di hadapi yang akhirnya mencelakakan diri sendiri… faktor takdir juga karna mati, jodoh, rezeki ditangan Yang Maha Kuasa..

  17. Apakah postingan ini lanjutan dari twit2mu kapan hari itu ya? Aku sendiri sih tadinya mau naik ke Semeru bulan ini, tapi berhubung kuota udah penuh, ya akhirnya dibatalkan saja. Semua biaya yang sudah dibayar seperti tiket kereta dll, langsung dibatalin. Terus terang sih, mendaki gunung rame2 sampai membludak sih gak asik. Dan fyi, pengelolaan kunjungan ke gunung di Indonesia ini menurutku agak (sorry to say) amburadul. Bulan Maret kemarin belajar sama pengelola pendakian di Kinabalu. Sungguh, dalam beberapa hal, bangsa ini harus rendah hati untuk mau belajar tegas tentang aturan dari negara2 yang lebih maju. Malaysia cuma punya Kinabalu, tapi pengelolaannya, termasuk di dalamnya perihal perijinan, keselamatan, asuransi, dll, bener2 total bagus banget. Apa mungkin karena kita punya banyak gunung dan banyak (permintaan ijin untuk) pendakian, jadi mikirnya (sekali lagi maaf), “wong tak kasih pelayanan biasa aja, banyak yang mau, ngapain juga harus pelayanan maksimal”. Sekali lagi, paradigma seperti inilah yang seyogyanya mulai diubah. Selfie gak perlu dilarang, tapi aturan ttg kuota, standar keselamatan, kenyamanan pendaki, dan kelestarian alam tetap menjadi aturan baku yang perlu ketegasan dalam pelaksanaannya.

    *kok jadi panjang, aku nyinyir gak sih? :D*

    • Kinabalu memang benchmark yang bagus mas untuk pengelolaan gunung. Dari fasilitas sampai SDM bagus, kalau demikian kan jadinya yang enak semua mas. Dari pendakinya enak, alam tetap lestari.

      Btw ga nyinyir kog. πŸ™‚

  18. Tulisan ini, menurut saya sangat menggambarkan bagaimana keadaan sekarang untuk kegiatan alam bebas,
    Semoga bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua…
    dan bisa lebih bijak dalam melakukan kegiatan alam bebas…

  19. Mending naklukin puncak “gunung kembar” aja deh :p
    Salut tulisanmu bang, semoga banyak yang membacanya sebelum memutuskan mendaki atau mlungker. πŸ˜€

  20. oknum yo mas…arek2 arbimapala alias arek biasa macak pencinta alam….hehehe. Hanya mental tanpa kemampuan.

    ngebahas ttg ‘egoisme’ mereka gak bakal ada habisnya, sejak dulu…

    semoga kita bisa ambil hikmahnya.

  21. Tulisan yang sangat bagus dan saya setuju dengan yang mas tulis.
    Saya sebagai pendaki pemula juga pendaki kelas karyawan yang kalau anak pramuka nyebutnya PERSAMI (perkemahan sabtu minggu). Awalnya saya dan teman kantor saya mendaki hanya ingin refresing menghilangkan stress dan mengulang kenangan waktu sekolah dengan kegiatan kepramukaan.mula mula kami mendaki gunung yang ada disekitar kota saya tasikmalaya itu pun sebenarnya bukan gunung tapi bukit yg cukup tinggi yang bisa memberikan pemandangan kota dimana saya tinggal.kami sangat senang dan puas sekali walaupun dengan peralatan seadanya, dengan kepuasan itu kami menjadi ketagihan untuk mendaki tempat yang lebih tinggi lagi yang ada di daerah kami. Gunung yang kami daki biasanya hanya didatangi pendaki lokal dan tiap kali naik gunung tidak ada tenda lain selain tenda kami, suasananya pun terasa sangat sepi. Tetapi ketika minggu kemarin kami coba naik ke. Papandayan suasAnanya sungguh berbeda sekali dimana tempat kami mendirikan tenda itu tidak ubahnya seperti pasar malam diatas gunung ramai sekali tidak ada suasana sepi. Apa mungkin setiap gunung yang sering di datangi pendaki profesional suasananya seperti itu ? Maklum kami hanya pendaki lokal kelas karyawan yang tujuan mendakinya hanya untuk menghilangkan kejenuhan dan stress akibat beban pekrjaan. ….salam lestari….

