everest-trailer-movie_h
Rob Hall – Jason Clarke (jaket merah) bsource : outsideonline.com

“Selalu ada kompetisi di antara orang-orang dan gunung, gununglah yang selalu menjadi pemenang” Anatoli Boukreev

Sebelas tahun lalu saya membaca Into Thin Air karya Jon Krakauer dan pada saat itu pula saya membatin, suatu saat buku ini pasti akan menjadi film Hollywood. Barulah di tahun 2015, film yang berdasar rilis, Everest. Memang film ini tidak sepenuhnya mengadaptasi buku Into Thin Air, justru menambahkan dengan sumber-sumber lain, termasuk buku bantahan dari Anatoli Boukreev, The Climb. Poin bagus film ini adalah film ini mencoba objektif dengan kejadian yang terjadi di Everest tahun 1996 dan tidak menyandarkan pada satu sumber saja.

Tahun 1996 memang menjadi tahun yang kelam dalam sejarah pendakian Everest. Di musim pendakian, sekian puluh rombongan ingin menggapai puncak, mulai dari kelompok yang dipimpin Rob Hall, Adventures Consultant. Scott Fischer yang memimpin grup Mountain Madness. Hingga kontingen negara seperti Taiwan dan Afrika Selatan, semuanya berlomba untuk menggapai puncak tertinggi di dunia.

Dari sinilah inti film dimulai, banyaknya tim yang ingin menggapai puncak, tergambar dari riuhnya Everest Basecamp. Munculnya konflik satu sama lain yang membuat infrastruktur banyak yang terlupa untuk disiapkan, badai yang tiba-tiba datang dan banyaknya korban saat pendakian, terbanyak dalam setahun di dekade tersebut. Tragedi Everest 1996 inilah yang membuka mata dunia tentang komersialisasi gunung.

Ya, dari apa yang Toli, panggilan Anatoli di film tersebut memang benar adanya. Manusia tak bisa menang dari gunung, memang gunung bisa ditaklukkan sampai puncak, namun demikian dalam segala hal, manusia harus berkorban banyak hal untuk mencapai puncak.

Salah satu scene ketika Rob Hall memimpin pendakian di Film Everest. source : mmc-news.com
Salah satu scene ketika Rob Hall memimpin pendakian di Film Everest. source : mmc-news.com

Alur film ini dibangun dengan ego masing-masing, ego untuk menggapai puncak Everest dengan berbagai tujuannya. Ada yang ingin memotivasi anak-anak di kampungnya, ada yang ingin mencapai 7 puncak dunia untuk menggenapi 6 yang sudah dicapai sebelumnya, ada yang mencari kedamaian. Semua menuju puncak Everest dengan ego masing-masing.

Ada 2 ego besar yang bisa disimak di film ini. Ego Doug Hansen yang harus mencapai puncak Everest di tahun 1996 dan ego Scott Fischer yang memaksakan untuk turut menggapai puncak di tanggal 10 Mei 1996, tanggal yang menjadi latar utama film ini. Kedua ego ini coba diredam Rob Hall, yang menjadi protagonis di film ini. Namun Rob gagal meredam ego tersebut, turut larut dalam ego dan akhirnya tragedi terjadi.

Ego memang masalah utama dalam pendakian gunung. Bagaimana tidak, ego untuk mencapai puncak tertinggi di dunia tentunya mengundang banyak orang untuk datang. Gunung yang dulunya didaki oleh pendaki profesional, karena efek komersialisasi mulai bisa didaki oleh siapa saja.

Adegan menyentuh, mengaduk-aduk emosi sekaligus mengesalkan adalah ketika Toli meminta Krakauer membantu mengevakuasi para pendaki yang tersesat menuju Camp. Alih-alih membantu, Krakauer justru berdalih tidak bisa melihat dan melanjutkan tidurnya di tenda yang dingin. Akhirnya Toli bersusah payah sendiri mengevakuasi para pendaki tersebut.

Dengan jeli film ini menunjukkan bagaimana film ini memberikan gambaran bagaimana sifat manusia ketika di gunung. Objektifitas penonton juga dibenturkan, antara melihat Krakauer yang mementingkan keselamatan diri sendiri atau turut menyelematkan orang lain. Namun setelah buku Krakauer terbit, Into Thin Air dan ditanggapi dengan buku The Climb oleh Toli, kelak keputusan Krakauer untuk tidak membantu Toli ini dikritik banyak orang.

Antrian mendaki Everest. Arsip National Geographic
Antrian mendaki Everest. Arsip National Geographic

Kritik terhadap komersialisasi Everest memang muncul pasca tragedi tersebut. Banyak yang kemudian menyalahkan tour operator seperti yang Adventures Consultant atau Mountain Madness yang membuat Everest kemudian menjadi gunung yang sesak pendaki.

Majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2013 pernah menerbitkan liputan khusus tentang sesaknya Everest. Komersialisasi membuat orang-orang berbondong-bondong menggapai puncak Everest. Tercatat karena banyaknya rombongan para pendaki harus antri di Hillary Step selama dua jam sebelum menggapai puncak. Ada 2 sisi mata uang dalam komersialisasi gunung, perekonomian Nepal yang meningkat dari wisata gunung atau sebaliknya alam yang lara karena banyaknya pengunjung, termasuk karena limbah yang dihasilkan oleh pendaki.

Dalam satu adegan di mana Rob Hall mengambil sampah yang dibuang begitu saja oleh para pendaki, film Everest memberi kritik bagaimana sampah mulai meracuni alam Everest. Dan rasanya tak hanya Everest, banyak gunung yang kemudian terkena imbas komersialisasi, terjepit antara kepentingan ekonomi dan ketidaktegasan regulasi, terutama di Indonesia.

Jika diamati benar, film ini memberikan banyak sekali insight tentang naik gunung, teknik pendakian, teknik survival, teknik persiapan sampai manajemen pendakian. Seharusnya para penonton tidak hanya terkagum-kagum menyimak bagaimana gagahnya Everest dan berbungah hati ingin mendaki, simak juga bagaimana detail dan rapinya pembagian tugas yang dilakukan dalam pendakian. Ya, karena pendakian itu tak semata soal menggapai puncak.

Scott Fischer (Jake Gylenhall) - wearemoviegeeks.com
Scott Fischer (Jake Gylenhall) – wearemoviegeeks.com

It’s the attitude not the altitude – Scott Fischer

Gunung memang tak hanya dilihat atau diukur berapa tinggi puncaknya, sikap manusia-lah terhadap gunung juga harusnya menjadi catatan. Apakah gunung hanya akan berakhir menjadi objek penaklukkan? Atau bisa menjadi sahabat untuk menggapai jati diri?

Pada film ini catatan tentang persiapan dijelaskan detail, peralatan yang lengkap dengan gear-gear mahal yang membuat mata panas ingin membeli, detail back up plan hingga alternatif rute dan evakuasi dijelaskan dengan gamblang. Tapi itupun tidak menjamin karena alam adalah hal yang tidak bisa ditebak, guguran es yang bisa terjadi setiap menit dan ancaman badai yang bisa terjadi sewaktu-waktu.

Dengan demikian walaupun Rob Hall dianggap sebagai pemimpin Base Camp Everest dan Scott Fischer dianggap sebagai rubah gunung, hal itu tidak menihilkan resiko. Alam bisa diantisipasi, tapi kekuatan alam tidak bisa dihentikan. Dengan perlengkapan yang lengkap, skill pendakian yang mahir sampai kemampuan survival tinggat tinggi tak menjamin manusia selamat dari terjangan alam.

Kalau demikian bagaimana dengan para pendaki yang menganggap gunung yang didaki tak setinggi Everest, tidak mengenakan kelengkapan naik gunung yang benar dan bisa berbangga hati karena bisa berfoto tulisan kertas di puncak? Apakah dengan demikian mereka bisa dianggap pendaki gunung yang baik?

Sekali lagi, itu soal Ego, simak kembali, tonton dua kali bagaimana dengan persiapan yang sangat lengkap saja masih ada yang terlewat, seperti terlewatnya Sherpa Longsap membuat jalur tali di Hillary Step atau Sherpa Ang Dorje yang terlewat meletakkan cadangan Oksigen di Puncak Selatan. Jika yang lengkap saja masih terlewat, bagaimana dengan pendaki yang ala kadarnya? Berharap baik-baik saja?

Yang lebih terang adalah yang gugur di Tragedi Evetest 1996. Dari kiri ke kanan, Doug Hansen, Andy Harris, Rob Hall dan Yasuko Namba

Film ini jika dipahami secara utuh adalah kritik yang lugas tentang komersialisasi gunung. Di luar bagaimana pemandangan yang indah dan/atau alur yang menggelora, film ini memberi satu pesan penting. Mau bagaimanapun alam-lah yang akan menjadi pemenang dan seyogyanya manusia harus mengikuti alam, menghilangkan ego dan tunduk pada alam.

Bagi penggemar petualangan, jangan menyimak film ini seperti menyimak film 5 cm. Level film ini berlangit-langit di atas film 5 cm yang hanya mengumbar pemandangan Semeru dan membuat dedek-dedek gemes termehek-mehek lantas berbondong-bondong datang ke Semeru. Tontonlah film Everest dan belajarlah untuk menjadi pendaki gunung yang bijak.

Kamu membayarku, untuk membawamu turun dengan selamat ke bawah – Rob Hall pada Beck Weathers

Tabik.

