IMG-20150810-WA0007
Foto Β© Centhini Alam

Bagi Latief Yunus, kopi adalah takdir, hidup yang harus terus dihidupi. Seumur hidup, sejak orok, beranjak berjalan, hingga kini ketika rambutnya sudah tertelan putih, kopi adalah semestanya. Bisa jadi aroma kopi adalah kekasih dan pahit kopi adalah kawan baik bagi Latief.

Di antara lapak-lapak pedagang makanan peranakan di tengah pasar yang beceknya lengket, di antara dengung lalat yang mengerubungi daging babi yang digantung sekedarnya, Latief duduk dengan gagah dari balik singgasananya, kursi kasir Kedai Kopi Es Tak Kie. Tatapannya tajam, setajam hidungnya membaui kopi terbaik yang bisa ia pilih, senyumnya lebar sekali memperlihatkan giginya yang putih dan kukuh.

Siang itu Latief adalah raja di istana kecilnya, kedai kopi yang sudah menjadi takdir hidupnya.

“Silakan-silakan”

Senyum Latief tak henti dihempaskan pada pengunjung tak henti datang, sembari menghitung uang, mata tua Latief terus memperhatikan kedai kebanggaan.

Sudah ditinggikan berapa kali, tetap saja kena banjir” Begitu keluhnya, Gang Gloria tempat Kedai Kopi Tak Kie memang tempat yang ramah terhadap air, tanpa diundang pun kawasan ini setiap tahun sudah menyilakan banjir untuk datang, tanpa mengetuk pintu air tiba-tiba akan menggenang.

“Dulunya tinggi plafonnnya, sekarang jadi makin pendek.” Latief menerawang, saya turut menatap ke atap yang kusam termakan tahun, digerogoti jamur. Saya duga seperti layaknya bangunan tua, awalnya plafon ini tingginya empat meter, karena banjir, jarak antara lantai dan plafon makin memendek.

Saya memesan Es Kopi Susu, minuman yang selalu cari ke sini. Tidak ada kopi cantik penuh busadengan lukisan segala rupa di atasnya. Hanya gelas, kopi yang dicampur susu kental manis, sedikit gula dan es. Satu teguk sirnalah segala panas yang menyembur selama di perjalanan, ada kelegaan dalam setiap pahit yang tak sengaja tersesap.

Latief kembali di balik meja kaisrnya. Kedai Es Kopi Tak Kie adalah pengecualian dari tren minum kopi yang menggurita. Di saat nafsu mencari keuntungan mengubah gaya hidup minum kopi, menjadikan kedai kopi adalah lambang gengsi, Es Kopi Tak Kie tetap bernafas di tengah riuh rendah gang kotor yang jarang dilirik orang, di tempat yang asing bagi gengsi.

Tapi orang-orang tetap mencari racikan kopinya.

“Lha Jokowi aja minum kopi di sini, gara-gara ke Tak Kie Jokowi jadi presiden kan? Coba kalau ga ngopi di sini.. Belum tentu jadi presiden..”

Ada nada penekanan yang lucu di bagian akhir kelakarnya. Latief lalu menunjukkan potongan berita di koran yang ditempel dengan pigura dan dengan bangga menunjukkan pesohor-pesohor yang pernah mampir.

“Yang terakhir ke sini Butet Kartarejasa, itu ada fotonya.”

Walau di dalam gang, kedai kopi ini dikunjungi para pesohor. Tak hanya engkoh-engkoh dan enci-enci, anak muda pun banyak yang berkunjung. Pergeseran gaya minum kopi telah membuat kedai kopi tua kembali diminati, kedai kopi yang menyajikan orisinalitas dan histori dalam setiap gelas yang tersaji.

IMG_20150809_123002

Melihat hiruk pikuk di dapur, tampak tak ada yang spesial dari Es Kopi Tak Kie. Tak ada bau wangi khas coffee shop masa kini, tidak ada barista dengan rambut undercut yang tak bosan menebar senyum menawan. Hanya ada seorang pembuat kopi, wadah kopi besar dari aluminium dan seorang pelayan yang mengantarkan kopi yang telah dipesan.

