photo-1430834447668-d44a17fc36fe

Beberapa waktu lalu saya harus mengumpulkan pas foto untuk keperluan visa dan memutuskan membuat pas foto di Jakarta Foto, Jalan Sabang.

Dari luar, studio ini adalah sebuah studio foto yang temaram dengan perabotan kuno dan penjaga toko yang oma-oma dan opa-opa. Saya datang jam delapan pagi, studio ini baru buka.

“Mau foto apa?”

“Visa Jepang”

“Oh, sini-sini”

Saya disambut dengan ramah oleh oma dan opa penjaga jejak studio foto ini.

Studio foto ini sangat biasa saja dari luar.

Tapi apa kata pepatah, jangan lihat dari luarnya memang benar. Berpuluh tahun studio foto ini dijadikan referensi oleh banyak Kedutaan Besar negara asing di Jakarta. Reputasinya sudah tinggi, kualitasnya cetak fotonya nomer satu.

Saya jadi ingat Kawan Foto di Magelang ketika berfoto di studio foto ini, sama-sama studio foto tua.

Apa yang membuat Jakarta Foto tetap bertahan walaupun pemilik tokonya sudah oma-oma? Kualitas. Saya perlu melewati proses 40 menit menunggu untuk sebuah pas foto, 20 menit menunggu untuk memanaskan mesin cetak, 20 menit menunggu proses cetaknya.

Berbeda dengan studio foto canggih dengan printer mutakhir dan hasil cepat. Jualan Jakarta Foto bukan soal itu semua, ini soal hasil foto yang berkualitas. Kertasnya halus, potongannya rapi, warnanya tajam, kualitas yang dijaga benar-benar.

Jakarta Foto adalah yang tua dan bertahan.

Selain itu Jakarta Foto masih menerima cetak foto dari film. Dari sekian banyak studio foto di Jakarta, studio ini yang masih melayani cetak foto dari film dengan kualitas nomor satu pula.

Apakah hal-hal yang kuno sudah ditinggalkan? Tidak, Jakarta Foto memelihara hal-hal yang telah lewat, sebuah romantisme yang susah didapat. Dengan itulah Jakarta Foto tetap bertahan, teguh tegak di tengah arus modernitas.

Kalau anda berjalan-jalan di Malioboro anda akan melihat banyak orang tua dengan senyum lepas duduk berjam-jam menunggu pembeli datang. Orang-orang tua yang tetap ramah pada setiap yang datang, yang tak mau menyerah dan kalah oleh zaman.

Bisa saja kita yang muda bilang kasihan mereka, tapi mereka tidak mau dikasihani. Mereka berjuang untuk mereka sendiri, dengan harga diri yang tak bisa diukur dengan harga diri kita sendiri.

Apa yang membuat mereka bertahan?

Keikhlasan, nrimo in pandum

Hidup di Jogja di mana hidup terasa sangat bersahaja, dengan nilai-nilai Jawa yang masih dibawa. Tak ada pembeli tetap tersenyum, ada pembeli bersyukur, rejeki itu dari Gusti Maha Pemberi. Tidak meminta lebih, tidak menerima di luar haknya.

Sikap hidup penuh ikhlas yang membuat orang-orang tua di Malioboro tetap tersenyum lebar hingga terlihat gigi-gigi ompongnya.

Kota yang dengan kebersahajaannya membiarkan mereka yang tua merawat masa lalu.

Kopi Tak Kie di Glodok juga masih bertahan, menyajikan kopi sejak hampir seabad lalu. Tiga generasi terlewati dan warung kopinya masih penuh pengunjung. Tetap di gang sempit dan becek.

Bagi Kopi Tak Kie, konsisten adalah kunci. Percaya pada pemasok kopinya selama bertahun-tahun dan tentu saja dibalas kepercayaan dengan memasok bijih-bijih kopi terbaik. Cara membuat kopi yang terjaga bertahun-tahun lamanya membuat kedai kopi ini menjadi legenda.

Senada dengan kisah Kopi Aroma di Bandung yang tetap bertahan dengan cara menggolah bijih kopi dengan kayu bakarnya dan penyimpanan yang bisa bertahun-tahun lamanya. Cara yang teliti menghasilkan hasil yang berkualitas tinggi.

Baca Juga : Sumber Hidangan Braga

Kita barangkali sebagai orang muda seringkali meremehkan orang tua. Lambat dan tidak adaptif.

Di Bandung saya selalu mampir ke Sumber Hidangan. Toko kue dan roti tua dengan pemilik yang ubannya sudah rata, penjaganya pun memiliki uban yang senada.

Saya selalu senang membayangkan toko kue ini dulu sangat ramai di era Hindia Belanda dan Indonesia yang baru merdeka. Kini toko kue ini memiliki pelanggan yang rata-rata juga sudah setengah baya, jarang ada anak muda.

Itulah mengapa jika ke Bandung saya selalu menyempatkan diri mampir ke Sumber Hidangan. Menikmati resep yang sudah hampir satu abad. Kini restorannya sudah tutup dan rasanya sedih sekali, tinggal toko kuenya yang bertahan.

Kue dan roti di Sumber Hidangan rasanya jauh berlipat daripada gerai waralaba roti di Mall yang jika ditekan, rotinya kempes dengan segera.

Sumber Hidangan bukan tren, kuno, orang-orang modern lebih suka dengan display yang menarik dan terang benderang. Lalu antri panjang demi sebuah roti yang katanya fenomena.