NB : Saya menyarankan untuk membaca juga Into Thin Air karangan Jon Krakauer, The Climb karangan Anatoli Boukreev untuk mendapat gambaran tentang film ini.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

199 KOMENTAR

      • Dalam catatan NG, Boukreev (Kaka menyebutnya Toli) adalah salah satu org yg disalahkan dalam pendakian 1996 itu, namun pandangan penulis, Jon Krakauer lah yang tidak mau membantu teman pendakinya, sehingga juga patut disalahkan. Boukreev sempat ke Indonesia dan mengajak bbrp pendaki dalam negeri untuk merasakan juga pendakian di Everest atas dukungan biaya Prabowo. Boukreev memberi pelatihan dan percaya akan ada orang Indonesia yg sanggup berada di puncak bumi kala itu.
        Meski Boukreev terus mengajak lebih banyak org utk naik ke puncak, saya sendiri tidak tahu kesalahan terpenting apa yang diperbuatnya sampai sampai ia dipersalahkan, apa sebab belum membaca Into Thin Air atau The Climb?

        • Hanya membantu sedikit. Anatoli menjadi kambing hitam Jon Krakauer karena ia menolak menggunakan tabung oksigen ketika menjadi guide untuk Scott Fischer. Menurut Jon, tanpa tabung oksigen menunjukkan ego Toli yang ingin menaklukan Everest dengan ambisi pribadi daripada memikirkan kliennya. Sebenarnya ini dibantah keras oleh Toli yang berhasil menyelamatkan tiga orang klien MM (Mountain Madness) dan berusaha membawa turun Scott Fischer. Setelah peristiwa bulan Mei 1996 itu Anatoli diberi penghargaan dari American Alpine Club atas upayanya menyelamatkan pendaki di Everest.

  1. saya sih bukan pendaki. Tapi suami saya pernah ke Everest juga walopun cuma sampe basecamp. Kalau mendengar cerita suami, sepenuhnya saya setuju lah sama postingan ini. Termasuk yang tentang film 5cm itu. Pernah bahas juga sama suami hehehe

  2. Rabu malam sehabis nonton ini pengen lagsung nulis juga Mas. Tapi nggak kesampaian. hahaha. Iya betul sekali aku setuju tentang survival dan perencanaan yang matang. Aku juga menyayangkan komersialisasi gunung dan segala propaganda yang membuat naik gunung seolah mudah seperti piknik saja. Lupa resiko yang ada jika kurang persiapan fisik maupun logistik. Belum lagi yang suka buang sampah sembarangan dan nyuci2 pakai sabun cuci piring dan mandi pakai sabun shampoo legkap di puncak papandayan yang jumlahnya nggak sedikit, mentang2 ada sumber mata air. Huhu.. Sumber air pun tercemar deterjen mereka. Jadi panjang ngomelku :p

  3. Baru kemarin malam lihat film ini, benar-benar dapat pelajaran Mas. Saya belum pernah membaca Into Thin Air atau The Climb, namun saya pernah dengar sosok Anatoli Bourkeev, yang kalau tak salah turut melatih tim Everest dari Indonesia dulu ya.

    Selalu aplaus untuk film-film Hollywood. Risetnya cukup total, pengemasannya apik, tak ala kadarnya. Pesannya juga nyampe. Saya merindukan industri film Indonesia bisa mengangkat film semacam ini, mungkin bisa diangkat kisah meninggalnya Soe Hok Gie dan Idhan Lubis di Semeru (atau para survivor Semeru), Norman Edwin yang tewas di Aconcagua, pendakian2 perintis Wanadri. Ya memang butuh modal besar, tapi saya yakin bisa ….

    • Betul Mas! 🙂
      Sineas kita orientasinya memang masih keindahan visual, belum ke pesan dalam film. Mungkin nanti jika orientasinya sudah berubah barulah bisa menghasilkan film yang bagus.

  4. Aku setuju dengan ini, mas. Ketika aku nonton Everest, selama nonton aku merasakan hal yang beda. Tidak ada rasa ingin mendaki, tapi malah lebih mengharapkan Everest tetaplah berkharisma dan tenang tanpa ada manusia di atasnya. Tidak ada umbaran keindahan alam yang diharapkan menggoda mata, lalu seakan-akan promosi total bahwa naik gunung itu adalah perkara mudah. Kalian mau berangkat atau tidak, itu saja.

    Di sini, kita diajari untuk menghargai sebuah puncak dengan cara yang berbeda. Tidak egois, dan tidak menyalai aturan.

  5. Agak terganggu dengan typo yang cukup penting menurut saya, di bagian
    “It’s the attitude not the attitude – Scott Fischer”, mungkin bisa diperbaiki 🙂

    Overall, saya setuju banget dengan artikel ini. Makasih mas, semoga insight film ini dapat ditangkap orang2 yang nonton ya 😀

      • Ada hal yg bagi saya pribadi penting. Siapapun perlu memahami apa yg menjadi motivasi dan tujuan dr mendaki (apapun dan dengan siapapun). Karena setulus dan sekuat apapun kita saat berada di sana, selalu ada yg menunggu kita saat kembali ke ‘rumah’. Salut atas niat seorang Doug Hansen dg misi berfoto di puncak dg bendera untuk anak-anak ‘elementary school’ dekat rumahnya, Rob Hall yg ‘rela berkorban’ utk sahabatnya Doug meski dia tau resiko yg dihadapi, Yasuko yg jadi wanita pertama dg ‘7 puncak tertinggi’, harold yg sangat profesional dg menjemput Roberto Hall meski dia tau akan mengalami AMS. Trmksh atas review film nya Mas 🙂