  22. Wah artikel bagus mas. Kadang saya risih sekali ketika melihat orang dengan santainya meninggalkan sampah di gunung. Ijin share ya mas. Wehehe

  23. Dimana langit dijunjung, disitu bumi di pijak. Pepatah ini jangan dianggap basi.

    Setiap pendaki, entah dari manapun dia berasal, wajib menjaga dan mengikuti kearifan budaya lokal.

    Di gunung, kita ibarat tamu yg harus permisi dan tidak bisa semaunya sendiri. Bersikap baik agar diperlakukan baik pula oleh sang pemilik rumah.

  24. perlakukan alam sebaik nungkin, maka alam akan memperlakukan kita dengan baik.

    Jaga lisan dan langkah kita slma mendaki, tetap membumi.

  25. Tulisan nya mu mengunggkapkan isi hati ku mas ef,

    sedih liat kondisi jalur pendakian dan shelter gini hari, apa lagi liat foto ranu kumbolo itu mas…amponn dimana bisa cari ketenangan dalam alam πŸ™

    saya berharap makin banyak orang seperti mas ef menyuarakan pikiran nya, dan membuat banyak pihak sadar akan tanggung jawab nya. amin

    sekadar komen dari penikmat alam mas, maklum saya bukan pendaki (malu ngaku pendaki piss )

  26. naik gungung itu hobi bro dan naik gunung sampai puncak itu lumrah karna keinginan seorang pendaki itu yah emang harus sampai tujuan biar gk penasaran

  27. Numpang sholat subuh di puncak biasanya πŸ™‚

    Pernah naik pas ada acara tapak rinjani,
    Uh tenda kita di suruh pindah. Katanya. Area ini khusus buat tim tapak rinjani.
    Alhasil minggir n et dah kanan kiri banyak sampah domestik (p*p) manusia. Entah apa di pikiran mrk ketika membuang sampah domestiknya. Kucing aja pinter buang sampah domestik…

    Maaf jd curcol

    Salam kenal

  28. ada yg salah y sm pendaki atau traveller jmn skr kak?emng kaka dl naik gunung awalnya tau drmn.aku yakin pendaki senior dulunya juga nggak tau banyak.Karena setiap pendaki atau traveller tergerak hatinya untuk mendaki berbeda beda entah dr sosial media ajakan temen dll.

    • Hehe.

      Pendaki dulu kulturnya beda kak, dulu iklim pendakian itu sedikit karena pendakian di zaman dulu tidak sembarang orang. Biasanya anak Mapala yang mendaki, which is mereka sudah mendapat Pendidikan tentang hidup di alam bebas.

      Demikian bedanya.

  29. Ef, gw msh komplit assalamualaikum ama baca fatihah. Wejangan dr bapak n kakek hehehehe. Sudah se-egois itukah pendaki sekarang?

  30. Gak tau bilang apa lagi, langsung tersentak seketika baca tulisan ini. Meningat kembali kalo sekarang naik gunung merupakan trend ‘kekinian’ apalagi buat mahasiswa. Entah kenapa bener-bener open minded tulisannya, saya bukan orang yang suka naik gunung dan tertarik dengan dunia seperti itu, dan melihat trend mahasiswa skr yang gaul bgt rasanya pamer foto di instagram, jadi pengen juga naik gunung. Tapi setelah baca tulisan ini saya jadi berfikir kalo naik gunung bukan hal sepele dengan bermodalkan fisik dan tongsis aja. Makasi mas tulisannya, bisa dishare mungkin ke mahasiswa yang lagi trend kekinian ala-ala anak gunung,