Tapi ini yang dicari pembeli, seperti layaknya dalam hidup yang selalu ada pengecualian. Kopi Es Tak Kie adalah pengecualian, tempat yang kecil, cenderung pengap, bukan coffee shop yang wangi dengan pengunjung yang rapi jali. Es Kopi Tak Kie dicari karena hal-hal sederhana, cakap antar pengunjung yang ramai, Latief dengan senyumnya. Tidak ada mesin espresso, tidak ada brewing yang rumit, hanya kopi, gula, susu kental manis dan es. Kesederhanaan-lah yang membuat Latief dan Tak Kie-nya menjadi istimewa.

Kesederhanaan ini memang ruh dari Kedai Kopi Tak Kie. Nama kedai kopi yang dibangun oleh kakek dari Latief di tahun 1927, ini mencerminkan kondisinya sekarang. Latief menjelaskan filosofi nama Tak Kie, Tak artinya adalah orang yang sederhana, sikap yang apa adanya, tidak menuntut yang berlebihan. Kie adalah tempat yang akan selalu diingat orang.

Filosofi nama Tak Kie persis benar dengan kondisinya yang sekarang. Sudah hampir satu abad berdiri kedai kopi ini tetap menyajikan hal yang sederhana, tidak lantas membumbung, menggurita menjadi korporasi yang membuat segala hal yang nikmat menjadi kapital dan orang-orang tetap datang berkunjung, sesempit dan sebecek apapun gang menuju kedai kopi ini.

“Saya sendiri yang mencari kopinya, ganti-ganti supplier kopi, saya tidak berhenti sampai nemu bijih kopi yang pas.”

Sejak 1974 Latief dipercaya memegang kedai ini dari ayahnya, sejak itu pula Latief mendedikasikan hidupnya hanya untuk kopi. Pencarian atas biji kopi untuk kedainya tak pernah berhenti, sejak 1974 Latief rajin berkeliling ke petani kopi, menyambangi pabrik kopi demi biji kopi yang pas untuk kedainya.

Proses pencarian ini tak pernah berhenti, biji kopi adalah komoditi yang kualitasnya bisa saja tiba-tiba berubah karena musim, pasokan yang tak selalu ada, harga yang fluktuatif membuat Latief terus mencari biji kopi terbaik.

“Di tahun 1990-an saya pernah punya supplier biji kopi bagus, baru jalan beberapa tahun langganan tiba-tiba pabriknya tutup. Saya kelimpungan dan cari lagi, sampai akhirnya baru sekitar lima tahun lalu nemu lagi supplier kopi dengan kualitas yang sama, Ya ini kopi yang sedang adek minum.”

Latief kemudian melanjutkan, mencari kopi memang susah-susah gampang. Seperti ceritanya yang terus mencari kopi tiada henti, hidup Latief memang untuk kopi. Sekarang ketika sudah menemukan kopi yang pas, Latief bisa sedikit lega, supply kopinya sudah terjamin, kualitasnya pun bagus. Latief bisa memberikan racikan kopi yang terbaik untuk para pengunjung kedainya.

IMG_20150809_122941

Hal paling menyenangkan saat menyeruput kopi di kedai ini adalah soal makanan. Jika di kedai kopi modern makanan yang disajikan adalah makanan pendamping atau makanan kecil, di Kedai Kopi Es Tak Kie sajiannya adalah makanan berat, makanan peranakan.

Tak Kie awalnya memang bukan kedai kopi, generasi pertama yang mendirikan Tak Kie justru menjajakan kwetiauw, mie ayam dan makanan peranakan lainnya. Kopi awalnya hanyalah minuman pendamping, namun rupanya seiring waktu justru kopinya lebih laku daripada makanannya. Latief menuturkan di titik itulah, generasi berikutnya membuat Tak Kie sebagai kedai kopi dan makanan hanyalah pendamping kedai kopinya.

Saya memesan nasi hainan yang dagingnya lembut dengan nasi tim yang aromanya membuat lambung segera membukakan pintunya lebar-lebar. Sesungguhnya Tak Kie hanya menyediakan mie ayam saja, nasi campur dan nasi tim, menu yang saya pesan dijual oleh pedagang yang berada di depan kedainya.

“Saya kasih mereka tempat, biar orang-orang juga bisa pesan.”

Maka di Tak Kie pengunjung bisa memesan makanan dari luar dan disantap di dalam kedai. Ada Pioh yang segar, Pioh adalah sup dari daging bulus, ada juga sajian non halal seperti daging babi dengan nasi tim, atau di sebelah Tak Kie ada soto betawi yang tak kalah lezat.