  6. Yuup inilah film yg sy tunggu sejak baca novelnya 2005 lalu, dan krn film ini mau gak mau buka Into Thin Air lagi buat sekedar mengingat-ingat plot alur kejadiannya. Sayang smp skr blm sempet baca The Climb, pdhal bisa melengkapi ttg apa yg sbnrnya terjadi. Btw, sy salut dng Kormakur yg justru gak terlalu mengekspose konflik antara Hall dan Fischer (mungkin utk menghormati keduanya) yg sy yakin keduanya sangat berambisius utk membawa klien smp ke puncak. Alih2 malah disuguhkan persahabatan keduanya lwt bbrp adegan. Ini kyknya yg kurang diangkat di novel Into Thin Air versi Krakauer, makanya ketika melihat film ini, mungkin ini yg dilewati Krakauer, persahabatan yg sangat kental nuansanya dibanding perseteruan keduanya. Makanya bener bgt sarannya bro, gak lengkap menonton Everest tanpa membaca novelnya.. Hehe

  7. Saya salut adegan yang diperankan Rob Hall ketika memungut plastik-plastik (sampah) sekitar basecamp, mungkin di film semacamnya belum ada yang menampilkan adegan seperti itu, walaupun sepele tapi mendidik.

  8. saya dah sempat baca Into Thin Air versi Krakauer bertahun tahun yang lalu tapi belum sempat untuk baca The Climb (karna belum pernah jumpa kali ya bukunya)…. hehhehe .. pinjam dong bukunya…. xixixix
    salut buas mas yang bisa nuangin isi pikiran dalam tulisan yang sangat bagus dan relevan ini…

    dan satu lagi mas izin copas yang pasti dengan sumbernya…. hehhee

  9. yah semuanya tentang ego mas, saat Doug yg udh gagal beberapa kali muncak ttap kekeuh utk ttap muncak pdahal sudah lwat jdwal, film ini jg mengedukasi mas krn memaparkan berbagai pnyakit yg sering trjadi saat naik gunung

  10. Anda salah boss, sudah pernah ada film yang diangkat dari buku si Krauker ini, judulnya sama dengan judul bukunya hanya tidak masuk di Indonesia. Coba cari di youtube anda pasti temukan. Riset dulu boss sebelum nulis.

    • Baca ulang paragraf saya baik-baik ya Bos. 🙂
      Saya menulis pasti akan menjadi Film Hollywood.
      Buku Krakauer pernah ada film Into Thin Air. Tapi Bukan Film Hollywood, hanya sekelas TV Movie.
      Baca ulang lagi sebelum komen ya Bos.

  11. Terima kasih ulasannya Mas..
    Awalnya sy tak ingin, tapi hari ini saya berecana menonton film ini.. Film 5cm sy tak lihat.. Sejak 2007 sy ingin sekali naik gunung namun hingga saat ini blm satu pun yg terealisasi.. Berharap ego sy tidak menjadi yg terutama.. Sy jg menyayangkan pendaki yg tdk menjaga keseimbangan alam dan hanya mencari keuntungan pribadi..
    Berharap kita sama-sama sadar bahwa kita harus tetap hidup bersama alam… Terima kasih Mas..Salam kenal dr pendaki dlm mimpi 🙂
    T

  12. Nice movie… Yang sempat juga mengocok ngocok emotional, hehehe….banyak hal yang bisa kita ambil dari film ini….management perjalanan, waktu dan lainnya, pesan nya cukup menyentuh…. Buat mas eefenar tku atas tulisannya… #info dong beli buku into thin air dan the climb di mana,,,?# hhehe

  13. baru nonton film ini semalam, ulasannya juga oke.. nambah2 wawasan tentang tragedi 1996. saya juga gemar hiking, bahkan melihat pendakian everest yg begitu sesak mengingatkan saya akan riuhnya jalur menuju puncak semeru beberapa bulan lalu ketika saya mengadakan pendakian, mirip antrian dufan.

    maaf mas, agak kurang sebanding jika kita compare film semi dokumenter ini dengan 5cm yang notabenya adaptasi novel fiksi remaja. harus tetap mengapresiasi karya anak bangsa. 5cm film yang lebih mendidik dibanding film-film genre horor toh? poin saya disini adalah jangan sampai sasaran kita salah,. film 5 cm itu ngga salah apa2, kok jadi sasaran ‘berantakannya’ semeru dan gunung2 lain?? banyak pihak kok yang lebih pantas disalahkan..

