DSCF8762
Driver Uber tadi pagi

Bekerja di Jakarta memang harus cerdik, hidup di Jakarta sebenarnya bukan tentang menjadi yang terkuat, tapi tentang bagaimana menjadi seseorang yang adaptif, yang lincah menyesuaikan diri dengan kondisi. Katakanlah bagaimana menghadapi kemacetan yang tiap hari makin berangsang, apakah kita akan tunduk dan mengeluh terhadap kemacetan yang melelahkan, atau yang kedua mencari solusi untuk diri sendiri.

Pada akhirnya daripada sibuk mengutuk kemacetan saya memilih menghindari kemacetan. Mencari cara bagaimana supaya tidak terkena jerat macet, saya akhirnya dengan logis menghentikan penggunaan kendaraan pribadi, menggunakan angkutan umum dan/atau menggunakan jasa angkutan yang disediakan pihak lain.

Teknologi juga memudahkan pilihan saya tadi. Jujur, banyaknya teknologi memang membuat saya dan ribuan Jakartans lainnya memiliki banyak pilihan, katakanlah mulai dari aplikasi informasi kereta komuter, ojek online sampai yang baru-baru ini sempat menjadi perhatian, Uber.

Sejak awal masuk ke Indonesia, sebenarnya saya tak terlalu melirik Uber sebagi pilihan. Selain karena masih terbatas, saya juga skeptis tentang bagaimana layanannya di Indonesia. Walau memang di banyak literatur, di luar negeri konsep Uber ini sukses besar, baik dari sisi teknologi maupun dari sisi transportasi.

Skeptisisme saya mungkin juga dipengaruhi tentang positioning Uber, bagaimana mungkin sebuah perusahaan teknologi mampu menyediakan layanan transportasi yang layak? Seperti apa solusi yang ditawarkan oleh sebuah perusahaan transportasi menghadapi remuknya layanan transportasi di Jakarta. Skeptisisme kedua, saya orang yang gamang dengan transaksi kartu kredit, takut dibobol karena saya pernah mengalaminya. Sementara apabila ingin menggunakan layanan Uber hanya bisa menggunakan kartu kredit, selebihnya tidak bisa.

Kemacetan Jakarta
Kemacetan Jakarta

Tapi selain sisi skeptisisme, saya masih ada rasa penasaran. Apalagi dikatakan konsep sharing economy yang dianut Uber, bagi saya ini adalah hal baru. Bagaimana sebuah perusahaan teknologi membawa model ekonomi dan partnership baru di Indonesia.

Ternyata rasa penasaran mengalahkan skeptisisme, saya akhirnya mencoba Uber untuk pertama kalinya di awal 2015 dan menjadikan Uber sebagai salah satu prioritas jika ingin bepergian. Karena Uber kendaraan pribadi semakin sering diam saja di garasi dan tidak digunakan.

Kombinasi kereta komuter, bis dan Uber-lah yang sering saya gunakan untuk mengarungi belantara Jakarta.

Ketika pertama kali menggunakan layanan Uber, impresi yang saya dapatkan adalah rasa aman. Dari aplikasi saya bisa memantau siapa driver saya karena saya bisa melihat fotonya, saya memegang nomer handphonenya, saya tahu darimana driver saya datang. Saya masih ingat pertama kali saya mendapatkan driver dengan mobil Toyota Avanza yang wangi, menawarkan saya permen dan air mineral, memilihkan channel musik sesuai selera. What a service!

Bagi saya, rasa aman ini faktor terpenting, tak hanya aman dari sisi pelayanan, tapi dari bagaimana si pengemudi membawa mobilnya, bagaimana dia menaati peraturan di jalan raya, bagaimana juga membawa dirinya pada penumpang. Well, untuk impresi pertama saya sudah mendapatkan impresi yang luar biasa dari Uber.

Setelah rasa aman, maka yang kedua adalah trust. Saya percaya dengan Uber karena sejauh ini tidak pernah mengecewakan saya. Pernah suatu ketika ada driver yang sudah menerima order tiba-tiba meminta saya membatalkan order, padahal jangka waktu order sudah lebih dari 30 menit, jika saya batalkan saya yang terkena penalti.

Saya mencoba bernegosiasi, tapi pengemudi berkeras menolak order saya dengan alasan terlalu jauh. Okay, tak masalah, dengan berat hati akhirnya saya batalkan. Saya kemudian menceritakan kronologis tersebut kepada layanan support Uber via email. Dalam hitungan menit dari pihak Uber mengirim email balik berisi permintaan maaf dan solusi untuk mengembalikan penalti tersebut dalam bentuk kredit yang bisa saya gunakan.

Ya, Uber datang dengan solusi yang begitu cepat dan secara langsung mendapatkan kepercayaan saya.

Memang sejauh ini selain pengalaman soal cancel tadi, pengalaman dengan Uber selalu baik. Mendapatkan mobil baru, mendapatkan pengemudi yang asyik, mendapatkan servis extra sampai mendapatkan bonus kisah-kisah pengemudi yang terkadang luar biasa. Saya pernah mendapatkan driver ex auditor dari perusahaan audit 4 besar, pernah mendapatkan driver yang dulunya sopir taksi dan nekat banting setir, pernah juga mendapatkan driver mantan sopir tembak. Semuanya sungguh berkesan dan memberikan pelayanan yang baik.

Screenshot_2016-01-27-22-43-13(1)
History Driver Uber

Itulah mengapa saya selalu memberi rating maksimal untuk pengemudi yang mobilnya saya naiki. Ya karena memang layanannya bagus, saya nyaman, toh jika tidak puas saya bisa komplain layanan support Uber atau memberi rating rendah.