  31. “pendaki” jaman sekarang mungkin sudah lupa mas tiga wejangan utama sebelum masuk alam bebas..
    1. jangan mengambil apapun kecuali gambar
    2. jangan meninggalkan apapun kecuali jejak
    3. jangan membunuh apapun kecuali waktu

    salam lestari…

  32. Setiap manusia pasti punya sifat yang namanya sifat egoisme.dari sifat egoisme diantaranya ada dampak positif dan negatifnya.dampak positifnya bisa kita ambil dan dimanfaatkan karena menguntungkan tapi untuk dampak negatif karena merugikan dan harus benarbenar dihindari.
    Seperti contohnya naik gunung.memang benar kuncinya itu persiapannya yaitu kesiapan perbekalan, kesiapan fisik dan mental untuk mengurangi dampak negatif seperti kecelakaan digunung, tersesat dan halhal yang tidak diinginkan lainnya.jika ada persiapannya kurang dan sifat egoisnya muncul pasti kita tau dampak negatif resikonya dan halhal tersebut bisa saja terjadi kalo bisa terhindar itu hanya untunguntungan aja.
    Kesimpulannya semua hal ada resikonya.jangan melibatkan sifat egois pada hal yang beresiko.

  33. ah liat artikel sama komentar ny mengulas rasa kegelisahan yg keliatanny memang mewakili suara sebagian pecinta alam (yang ori loh) rasany gatel jg pengen komen buat apresiasi sma nanggepin,
    gw jg bingung skrng mau seneng bangga atw sedih naik gunung jadi tren sendiri d klangan ank muda khususny, intinya gini alam ini bebas dinikmatin spa aj, lu bukan ank mapala d ukm kampus juga selow gpp trmsuk foto selfie jg hal yg wajar lh tpi lu mesti tw essensi ilmu2 ny lu tw prepare & tw cara menikmati alam dengan aturan mainny, jngan trlalu superior (bner bnget tuh) krena lu udh “lebih dulu” kecemplung d dunia ini, dngan crita pengalaman & ksi contoh yg baik udh ckup buat orng respect sma lu. biasain tiap satu rombongan ada orng yg expert yg bisa ngerem orng2 yg labil itu tdi berbuat hal2 konyollah, btw rasa belasungkawa jg buat sodara kita yg tertimpa musibah di aktivitas kita yg sama, penyebab utama yg pasti kita belum tahu, sebisa mungkin g ush dibahas atw dikait2kan lh, trimaksih abng2 sesepuh dri penikmat alam yg msih amatiran ini

  34. Rindu dengan jaman ketika naik gunung kita harus berminggu-mingu sebelumnya persiapan fisik dulu. Jaman ketika kamera dslr hanya untuk orang yg memang bekerja dibidangnya. Jaman digunung tak berfoto pun tak apa. Turun dengan membawa kantung besar trash bag. ketika harus memungut sampah di sepanjang jalan kita masih jarang menemukan apa yg harus dipungut.

  35. Iya pak, setuju, puncak bukan tujuan, tapi bonus, yg utama itu turun dengan selamat, itu yg selalu kami ucapkan setiap trip, nangis juga kalau liat treck banyak sampah, batu2 di tulisin nama, ngomong sesukanya gak di pikir, ngerasa harus sampe puncak walau tau gak mampu dan gak tau caranya,
    semoga gak ada korban lagi, meski kalau naik lebih sering sampe puncak, bukan maksud buat melanggar aturan, tapi lebih pada merasa mampu karna pengalaman dan doa, tapi tulisan abang bagus, cukup buat renungan,
    semoga pendaki baru belajar dulu sebelum nyoba, dari foto terkesan gampang, tapi sebenernya sulit, perjuangan dan nyawa dari mendaki itu gak bisa dibayar cuma dengan foto. karna buat saya naik itu bukan buat foto, tapi mencoba mengerti kekuasaan tuhan, supaya lebih bisa tau diri kalau kita itu kecil. gak punya kekuatan apapun di banding tuhan, itu.

  36. jangan meninggalkan apapun kecuali jejak… jangan mengambil apapun kecuali gambar.. #salam satu jalur ..blaarr..blaarr

    • Sebenarnya gunung bukan tempat untuk pencapaian puncak…
      Tapi alam liar tempat kita untuk menyadarkan kita betapa kecil diri kita…
      Slama ini saya naik gunung,yg mampu saya nikmati hanya proses perjalanan nya,bukan puncaknya…
      Karna mnurut saya puncak hanya pembatas saya untuk menikmati jajaran hijaun pepohonan yg sejuk N tenang….
      Keren mas tulisannya,smoga orang” yg punya keinginan naik gunung tanpa pengetahuan N pengalaman akan berfikir lagi tentang tujuan mreka naik gunung