    Saya berani jamin, setelah film everest, pendakian Himalaya akan ‘menggeliat’ sama seperti efek 5cm, cuma mungkin klo saya biayanya emang harus nabung tahunan baru bisa kesana..hehe,

    agak sedih memang melihat kondisi Semeru dan Rinjani (kebetulan keduanya memang sedang “in”) sampah dan coret-coretan dimana-mana.. saya optimis semua hal akan membaik asal saling berfikir positif, perduli sekitar, dan berhenti skeptis akan kondisi yg belum tertata baik, bukan cuma gunung, laut, dan semua aspek di negara tercinta ini..

    Salam damai #noOffense
    V(^,^)

    • Thanks NK. 🙂

      1. Sudah dilarang naik hingga Puncak Semeru, setahu saya larangan tersebut belum dicabut oleh TNBTS.
      2. Fenomena 5 cm sudah jelas, membuat Semeru sesak. Soal Everest, sebelum film ini Everest sudah sesak, film ini justru mengkritisi kondisi yang terjadi di Everest, bukan mendorong orang untuk ke Everest. Ini bedanya dengan 5 cm.

      • Aku malah sebaliknya, semasa remaja dulu keinginan mendaki Everest dan mengunjungi Nepal begitu menggebu-gebu namun setelah nonton film ini, melihat penderitaan-penderitaan yang para pendaki everest alami mendadak males dan kurang semangat. Meski keinginan mencapai EBC tetap ada 😀 setidaknya aku nggak punya niat lagi mencapai puncak.

  14. Baru mau nonton Everest malem ini rencananya mas, semakin penasaran setelah baca reviewnya mas Efenerr

    Mau tanya, kan katanya durasinya +- 3 jam. Agak bosenin ga sih alur ceritanya?

  15. Yang bikin kagum, film ini luar biasa perhatian pada detail. Bahkan waktu aku komentarin celana motif lucu yg dipakai Rob saat foto bersama.(termasuk pose mereka) ternyata sama persis dg yg dipakai di tahun 1996. Termasuk pemilihan pemeran, paling tidak dari segi rupa dan karakter saja sudah mendekati tokoh aslinya. Ya disini budget main sih. Haha

    Kalo soal konten, jangan dibandingin mas, haha. Dari novelnya saja isinya sudah beda, yg satu bahas euforia dan lebih ke kisah2 unyu2 antar pemuda, yg satu benar2 seperti catper yang ditulis oleh seorang jurnalis.

    Overall, puas sama film Everest. Memang ga berharap pada alur cerita ato plot twist di akhir, secara ini film berdasar kisah nyata. Haha

    Nice review!

  16. Film ini buat saya membaca kedua novelnya. I’m not climbers, jd kalo mau bener2 ngerti ya harus baca dr sisi Jon dan Toli.. :))
    Tp benar skali sisi yg sbnrnya sbrapa sedih film tersebut nilai pentingnya ada jangan memaksakan ego, apalagi melawan alam..

  17. Saat nonton film ini, saya mengajak 2 tipikal teman, yg satu teman yg tidak hobi mendaki dan yg lainnya temen teman mendaki saya. terbukti yg tidak suka mendaki tertidur pulas di awal aawal film yg menurut dia membosankan hahahhaa,. pdhl di poin itu mejelaskan untuk managemen pendakian,..
    film ini pepmbelajaran bgt

  18. kemarin di Nacional Geo* disiarkan pd acara “Second from Disaster” (berdasar kisah nyata), anatoli tewas setelah menolong 3 temannya.., kasihan banget.., seharusnya jam 1 siang adalah batas maksimal untuk segera turun dari puncak, tetapi mereka melampaui batas itu.., dan resiko kematian sangat besar.

  19. Nih film bagus banget. Ga cukup sekali untuk memahami makna film ini. Begitupun mendaki gunung,, perlu persiapan yang matang sebelum perjalanan. So,,, Pahami managemen perjalanan..

  20. Baru tadi siang nonton film ini. Awalnya ngga ngeh kalo ternyata Everest diangkat dari novel Into Thin Air & The Climb. Pas udah jalan beberapa menit, kok kaya familier. Oalaaahhh ..

    Bagus banget, memang. Sepakat sama kamu, Chan, film ini punya banyak pesan tersirat tentang pendakian, baik teknis maupun hal-hal ‘printilan’ lainnya. Suka. Worth it .. 😀

    • Yang Into Thin Air ada di Indonesia, mungkin sebentar lagi dicetak ulang karena film ini populer sekali.
      Sementara The Climb tidak dicetak di Indonesia, mungkin bisa didapatkan dalam versi online.

  21. sebelum nonton everest, coba liat film into thin air yg d buat berdasarkan buku yg sama, lebih detail critanya d bandingkan film everest

  22. Everest memang tidak didesign supaya ada manusia yang bisa tinggal di puncaknya. Kalo buat saya, pesan moral yang sangat kuat dari film ini, gear-gear dewa yang harganya bikin pening itu, ga bisa buat gantiin nyawa juga ternyata. Anyway, bagus banget reviewnya, mas. Apik tenann 😀

  23. Wah keren mas artikelx..
    Setuju sx, kadangkala sebaiknya alam itu tdk usah diganggu..karena kalau sdh diganggu tdk akan tenang selamanya..film ini sangat menginspirasi.. soal mendaki atau menikmati keindahan alam, ibarat manusia harus bisa mematikan ego nya baru bisa diterima oleh alam..