Sejauh ini saya bilang standar layanan Uber yang tinggi inilah yang menguntungkan konsumen. Anehnya dengan standar layanan seperti ini, Uber sempat dipermasalahkan. Padahal bagi saya dibandingkan naik angkutan umum yang tidak aman, Uber jelas pilihan logis yang aman, nyaman dan bisa dipercaya. Toh angkutan plat merah ilegal masih berkeliaran, bis-bis tua tidak laik jalan masih dibiarkan, sementara Uber yang memberikan rasa aman dan kenyamanan justru dipertanyakan. Sedikit aneh memang.

Padahal Uber justru menawarkan solusi lewat prinsip yang terbilang baru, sharing economy. Di mata saya sebagai pengguna, apa yang ditawarkan Uber adalah jembatan bagi saya sebagai penumpang yang butuh kendaraan dan pemilik kendaraan. Dalam hal ini Uber tidak memiliki kepemilikan apapun pada kendaraan, bahkan jika dicatat dalam laporan keuangan, kendaraan bukanlah menjadi aset Uber, kendaraan tetap aset si pemilik kendaraan.

Dalam pemahaman saya, Uber mengkoneksikan saya dan pemilik mobil yang bersedia berbagi mobil pribadinya untuk saya naiki dengan tarif yang telah dikompromikan melalui Uber. Dengan demikian Uber sebagai perantara hanya menyediakan teknologi perantaranya, sampai di situ saja, selebihnya tinggal soal bagaimana saya sebagai penumpang menuju tujuan dengan driver yang bersedia mobilnya saya naiki.

Sistem yang terbilang baru ini sebenarnya bisa menjadi salah satu tawaran solusi bagi kemacetan Jakarta. Penumpang yang rela membayar dan pengemudi yang rela mobilnya ditumpangi. Di tengah-tengah berdiri Uber sebagai perantara dan regulator yang membuat sistem ini aman dan nyaman untuk kedua pihak, penumpang dan pengemudi.

Januari ini berarti sudah setahun saya menjadi pelanggan Uber, di Jakarta saya sudah melanglang buana dengan Uber. Terkadang sampai takjub sendiri, seperti ketika saya mendapatkan Uber jam 2 pagi untuk ke Bandara dari rumah saya di Bintaro. Seperti ketika tahu driver saya sebelumnya sopir taksi yang akhirnya bisa memiliki beberapa mobil gara-gara Uber.

Ada nyaman, ada kenyamanan, ada kualitas. Bagi saya mungkin Uber bisa menjadi pilihan, mungkin bagi orang lain bisa jadi tidak. Uber bagi saya sistem yang bagus, tapi bisa jadi tidak untuk sebagian orang lain.

Namun dari ini semua, saya memang menyarankan untuk mencoba Uber pada teman-teman saya, untuk mencoba layanannya, untuk mencoba membandingkan sendiri dengan moda yang lainnya. Teknologi seharusnya memudahkan dan sebagai orang yang bekerja di Jakarta, memanfaatkan teknologi adalah hal yang memudahkan hidup.

Jika teknologi Uber bisa memberikan solusi kenapa tidak mencobanya? Jika teknologi sudah berkembang jauh, seharusnya pengguna teknologi juga harus semakin cerdas, Iya kan?

Tabik.

Silakan masukkan referral code saya farchannue, dan akan mendapatkan kredit 75.000 untuk layanan Uber yang pertama kali.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

13 KOMENTAR

  1. temen2 sih bnyk yg pake uber ini mas.. tp kalo aku blm prnh coba sekalipun.. alasan pertama sih aku dpt fasilitas voucher taxi utk pulang pergi kantor rumah.. jd memang blm butuh pake uber.. Tapi seandainya ga ada fasilitas kantor ini, sejujurnya aku msih takut pesen uber kalo perginya sendirian :D.. mungkin krn mikirnya blm ngerasa aman ya… tp kalo rame2 sih aku ga keberatan 🙂

  2. Saya dulu juga takut naik Uber karena itu kan mobil pribadi.. bukan taxi konvensional yg terdaftar
    Gara2 pindah kantor saya harus berjuang berangkat pagi pulang malam menembus macet, akhirnya saya menyerah mencoba juga naik Uber
    Kesan pertama sangat sangat impressive, sama spt mas Ef.. sopan, ramah, nyaman dan aman…
    Dan akhirnya sekarang sudah 4 bulan saya menjadi pengguna setia Uber untuk mengantar kemana2.. Alhamdulillaah pulang tengah malam sendiripun tetap aman…

  3. saya lebih sering pakai Grab Car masbro, karena saya masih tidak percaya dalam penggunaan data kartu kredit,
    kalau pakai Grab bisa membayar tunai-nai-nai 😀

    emang enak pakai transportasi taksi macam Uber dan Grab Car, lama-lama ngga perlu mikir perawatan mobil, pajak, bensin, parkir dkk.. yah kalau ngga darurat ngga perlu beli mbil juga hehehe…

  4. Waah klo gara2.. Gangguan sinyal trus baca SmSnya telat gimana ya.. Saya dah nyaman dan dah langganan biasanya di telpon tapi ga nelpon saya mhn maaf karna emang baru kebaca smsdan dah nunggu hampir 30 menit karna. Ga tau.. Sabar aja nunggu.. Ternyata Uber dah nunggu dan kelamaan saya minta maaf…dan dah nunggu tapi ga datang.. Saya mau cancel dah ada tulisan lokasi tidak di temukan dah gitu mau pesan lagi kena penalti sampai bingung ngelihat angkanya…saya jadi bingunng ada tulisannya memaksakan anda kena penalti skian 2.. Saking bingumg aaya ga. Pesan Padahal saya dah nyaman karna. Seriing dapat promo..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here