Kedai Kopi Es Tak Kie rupanya tak berdiri sendiri, kedai ini turut menghidupi pedagang lain. Mungkin inilah yang membuat kedai ini tetap bertahan, barangkali karena diberkati Tuhan karena Latief dan kedainya turut berbagi rejeki dengan orang lain.

Ada kisah dibalik berdirinya kedai ini yang membuat Latief bergetar menceritakannya. Sampai tahun 90-an, Latief hanya bisa menyewa tempat yang menjadi kedainya sekarang padahal sudah berpuluh-puluh tahun menempati, konon sejak era kemerdekaan. Pemilik tempat ini koppig dan keras, setiap tahun Latief khawatir jika sewaktu-waktu sewa tak diperpanjang.

Namun akhirnya pemilik bangunan luluh hatinya dan bersedia menjual pada Latief. Perjuangan berpuluh tahun akhirnya berakhir, kedai kopi ini bisa menjadi milik Latief dan ia bisa menjalankan kedai ini dengan tenang.

IMG_20150809_125153

Sudah empat puluh tahun Latief berada di balik singgasananya, mengatur kedainya, menyapa pengunjung yang datang, mencari kopi, menyajikan racikan kopi yang telah menjadi legenda di Jakarta. Barangkali tak ada orang yang kecintaannya pada kopi melebihi Latief, kecintaan yang membuatnya berpuluh tahun menghidupi kedai kopi kecil di sudut Gang Gloria.

Kedai Kopi Es Tak Kie adalah warisan bagi Jakarta, warisan bagi penggemar kopi di Indonesia. Sajian kopi yang serbuk kopinya akan memenuhi lidah dan pahitnya menjalar perlahan adalah sajian kopi yang musti dicicipi. Saya bahkan menjadikan tempat ini sebagai kedai kopi yang harus selalu saya kunjungi.

Jam setengah dua percakapan harus usai, Latief sudah meminta pegawainya untuk menutup kedai, meja-meja dirapikan, kursi ditata, lantai dibersihkan. Kedai ini masih menjalankan prinsip tradisional, jam buka yang berhenti setengah dua, memberikan waktu beristirahat, tidak memanjangkan waktu demi memperbanyak keuntungan, kedai ini dengan buka sampai setengah dua saja sudah mampu menghidupi Latief dan keluarganya, mampu memberikan kopi terbaik di Jakarta dan memberikan catatan sejarah pada dunia perkopian di Jakarta.

Sebelum berpisah, Latief sempat berbisik sebentar.

“Anak saya sudah tertarik ngurusin kopi, cuma sekarang belum bisa karena masih sibuk kerja, semoga nanti dia mau nerusin kedai kopi.”

Saya mengaminkan.

Tabik.

PS : Catatan ini merupakan bagian dari jalan-jalan keliling Glodok bersama tim Centhini Alam. Video lengkap jalan-jalan ini akan rilis secepatnya, simak Centhini Alam di Youtube dan jangan lupa subcribe channelnya.

Channel Youtube : Comeprod TV

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

30 KOMENTAR

  1. Aku seneng tulisan yang ini. Makin ke sini, tulisanmu makin rapi Chan, maksudnya, gak bikin gatel buat ngedit, dan ehm, lebih humanis πŸ™‚

    Oh iya, weekend kemarin baru baca tulisanmu yang Menziarahi Inferno yang di NatGeo. Emang sih ya, kalau nulisnya diseriusi dan gak buru2, hasilnya memang lebih mengena. Aku jadi lebih semangat buat instropeksi diri dan belajar menulis lagi. πŸ˜‰

  2. Walaupun bukan penikmat kopi, aku senang baca tulisan ini. Aku ikuti pelan-pelan dari awal sambil deg-degan “bakal ada yg nerusin pak Latief gak yaaa?”

    Alhamdulillah terjawab di akhir cerita.

    Nice post Chan …

  3. Menarik kisahnya om Latief Yunus. Jadi tambah penasaran dengan rasa dari kopi yang lagi ngehits dan sudah diminum orang-orang penting ini πŸ™‚

  4. hebat, meski sudah lebih dari setengah abad berdiri, namun tetap konsisten dengan kesederhanaan yang menjadi ciri khas, tulisan yang bagus masbro, sederhana namun mengena, keep up good work,

  5. sekarang morning habit aku tak afdol rasanya jika tak baca minimal satu postingan mas (dengan secangkir kopi tentunya). tulisannya bagus sekali, kaya makna dan kata. salam dari banjarmasin. πŸ™‚

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here