  24. Buku tulisan Beck Weather berjudul Left for Dead patut disimak. Agak kering tapi bisa memberikan sudut pandang yg berbeda dari sisi Jon Krakauer vs Anatoli Boukreev.
    Di film sebenarnya lebih ditekankan pada kronologis dan rentetan2 kesalahan yg dibuat oleh manajemen pendakian. Tidak hanya soal logistik dan cuaca tapi juga manajemen manusia yakni para pendaki itu sendiri. Hal yang kurang dibahas adalah soal peran sherpa disini. Sedikit disinggung soal ketidak hormatan pendaki di tempat suci ini (seperti mabuk dan pesta) tapi juga masalah etis. Soal ego memang jadinya mewarnai film ini karena bau komersialisasi tadi.
    Inti dari kisah ini sederhana saja. Summit is only half way.

  25. baru aj nonton nih film. 3D imax. bagus koq. paling sedih pas si Rob Hill telpon ama bini nya lewat telp satelit… sayang anatoli kurang di ekspose di film ini…

  26. Wah setuju banget nih saya om, kebetulan saya jga suka naik gunung dan agak miris dgn kondisi gunung di indonesia skrg apalagi saat musim pendakian.
    Agustus kemarin saya baru dari rinjani dan wow luar biasa sampah nya banyak banget di tiap pos nya. Sebagian besar sih ulah dari porter2 lokal yg ada disana. Sampah nya bukan dibawa turun malah di bakar dan kadang cuma di tinggal. Saya maklum sih mereka mencari uang di gunung cuma ya tolong sampah nya dibawa turun kan klo kotor ntr orang jdi males ke gunung. Semoga pemerintah bisa ngasih kebijakan juga deh biar lebih tegas soal komersialisasi gunung. Keep posting gan

  27. Review tentang Everestnya keren banget. Saya baru nonton semalam dan memang belajar banyak dari film nya. Saya terkesan dengan semangat orang orang ini untuk sampai puncak Everest, namun juga nelangsa melihat semakin terganggunya alam oleh oleh komersialisasi gunung dan mereka yang mengaku pecinta alam.

  28. Artikelnya bagus mas,
    Mas saya ijin nitip jasa ya mas.

    Kami menawarkan jasa di bidang tour dan travel yang berfokus pada pelayanan wisata laut khusunya snorkling dan diving di berbagai pulau wisata.

    Jasa tour dan travel ini berlaku bagi penduduk yang tinggal di daerah Kalimantan khusunya Samarinda.

    Untuk lebih lanjut anda dapat mengunjungi Website kami di http://twktour.com/

  29. Thanks buat sarannya. Sebagai pendaki alangkah baiknya juga memungut sampah kering dari pendaki lainnya. Terkadang ego dan emosi itu tercipta karena rasa lelah. Tetap sabar bila mendaki gunung

  30. Tulisan yang tidak menghakimi siapa yang benar dan salah. Salut. Jon menulis karena ia di sana, Toli juga menulis karena ia di sana. Tapi banyak penulis yang menghakimi meski ia tidak di sana dengan modal riset kecil-kecilan dari mbah google.

    Saya menghormati Jon, Toli, Rob, Scott, Beck, Andy, the sherpas, and other climbers that participated in the moment of time.

    FB: aji fesbuk
    @my_twitttter / :: aji ::
    Interest: Mendaki dan menulis

  31. Berkesan bgt mas film’y, dan makin tambah berkesan setelah baca tulisan ini. Banyak pelajaran dr film ini yg bisa d ambil. Sya sbg pendaki amatir banyak hal yg sya abaikan sewaktu memimpin tim sya sewaktu mendaki. Banyak hal juga yg baru sya sadari dari pesan film ini jika dibandingkan dengan pengalaman sya.

    Makin bersemangat untuk menjadi pendaki yg baik dan bijak seperti yang mas tulis dlm artikel ini. Terima kasih.

  32. krn informasi yg komersial banyak gunung yg menjadi obyek wisata, padahal mendaki gunung perlu ketrampilan dan pengetahuan, krn kondisi cuaca di gunung sangat berbeda dengan kondisi daratan dimana di gunung bisa berubah ubah dalam waktu singkat, mendaki gunung bukan karena anda mampu krn punya uang akan tetapi anda mampu krn mempunyai fisik mental dan pengetahuan akan mendaki dan yg paling utama bisa mengendalikan diri sendiri dari sifat egois dan sombong krn gunung tidak bisa kita taklukan akan tetapi diri kita yang kita taklukan.