  37. tulisannya yg bagus mas, kalau konteksnya mengenai keangkuhan kita dalam “harus” mencapai puncak, saya setuju banyak yang mengabaikan. terlebih hanya untuk mendapatkan “likes” dari followersnya..
    banyak dari kita mungkin sebagai pendaki yang melihat puncak sebagai tujuan akhirnya, sehingga jika tidak sampai ke puncak ada perasaan yang mengganjal..
    saya teringat dengan kalimat manis teman perjalanan saya saat ke semeru, “bukan puncak yang kita cari, tapi perjalanan yang kita nikmati”, saya sempat sedih karena tidak sampai di puncak. tapi semakin kesini saya justru menyadari, kesehatan untuk bisa pulang dan berkumpul bersama teman yang lain untuk merencanakan perjalanan yang lain akan terasa lebih luar biasa.
    salam backpacker :))

  38. tulisannya oke!
    Mendaki/berpetualang harus dengan ilmu. tidaklah cukup dengan fisik yg kuat dan logistik yg banyak. karena dengan ilmu selalu tau apa yg harus dipersiapkan dan di lakukan.

  39. Mungkin saya akan menggunakan sifat egois saya untuk tidak foto waktu nanjak.biar tak simpen neng otaku dewe om.hahaha

  40. Tulisan yg apik. Menyentil namun santun. Luar biasa! Semoga para traveller lebih santun terhadap alam. Lebih cinta alam tanpa embel-embel eksistensi.

  41. skarang naik gnung dianggap sbagai tmpat rfreshing saja, bnyak dri mreka blum tau tjuan utamanya. pengalaman dri teman saya. dia n rmbongan yg kbtulan tidak mmbawa tenda berniat untuk numpang ditenda pndaki lain, tpi mereka malah di tolak n diusir. padahal dulu ketika sya mengalami hal yg sama, tanpa diminta para pendaki yg lain dengan snang hati mau membantu. sangat aneh sebenarnya, disisi lain senang karena saat ini sudah bnyak orang mau naik gunung, tpi disisi lain, mereka tidak mau saling brbagi n tlong mnlong sbagaimana mstinya seorang yg mncintai alam n sesama.

  42. Bener mas, essensi dari pendakian sekarang sudah hilang.. kalo jaman sma dulu (sy angk. 99) bagi saya pendakian itu sebagai sarana buat merenung, belajar kepada alam tentang hidup dan kehidupan, dan alampun akan membentuk karakter dan mental kita. Tidak seperti sekarang, mendaki rame2, bawa speaker aktif, bersenda gurau tanpa batas, padahal digunung juga tempat tinggal makhluk Tuhan yg lain yg kasat mata…
    Mengejar puncak demi sebuah gengsi, memburu foto. Makanya sekarang banyak pendaki P4 atau Pendaki Pemburu Poto Profil… hehehehe….

    Salam Freelance

    • Salam Kaka!
      Benar ada pergeseran yang sangat terasa di iklim perjalanan sekarang ini, jadi ada kekosongan dan ada yang kurang dari mereka yang kurang menghargai alam.

  43. suka dg tulisan ini.semoga saja bnyk yg membaca dan mengerti.tulisan ini mengingatkan sy dg apa yg pernah dikatakan Mba Kost sy kurleb 7th yg lalu saat sy bertanya gmn rasanya naik gunung..

  44. Keren banget kak πŸ˜€ Dulu yang naik gunung emang bener2 anak yang Pecinta Alam, yang ngerti attitude di alam tapi sekarang siapapun bisa naik gunung tanpa mengindahkan norma, sopan santun dan attitude naik gunung dan alhasil sampah bertumpuk di gunung (contoh kecilnya). Emang ga ada yang ngelarang buat semua orang untuk naik gunung, karena pada dasarnya naik gunung itu bebas untuk siapa aja, tapi ya itu tadi kita harus inget norma2 yang ada dan jangan melanggar aturan yang ada. Memang sih orang Indonesia memiliki tabiat adanya aturan adalah untuk dilanggar, saya pun kadang juga seperti itu, tak bisa dipungkiri, tapi kita juga harus tau seberapa besar konsekuensi dari aturan yang kita langgar, adanya garis marka dijalan ga cuma dibuat asal2an ada yg putus2 ada yang lurus terus, para ahli geodesi sudah memprediksikan apakah jalan tersebut aman jika kita ingin mendahului pengendara yang lain, jika kita ga tau makna dari semua peringatan, tanda, atau aturan itu maka wassalam lah pengendara yang ada dijalan, hal ini bisa kita analogikan dengan Mountaineering πŸ™‚ . Semoga semuanya bisa menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita karena dalam realita kehidupan gunung mengajarkan MENUNDUK saat NAIK, TEGAP saat TURUN, dan MELIHAT KEBAWAH saat DI PUNCAK πŸ™‚
    Salam Lestarii !!!
    -Ijin share kak πŸ˜€ –

