Empat puluh tahun yang lalu, seorang Kanada datang ke Bali, jatuh cinta dengan seni kriya di Bali dan akhirnya memutuskan menetap. Empat puluh tahun yang lalu, John Hardy memulai seni kriya perak yang akhirnya mendunia. Demi menelusuri seni kriya perak yang mendunia ini, saya menuju Ubud nan Hijau, di tengah Banjar Baturning demi mengunjungi John Hardy Jewelry Ubud.
Di antara persawahan dan kampung yang teduh, warisan seni kriya John Hardy terus terjaga walau sudah empat puluh tahun lamanya.
Bangunan John Hardy menarik sejak memasuki gerbang utamanya. Bangunan yang menyatu dengan alam, membaur bersama kearifan lokal dan menunjukkan kesahajaan. Visi menyatu dengan alam terlihat benar di lingkungan workshopnya.
Saya tiba di area Kapal Bambu, area utama yang menyambut pengunjung di John Hardy. Kapal Bambu adalah bangunan besar dari bambu yang menakjubkan, dirancang oleh Chang Yew Kuan, seorang arsitek yang memang spesialis merancang bangunan dari bambu.
Di sekeliling Kapal Bambu terdapat petak-petak sawah yang ditanami dengan padi lokal Bali. Padi ini benar-benar ditanam untuk dikonsumsi para staf dan pegawai di John Hardy ini. Konsep keberlangsungan yang sesuai dengan alam memang tak hanya muncul dari bangunan Kapal Bambu, namun juga sawah yang ada di sekeliling Kapal Bambu tersebut.
Masterpiece John Hardy terpampang di galeri Kapal Bambu, perhiasan-perhiasan yang ditatah dengan hati-hati, detail-detail kecil yang dibuat dengan teliti adalah keunggulan hasil kriya dari John Hardy. Dan di showroom yang cantik inilah, karya-karya perhiasan John Hardy nan lentik dan menggoda mata saling adu pamer memukau pengunjung yang datang.
Bagaimana proses menghasilkan perhiasan nan cantik ini bermula? Jawabannya ada di sisi lain kompleks John Hardy, di bagian yang letaknya sedikit tersembunyi dan dijaga dengan ketat. Saya seolah dibawa menuju tempat rahasia.
Kompleks John Hardy memang luas dan terbagi menjadi dua bagian. Workshop ini adalah bagian kedua dari John Hardy, tempatnya lebih lengang, lebih teduh dengan banyak pohon tinggi nan rimbun.
Ketika membangun kompleks ini, John Hardy memang menginginkan kontur tanah tidak diubah, tetap curam dengan lereng dan sungai kecil yang ada di dalam kompleks. Maka tak heran bangunan di dalam kompleks dibuat mengikuti kontur tanah. Tidak ada pohon-pohon yang ditebang saat proses pembangunan, bangunan dibuat di lahan yang kosong dan menyesuaikan dengan letak pohon-pohon besar tersebut.
Ramah lingkungan, demikian kesan saya tentang area ini. Di bagian dapur tempat para staff dapur memasak untuk para pegawai, visi keberlanjutan dan penghargaan terhadap unsur-unsur lokal perusahaan ini terjawab. Selain menggunakan bahan-bahan yang ditanam di area sendiri, perusahaan hanya akan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari Banjar Baturning. Menghargai produk lokal, memberdayakan petani lokal.
Begitupun dengan para pegawai dan staff di perusahaan. Mayoritas adalah warga lokal yang sudah dilatih bertahun-tahun lamanya. Untuk menjalin rasa kekeluargaan, para pegawai di saat istirahat akan mengikuti sesi makan siang bersama. Ratusan pegawai, duduk di bangku panjang dan selasar yang dibangun di antara pohon besar, menikmati semilir angin, kicau burung dan gemericik air yang menentramkan.
Di awal dekade 70-an, kemunculan John Hardy pada awalnya menghentak, dengan memadukan seni kriya yang rumit dari Nusantara, John Hardy memberi nuansa baru pada ranah perhiasan di dunia. Banyak pecinta mancanegara menyukai detail-detail pada perhiasan John Hardy.
Salah satu yang menjadi warisan dan merupakan desain yang tak lekang zaman adalah desain sisik naga. Di mana ruas perak yang amat kecil, dijalin dengan sangat telaten oleh tangan si perajin hinga menjadi gelang atau kalung sesuai keinginan.
Tak hanya mengandalkan desain klasiknya, perancang-perancang perhiasan terus menghasilkan rancangan baru, namun tetap membawa nafas khas John Hardy, ornamen klasik dan warisan nusantara pada setiap desainnya.
Melihat proses panjang pembuatan perhiasan di tempat ini saya jadi mengingat bagaimana di era kerajaan-kerajaan, orang-orang Nusantara sudah mahir membuat perhiasan yang amat rumit. John Hardy seolah ingin membawa kejayaan seni kriya bangsa Indonesia di masa lalu.
Hal paling menarik dari kunjungan ini adalah fakta bagaimana John Hardy menancapkan idealisme ramah alamnya pada produknya. Hasil sisa logam yang tidak digunakan tidak dibuang, namun dilebur ulang supaya masih bisa digunakan kembali dan memang bahan-bahan utama perhiasan John Hardy bukan logam yang diambil langsung dari tambang, namun logam yang sudah didaur ulang. Konsep ramah alam yang sudah terjaga empat puluh tahun lalu.
Empat puluh tahun lalu, John Hardy meninggalkan pondasi tentang konsep ramah alam, konsep yang sekarang menjadi inti dari John Hardy Jewelry. Kini, John Hardy yang tidak lagi memegang tampuk perusahaannya tetap tinggal di Bali dan terus konsisten mengembangkan konsep ramah alam di Bali.
Hasil kriya dan kompleks John Hardy mengajarkan pada kita semua, bahwa dalam membangun apapun, alam, lingkungan dan penduduk lokal-lah yang harud dikedepankan.
Tabik.
PT Karya Tangan Indah
BR. Baturning, Mambal, Ubud, Bali 80352, Indonesia
Reservasi Kunjungan
visit@johnhardy.com / +62 361 469 888.
terus bawa pulang apaan Ef dari John Hardy ? 🙂
Pokoknya sampai kantong bolong Kak Feb. 😀
Seru ya lihat bangunan showroomnya 🙂
Kak, beliin aku koleksi yang Palu dong. Huehehehhehehee..
iya Kak. 😀
*liat dompet*
suka bgt ihhh ngeliat bengkelnya… unik bgitu… hasil design perhiasannyapun unik2..aku naksir tuh ama yg anting gbr kobra di foto atas.. ^o^
Beli Mbak! 😀
Gambarnya memanjakan mata bener, pake kamera apa nih mas
Mirrorless FujiFilm Mbak..Olwes
Fuji XA2 yah mas? Pakai lensa apa?
Line Up Lensa saya : Fujinon XF 18-55 mm, XF 18 mm dan XF 90 mm.