  33. bang, buku ‘into thin air’ sama ‘the climb’ di Indonesia udah ada kah? jadi pengen beli dan baca juga,, entah kenapa masih punya mimpi pengen mengunjungi gunung bersalju. alhamdulillah kalo dikasih rejeki sampi everest, hohohohoho

  34. ah, pgn nonton filmnya… baca review ini, aku inget cerita ex ku, yg jg pendaki gunung dan pernah naklukin everest 2012 dgn tim wanadri. ngeri dgrnya… dia yg terlatih fisik dan mental aja bilang Everest ‘cantik tapi bahaya’ 😀 kyknya kalo aku yg kesana, baru selangkah dua, lgs give up ;p

  35. Keren mas…krn artikel mas saya jd tw klo ada flm everest n jd mnggebu gebu pngn nntn..alhmdulillah udh nntn smlm… Bgus bgt flm ini..sngtt2 edukatif..ksimpulny “jangan egois..apapun persiapn hrs matang” bnar2 terharu nntny…rob yg sukarela brkorban demi mnolong tmn smpai dy brkorban nyawa… Dari awal kuliah krn ikut tim bntuan medis d kmpus yg ada diklat alam ny saya jd pngn bgt naik gnung tp apa daya izin ortu g dpt n smpai skrg blm jadi..plus nntn 5cm mkin mnggebu..tp msh blm trlksana naik gunung…tp stlh nntn everest..saya sadar..naik gunung g sekedar ego..”gw prnh k gunung ini..medan ny susah..gw sukses naik..nih fotony..gw keren lho” klo mmng mau naik gunung..rendah kan hati dulu…siapkn sgalany dg matang..jngn egois.. Film everest ini bnyk mngingtkn para pndaki mlai dr jngn buang smpah yg mrupkn slh 1 aturan naik gnung g boleh tngglkn apapun kcuali jjak..plus dg prsiapn n prltn yg layak…
    G brmksd mncela atw mmbndingkn flm sndri 5cm…saya suka bgt 5cm smpai ulng 3x nntn d laptop…tp ada hal yg nnti bkin para pndaki yg mngkin kurang pngthuan jd sesat..cntoh simple..yg cewe naik gunung pke jeans…fatal bgt naik gunung pke jeans…trus apa boleh y berenang d ranukumbolo? Atw brenang d danau2 d atas gunung?
    Smg klo ada cineas yg bc ini bs jd msukan bwt riset lbh dtail n smg flm indnsia mkin kereeen… Next: smg saya bs bc 2 buku trsbt…smg bs nemu bukunya 🙂

  36. assalamuallaikum mas efenerr, salam kenal mas,mau nanya kalau membuat artikel yang gaya basahanya enak untuk dibaca itu bagaimana sih mas, berawal dari sinilah saya mencoba untuk membuat blog juga mas,terimakasih…

  37. Ego yang tak terbendung ketika mendaki mgkn berbanding lurus dgn adrenalin yang tercipta yak? gmn pun susah mmg untuk meredamnya, terlebih kalo kita dibayangi kata2 “Hampir, ini hampiiiir” padahal hmmmmm

    adegan memunguti sampah oleh Robb, sayang cuman secuil tapi kilasan tampak nendang banget unt mengingatkan para pecinta gunung hehe, yak bagaimanapun Gunung lah pemenangnya krn dialah sang tuan rumah 🙂

    artikelnya bagus, tfs ^^

  38. Keren mas tulisannya. Memang bagus banget filmnya banyak pelajaran yang bisa dipetik. btw tau ga mas beli buku Into Thin Air sama The Climb dimana, saya cari-cari sudah susah euy

  39. shit happened…once it happened, it happened fast.

    disaster itu ga terjadi tiba2, namun merupakan akumulasi dr yg kecil. ya…spt yg kamu tulis mz…dr tali yg ga terpasang, antrian menyebrag di ice fall dll.

    harus sebisa mungkin meminimalkan 2 hal, unsafe condition dan unsafe action.

    ttg ego…saya belajar dengan cara yg tidak mengenakkan, seperti dough…sy pernah membahayakan diri sendiri dan buddy demi sebuah foto.

    kita pasti tau batasan kita, jangan pernah membohongi diri sendiri.

    “baby, dont worry too much about me” -Rob Hall-

  40. Baru tadi malam liat pilemnya….Luar biasa settingannya Bang, terus sempat liat budgetnya…Ternyata US$55 million,mbandingin dengan Vertical Limit yang mencapai US$75 million. Kira2 di mana ya letak perbedaannya secara Everest masih ada pengambilan gambar di luar Everestnya. Over all kedua pilem menurut aku sih ‘wajib tonton’ a.k.a ‘bintang lima’. Into Thin Air nya ada ga Bang di Gramedia?Benar ga ya si Beck mbayar sampe US$65 thousend sementara Doug yang hanya Post Officer teteup bisa berangkat?Kira2 standard budget ke sono berapaan ya?Mohon pentjerahan para Suhu di mari,warmed regard.