  45. memang ketika alam di post di media sosial maka efeknya akan banyak pengunjung menghampirinya. bertambah dan terus bertambah.

  46. setuju om…mungkin pendaki alay jaman sekarang ga diajarin 3 wejangan sakti itu. ga diajarin puncak adalah bonus, tujuan utama adalah kembali kerumah dgn selamat. ga diajarin kita bukan menaklukan alam tapi menaklukan diri sendiri..sebaiknya kita sm2 belajar,kl ga mending balik aj jalan2 di mall..

  47. Mas, salam kenal yaa. Saya kurang lebihnya setuju sama tulisan yg mas tulis. Tapi ada beberapa hal yg rasanya kurang tepat menurut saya. Pertama, tidak semua pendaki itu egois, setuju mas? Jika sekarang banyak mahasiswa yg seolah mengikuti trend aja buat naik gunung dan merasa puncak itu adalah tujuan, lalu ketika terjadi sesuatu dan merugikan orang banyak, jelas itu salah. Lalu pertanyaan saya, bagaimana cara petugas di basecamp pendakian “menyeleksi” mana yg pendaki “bener” (dalam hal ini mapala dsb) dan mana pendaki yg hanya ingin gaya-gayaan? Karena kembali lagi pada hakikatnya alam itu bebas dinikmati oleh siapa saja.
    Lalu yg kedua mas, 2 minggu yg lalu saya baru saja alhamdulillah turun dari semeru, dan alhamdulillah Allah mengijinkan saya mencapai puncak para dewa tersebut. Ya benar saya sampai ke mahameru. Tapi disini yg perlu saya koreksi, aturan resmi pendakian memang hanya sampai kalimati, tapi sebelum mulai mendaki, kami di briefing oleh anggota Semeru Volunteer (kalau tidak salah nama) dan diberitahu bahwa jika ingin mendaki sampai puncak, maka resiko ditanggung sendiri. Dan saya beserta teman-teman memutuskan mengambil resiko itu. Bukan karena ingin menaklukan gunung apalagi gaya-gayaan di puncak. Tapi karena rasanya perjalanan hati belum sempurna jika belum menginjakan kaki di puncak tertinggi jawa itu. Alhamdulillah, sekali lagi semua berkat kekuasaan Allah kami semua selamat sampai kembali lagi ke rumah. Lalu mas, ternyata Semeru sekarang memang menyedihkan. Banyak pendaki yg membuang (maaf) tissu dan botol kosong bekas pakai mereka untuk (maaf lagi) cebok di semak-semak (yg sekarang berbau agak pesing). Lalu dalam pendakian saya juga bertemu beberapa pendaki yg hanya memakai sepatu kets, ransel seadanya, dan berdandan seperti hendak ke mall. Duh, miris lihatnya, tapi yasudahlah.
    Dan terakhir mas, ini agak lucu sebenernya. Tapi saya bingung apa masalahnya dengan tongsis? Hehehe. Alat ini jaman sekarang bener-bener berguna loh mas. Take selfie atau groufie menjadi lebih dengan alat ini. Yg salah bukan tongsisnya mas menurut saya, tapi sekali lagi, penggunaan hasil jepretannya itu, apakah dipakai untuk menjadi sesombongan atau tidak. Kalau memang orang berniat sombong, dia tidak perlu tongsis untuk membuktikan “kejayaan” dia mencapai puncak.
    Teman-teman saya yg sudah lebih berpengalaman dalam mendaki selalu bilang “tujuan kita bukan puncak, tapi pulang ke rumah dengan selamat dan utuh”, kalimat itu yg selalu mampu “menahan” saya untuk tidak memaksakan diri jika memang sudah tidak kuat. Saya ngga mau kalau mati ngerepotin orang lain lebih dari yg seharusnya hehe.
    Sekali lagi terimakasih tulisannya mas, bagus. Semoga banyak yg mbaca dan menjadi teguran, serta membuat para pendaki pemula seperti saya ini mikir dua kali untuk mendaki. Salam lestari ya mas πŸ™‚

