DSCF0264

Mobil Terios yang saya tumpangi cepat melibas jalanan kecil di luar Maumere. Dalam beberapa saat jalanan yang tadinya mulus menjadi kerikil, dari yang sebelumnya perkotaan menuju pedesaan dan dalam hitungan setengah jam sudah berada di tepi pantai.

Saya suka jalanannya, dinamis, saya juga pantainya. Pantainya tidak melulu pasir, ada batu-batu kecil besar campur, seolah-seolah digelontorkan dari langit. Pun demikian dengan langit merahnya yang samar-samar menghiasi langit. Sementara itu Laut Sawu tak henti-hentinya menebar gelombang dari tengah laut menuju pantai.

Jalan kecil yang disusuri ini menuju Kampung Sikka. Kampung ini kampung kecil tapi sejarahnya besar, dari nama kampung menjadi nama sebuah kabupaten adalah bukti kampung ini bukan kampung main-main. Walaupun sejarah memang kejam, takdir diputar balik, nama besar tertinggal menjadi sebuah kampung kecil sekarang ini.

Lepo Gele
Lepo Gete

Dulunya Sikka adalah kerajaan besar, sudah ada sejak abad ke 17. Sejarahnya bertaut dengan kedatangan Agama Katolik di Flores. Kerajaan Sikka ini adalah salah satu kerajaan yang paling awal menganut Katolik sebagai agama resmi kerajaan di Nusantara.

Sayangnya pasang surut zaman menyisakan kisah kerajaan yang sekarang hanya kampung di tepi laut. Di awal abad ke 20, pusat kerajaan dipindahkan ke Maumere dan seterusnya Raja Sikka bertempat di Maumere. Pasang surut zaman pula yang membuat Kerajaan Sikka sekarang tidak lagi terdengar namanya.

Saya tertegun di depan Lepo Gete, bangunan dari kayu yang katanya adalah rekonstruksi Istana Raja Sikka. Lokasinya tepat di tengah kampung, di tepi Laut Sawu yang gelombangnya tak henti-henti menyapa.

Kampung Sikka kampung yang tenang, dengan gereja Katolik yang besar berada di tengah kampung.

DSCF0327

DSCF0243

Saya berjalan menuju gereja di mana di pinggir jalannya banyak Mama-mama yang berjualan tenun ikat dengan aneka rupa warna yang indah.

Tenun ikat dibuat dengan tangan-tangan Mama-Mama Sikka. Saya dituntun oleh Mama Maria, salah seorang penenun untuk memahami proses membuat sehelai sarung tenun ikat.

DSCF0320

Dari kapas, mama-mama di Sikka akan membuat benang, kemudian benang tersebut diwarnai dengan pewarna alami dari alam. Setelah itu barulah ditenun menjadi sehelai kain tenun ikat.

Untuk sebuah tenun ikat, berapa lama prosesnya? Bisa seminggu, bisa bertahun-tahun.

Proses yang rumit dan menggunakan tangan inilah yang membuat nilai dari sebuah tenun ikat dihargai tinggi. Pantas saja, prosesnya luhur, adi luhung dan melibatkan tradisi yang panjang dan budaya yang lestari.

DSCF0302

Tapi memang barang yang bernilai tinggi tentulah berharga sekali dan dari senyum mama-mama yang tak pernah berhenti inilah sehelai kain bernilai tinggi lahir.

Selepas melihat proses tenun saya lekas menuju Gereja Tua Sikka, gereja yang menjadi pusat kehidupan rohani orang-orang Kampung Sikka. Gereja ini diobatkan sebagai gereja tertua di daerah Kabupaten Sikka dan sekitarnya.

Sebenarnya Gereja ini dibangun pada akhir abad ke 19, melanjutkan gereja tua yang sudah ada sejak abad 17 yang sudah ada di Sikka. Saya terpana melihat jalinan kayu sebagai penopang atap gereja, jalinan yang rumit sekaligus gagah.

DSCF0276

Kayu-kayu jati didatangkan dari Jawa untuk membangun gereja ini.

Menurut Gregorius Tamela yang menjadi juru kunci gereja. Masyarakat Sikka kala itu menyongsong kedatangan kayu-kayu jati dari Jawa dengan kapal-kapal nelayan dan membawa kayu-kayu tersebut satu demi satu dari kapal niaga Belanda yang melabuhkan sauh di lepas laut Sikka karena tidak bisa bersandar.

DSCF0286

Kegotongroyongan adalah inti dari gereja ini. Masyarakat Sikka di masa lalu membangun gereja ini bersama-sama dengan tangan mereka sendiri. Di bawa arahan Antonius Dijkmans yang juga merancang Katedral Jakarta, masyarakat Sikka mewujudkan gereja mereka sendiri.

Lepas satu abad, gereja ini masih bertahan. Di dalamnya masih terdapat lonceng dan patung orang suci, semuanya masih kuat, masih kokoh, masih bertahan sejak berabad silam.

DSCF0274

Kekokohan gereja ini seolah menjadi simbol kekokohan iman Katolik yang ada di hati masyarakat Sikka. Relijiusitas Katolik menjadi sendi-sendi kehidupan masyarakat di Sikka dan kidung dari gereja tua sikka beralun seiring semilir kidung ombak laut Sawu.

Ketika senja mengetuk pintu di Laut Sawu, saya dan tim meninggalkan Kampung Sikka. Merangkum getir Kerajaan Sikka yang surut oleh zaman, merekam wastra tenun ikat yang bernilai tinggi dan merekam jejak sejarah Gereja Tua Sikka.

DSCF0348

Saya berpamit pada Mama-mama dan berjanji untuk kembali ke sini, suatu saat nanti.

Tabik.

Tulisan dalam rangka penjelajahan Terios 7 Wonders edisi Flores dan Tour de Flores bersama Daihatsu Indonesia.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

20 KOMENTAR

  1. Foto foto nya makin keren aja Om…. Anglenya bagus dan hasilnya tajam.

    Menjelajah NTT sudah menjadi salah satu impian saya. Sayangnya cuma sampai di Kupang saja. Semoga bisa mengikuti jejak mas ke sana

  2. sumpah itu kayu2 yg menopang gereja eye catching banget susunannya ;)! Sukaa ih ngeliatnya mas..

    harga kain2nya start dari harga brp mas? aku kalo kesana bisa betah kali ngeliatin ibu2nya menenun kain 🙂

  3. Eh, Kerajaan Katolik? Ini pengetahuan baru buat saya, mas. Selama di sekolah hanya diajarkan kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha, dan Islam.

    Suka sekali dengan rangka kayunya. Semoga seterusnya gereja dan masyarakat Sikka bisa seperti itu ya 🙂

  4. Wah… temen sy ad yg asli florres, tpi enggk pernah cerita mengenai kerajaan sikka.
    Malah nemu di artikel nya pak Farchan.
    Terima kasih atas tulisannya pak, jadi mkin betah baca” artikel di blog bapak ?

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here