  41. artikel yg bagus…
    terutama tentang komersialisme pendakian, yg menjadikan mendaki seolah olah merupakan sesuatu yg bisa dgn mudah dilakukan..
    terimakasih ulasannya..

  42. Kalo Rob tegas melarang Doug naik ke puncak, kira2 tragedi ini masih terjadi ga ya.. hah.. saya suka kalo film berakhir happy .. tapi apa mau dikata… true story..

  43. Baru aja liat filmnya. Terus cari” review filmnya karena penasaran sama
    1. adegan waktu andi harris cek suplai oksigen yg katanya gk ad yg keisi penuh. Apa bener gk keisi penuh ato karna pengaruh dingin sm capeknya dia jd ngerasa gk ad tabung yg keisi penuh.
    2. Adegan waktu toli mnta bantuan bantuan sm krauer buat nolong tmnnya terus dia blng matanya kena silau es or etc?? Dan ngelanjutin istirahatnya Apa bener smpe kyk gitu kalo kena salju?
    Well ulasannya mantep bang.
    Film everest sangat bagus. setelah ane tonton. sm yg saya alamin wktu tracking dihutan borneo. Semuanya sama.
    Saat titik batas kemampuannya. Manusia bakal memperlihatkan sifat aslinya.
    Salut sama rob & andy harris di film tersebut.

  44. Komentar:baru nonton..,iseng2 gak bisa tdur e malah ad film bagus..,hehe..,jadi gak bisa tdur..,saya senang mas ulasan yg di berikan pada blog ini,saya jga baru tau ternyata ada bukunya to?jadi pgn baca..

  45. Baru saja nonton Everest ihiks :p
    Maklum, di Ende tir ada bioskop *ini tidak penting*.
    Intinya, setelah menontonnya saya langsung Googling dan ketemu ulasan filmnya di sini *yipie!* osom sekali ini membacanya. Yang sebenarnya tidak komen, akhirnya jadi merasa malu kalau tidak komen *halah* 😀
    Makasih ya, ulasannya *yipie!* *yipie … lagi*

  46. Harusnya para sutradara indonesia yg berencana kembali bikin film pendakian sebaiknya di ceritakan tentang persiapan pendakian, peralatan pendakian, pendakian yang safety jangan hanya pemandangan, sekaligus pelajaran buat pendaki amatir, seperti contoh film 5 cm, menyebabkan banyak pendaki amatir yang mendaki semeru tanpa tau persiapannya

  47. Yg menjadi klimaks adalah keputusan toli yg memutuskan tdk melakukan penyelamatan thd beck weathers dan yasuko, krn toli menganggap bhw beck dan yasuko sdh tdk punya harapan.. toli lebih memilih mengevakuasi pendaki2 yg msh tertinggal jauh dan upayanya berhasil.. namun diluar dugaan beck mampu bertahan dan menggapai camp penyelamatan, sedangkan yasuko tamat.
    disitulah toli dipersalahkan, krn pertama tdk berupaya mengevakuasi beck dan yasuko (padahal jg tdk memungkinkan utk mengangkat beck dan yasuko yg sdh dlm keadaan kritis). Toli lebih memilih memandu para pendaki yg masih bisa berdiri dan pny harapan. Kedua, toli dipersalahkan krn sepertinya lebih memilih menyelamatkan tim mountain madness nya fischer drpd tim consultant adventurenya hall.. padahal pd malam gelap spt itu siapa tak kenal siapa lagi. Kemudian komentar miring juga mengatakan bhw apa yg dilakukan toli tdk masuk akal
    Sementara jon krakauer sendiri memilih tidur ditenda daripada ikut melakukan evakuasi.

  48. Habis nonton everest lagi di laptop, trus baca-baca ulasan dari imdb dan kemudian terdampar di sini. Lagi searching bukunya tp versi indonesianya. Btw, “teman dekat” saya pernah muncak di everest ?.

  49. Iseng-iseng terdampar di blog kece yang review film Everest. Sebagian besar saya setuju dengan isi tulisan ini, terutama pada bagian bahwa banyak pelajaran dan pesan mendaki yang dapat diambil dari film ini, dibandingkan dengan 5cm.
    Anw, jadi pengen nonton ulang dan penasaran dengan buku mereka supaya lebih paham detail dari film ini, hehe..

  50. Berharap ada film sejenis ini diproduksi anak indonesia. Ceritanya bisa tentang musibah norman edwin di pendakian aconcagua atau keberhasilan tim kopassus di everest, yang penting ada sisi edukasi tentang pendakiannya itu sendiri.

  51. Bersentuhan dengan alam.. jawabannya adalah..
    Alam adalah representasi Tuhan.. hanya ada 2 pesan yang diberikan..ikuti atau hindari.. jelas sekali bahwa tidak bisa kamu taklukan.. karena alam punya cara sendiri untuk menuju kesetimbangan.. Sadari dan bijaklah pada diri sendiri..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here