    • Mas, contoh bagus soal naik gunung ada di Kinabalu, Malaysia. πŸ™‚
      Di sana, seleksi dilihat dari applicant yang masuk, daftar barang bawaan dan pendaki harus mengikuti rules.
      Kadang Indonesia harus keras supaya semua harus turut aturan.

  48. Ini nih yg baru gue sadar dulu waktu di gembleng jadi anggota sispala,berat coyyy
    ternyata hidup di alam bebas gak semudah njulurin tongsis doang.kurangi naik gunung dulu lah biar gak jadi anak kekinian haha

  49. kak mau comment. Pas aku udah cukup umur buat naik gunung, lihat gunung sekarang sedih banget. Kotor. Bikin kecewa. Padahal niat awal pengen bisa naik gunung karena pengen tau indahnya Indonesia, malah sekarang kotor, dan isinya orang selfie sampe enek sendiri aku liatnya πŸ™

  50. wah lagi2 artikel yang menarik, dan kebetulan saya mahasiswa pecinta alam. setuju 100% terhadap tulisan mas.

  51. Saya jadi ingat pengalaman saya pada 17 agustus 2011 kami tertahan di kalimati krn puncak mahameru sedang ada letupan padahal mau ada upacara kemerdekaan dan pengibaran bendera, tpi toh akhirnya kami tidak muncak. Beruntunglah kami yg dididik dgn ajaran pecinta alam untuk menahan ego kami, sangat sayang bilang ada yg harus meregang nyawa krn ego terlebih di alam bebas. Tdatsa

  52. Setuju kawan…walaupun memang sekarang banyak pendaki tanpa pelatihan mapala tapi masih banyak yang mendaki untuk bercinta dengan alam bukan hanya datang untuk memperkosa alam

  53. apik tulisan ne masdab..
    sempat miris liat diinternet semeru n gede jd penuh sampah…
    musti dr oknum pendaki yg g bertanggung jwb, jd pgn mampir sono CUMA PENGEN bersihin sampah2 ntu..

  54. Izin komen mas, sebenarnya arti dan definisi dari PA (Pecinta Alam) itu apa? Kalau dirunut-runut, semua mengarah ke kebersihan dan kelestarian. Kalau perihal kebersihan, bersih desa, bersih-bersih sampah di got kampung kan juga bisa kan mas, gak harus di alam bebas? Kalau kelestarian, kita kan juga bisa menjagan di kampung. Contohnya Kampung Naga.

  55. Bener bener miris melihat kelakuan pendaki yg tidak br tanggung jawab dg sampah mereka,mkg karena mereka berpikir bhw mrk tdk akn kembali kesana lagi jd mereka bisa membuang sampah seenaknya …. Semoga ada perubahan berfikir bhw kita harus menjaga “titipan” dari tuhan yaitu keindahan alam indonesia untuk generasi mendatang

  56. waktu itu aku naik Rinjani gak nyampe puncak, cuman sampe Plawangan Senaru. waktu itu aku ngambil jalur Senaru, duh mas… sampah sudah gak keitung lagi banyak nya di setiap aku ngelangkah. sampai bertanya2 di dalem ati, ini gunung atau Bantar Gebang? ya, begitulah sebagian orang Indonesia, rela beli barang mahal seperti Go Pro, cuman buat selfie muka nya doang di gunung. Who cares, right?

    Ya memang benar, selfie pake Go Pro di gunung juga hak masing2. tapi lagi2, esensi dari “dekat dengan alam” udah gak berlaku lagi untuk banyak orang Indonesia. yg mereka tau ya itu, bawa carrier, siapin Go Pro, rame2 bikin tenda, makan mie dan buang sampah sembarangan di gunung. Hasilnya? Foto yg lumayan aja dipamer di instagram. sudah, memang hanya foto saja. tanpa ada makna cerita di balik foto tersebut.

    Beda dengan orang2 bule yg naik gunung ya mas. waktu itu saya perhatikan di Rinjani, hampir semua orang bule yg naik gunung nyewa porter buat bawain barang mereka. para bule2 gak malu barang mereka dibawain, mereka mendaki dengan santai, tenang, dan selalu menyapa pendaki Indonesia dengan ramah. bule2 itu juga bawa anak2 mereka yg masih kecil. hebat, dari kecil sudah diajarkan buat sayang sama alam. bukan kayak orang Indonesia, tiba2 aja naik gunung tanpa dibekali pemahaman yg baik tentang alam.

    semua orang bisa naik gunung. tapi gak semua orang bisa ngedapetin pelajaran yg berharga dari sebuah perjalanan.

    “Melihat dunia alam bebas sekarang, mungkin Norman Edwin hanya bisa geram dari dalam kubur.” -> ini quotes yg bagus, dan sedih sekali…

  57. Wahhhh mas kata katanya ngungkapin perasaan pendaki bgt nih. Saya agak miris ketika lihat di instagram ada cewe pingsan terkena batu dari semeru ketia beliau ingin muncak, betul apa yg di katakan mas ketika saya tanya soal legalitasnya untuk muncak orang tersebut tb tb balas dengan kata sinis dengan pembelaan dan ngotot tidak mau salah, agak miris liat orang seperti ini, saya pun ketika main beberapa tahun lalu ke semeru mengikuti aturan yang ada hanya sampai kalimati dan saya tidak faham dengen brefing yg di maksud bahwa boleh muncak ke semeru, ini artinya volunter yg mengatas namakan semeru telah melanggar aturan, semeru sudah di tetapkan oleh pemerintah dan itu peraturan resmi di keluarkan, jadi siapa yang salah disini? mungkin semua merasa pro sehingga merasa bahwa semeru gunung ayang mudah di taklukan sehingga mengabaikan aturan. Saya hanya berpesan semoga semakin banyak pendaki cerdas.

  58. saya ironi sekali dengn kejadian tersebut.
    ketika turun tebing dengan tangan kosong, tanpa alat, bahkan tidak pernah saya temukan teori dan prakteknya sejak sya dlu ikut pencinta alam. Saat pertama belajar manjat di tebing. Yang ada adalah naik dengan tangan kosong, atau free-climbing. Sementara untuk turun , tetap saja harus pake alat. nah ini turun gak pake alat. apakah pantas bgi pencinta alam ? apakah penikmat alam ?
    Kesimpulannya, korban bukan seorang pendaki gunung yang terlatih. Bukan anggota kelompok Pecinta Alam yang terdidik. Melainkan dari komunitas back-packer. Sebuah komunitas yang mengandalkan pada kepemilikan peralatan mendaki, ditambah semangat untuk selfie, yang sengaja atau tidak, suka atau tidak melakukan β€œskip level”. Melompati tahap kronologis pendidikan dan pelatihan dasar, serta pembinaan lanjutannya.
    Apapun persoalan yang dibahas, tidak mungkin kembali lagi. Yang tinggal adalah menyoroti kasus ini dengan objektif, seraya menggugah tanya , ini … aksiden atau insiden ?
    Demikian pula dengan grup Pecinta Alam lainnya, yang kena getah akibat ulah mereka para komunitas backpacker yang tanpa pendidikan dasar seperti halnya kejadian di merapi ini almarhum bukanlah pencinta alam melainkan penikmat alam atau komunitas backpacker.

  59. Mantab kang artikel nya
    Miris liat insiden akhir2 ini pendaki di merapi dan semeru, entah apa yg ada dibenaknya sampe ngelakuin hal2 yg diluar kewajaran demi ego atau malah ketidaktauannya tentang akibat hal2 yg mereka lakuin, sudah saatnya pengelola taman nasional memberlakukan ijin yg ketat buat para pengunjung yg mau mendaki, jika setiap pendaki berpikiran lebih dewasa pasti akan memininalisir hal2 buruk yg terjadi dialam

  60. Hmm amanat yang bisa aku ambil dari tulisan mas ini, nikmati prosesnya, puncak hanyalah sebuah bonus bagi kita yang sukses menjalani prosesnya. Emang kebanyakan sekarang orang mundaki hanya untuk pamer bahwa ia pernah pergi dan menaklukan sebuah gunung.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here