Padahal yang tua dan autentik memberi rasa yang lebih kuat.

Ibaratnya seperti orang-orang tua yang telah bertahun-tahun menjalani gempuran zaman. Tren adalah sementara, keteguhan sebaliknya, akan abadi.

Kita seharusnya menundukkan kepala pada para penakluk zaman. Mereka bukan lambat dan tidak adaptif, mereka hanya membutuhkan banyak waktu untuk berpikir dengan hati-hati.

Seperti restoran yang turun – temurun menjaga resep tua. Dibuat dengan api kecil dan rata, butuh waktu lama untuk masak. Kesabaran yang menjaga kualitas.

Anak muda tidak sabaran, orang tua lama. Semua hanya perbedaan soal sudut pandang. Pada akhirnya yang tua dan bertahan yang mengajarkan seni menaklukkan zaman. Toh jika butuh nasehat, kepada yang berpengalamanlah, kepada orang-orang tua kita meminta nasehat.

Dan kita pun lama-lama akan menjadi tua. Begitu bukan?

Tabik

Foto : Unsplash.com / Patrick Pilz

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

26 KOMENTAR

  1. Aku agak-agak terharu membaca tulisanmu ini Chan. Sembari mengingat banyak hal-hal lalu yang aku kangenin, dan berharap itu masih ada sampai kapan-kapan. Aku jadi ingat juga, dan mungkin di artikel mu inilah yang akhirnya memberi jawaban, di Kudus waktu jaman SMP aku selalu bersepeda setiap pergi sekolah. Aku selalu melewati area komersial tengah kota, toko-toko yang mulai tersentuh modernitas jaman. Tapi ada satu toko, baby shop gitu, yang terlihat sudah sangat tuaaaa sekali. Gaya tokonya, perabotannya, cara display nya, semua tua. Dan dijaga -mungkin mereka pemiliknya- oleh sepasang kakek nenek yang sudah sangat tua. Aku jarang melihat ada pembeli di situ, mungkin karena aku berangkatnya masih pagi dan pulangnya sudah terlalu sore. Setiap lewat situ, aku selalu bertanya-tanya … “mereka kok bisa bertahan dengan bisnis yang seperti itu,? jarang terlihat ramai. kok mereka gak mencoba bisnis lainnya? berapa penghasilan harian mereka? dan bagaimana mencukupi kehidupan mereka?” … cuma ya gak pernah nanya langsung sama orangnya, meskipun aku penasaran setiap hari.

    Sekali lagi, mungkin jawabannya, seperti apa yang dirimu ungkapkan di atas. “Mereka bukan lambat dan tidak adaptif, mereka hanya membutuhkan banyak waktu untuk berpikir dengan hati-hati.”. Dan konsistensilah yang membuat mereka bisa bertahan dari gilasan roda jaman.

  2. Chan, tadi aku udah komen panjaaaang banget. Pakai acara berbagi cerita segala, pas di send kok malah gak muncul hahaha. Mau nulis lagi lupaaaa … takut gak dapat feel nya.

    Tapi intinya artikelmu ini sangat menyentuh. Dan aku rasa yang dirimu ungkapkan di atas benar adanya, bahwa: “Mereka bukan lambat dan tidak adaptif, mereka hanya membutuhkan banyak waktu untuk berpikir dengan hati-hati.”. Konsistensilah yang membuat mereka dapat bertahan menyintas jaman.

    Nice article Chan, as always …

  3. Dulu jaman kuliah sering banget nongkrong di Jakarta Foto. Kamera pertama beli disana, merk Brown. Filmnya yang digunakan pun cuma berani pakai merk Lucky karena harganya yang paling murah. Pulang kuliah sebisa mungkin mampir buat belajar fotografi sama Om yang jual disana.
    Tamat kuliah, era digital. Tapi masih sempat pakai kamera Lomo, Masih suka mampir sesekali buat beli film dan cuci cetak. Sekarang udah lama ga pernah ke daerah Sabang lagi.
    Baca tulisan ini membangkitkan rasa rindu, Terimakasih atas tulisan yang indah, mas 🙂 Salam kenal

  4. Terharu bacanya, Mas Ef. Kesabaran dan rasa syukur yang membuat mereka bertahan, Btw, saya pernah ke Toko Sumber Hidangan. Aura kuno dan bersahajanya memang terasa sekali. Semoga mereka semua kelak punya penerus ya.

  5. “Kita seharusnya menundukkan kepala pada para penakluk zaman. Mereka bukan lambat dan tidak adaptif, mereka hanya membutuhkan banyak waktu untuk berpikir dengan hati-hati.”
    Merinding baca kalimat di atas, ijin share quote nya ya , Pak Farchan 🙂

  6. akupun, masih suka juga dtg ke tempat2 yg udh tua tapi masih mampu bertahan gitu mas… salah satunya kayak bakery suisse di gajah mada… itu rotinya ga menarik, biasa banget, tp pas dicoba, duuuuh, kalah semua roti2 modern yg cantik2 menggoda itu :)..

  7. Kopi aroma memang hebat, apalagi filosofi pemiliknya yang sekarang, Pak Widya, betul betul menyentuh. Beliau tidak mau membuka cabang ditempat lain lain karena dengan membuka cabang berarti menambah bahan baku produksinya yang masih menggunakan bahan bakar kayu pohon karet. Itu sama saja secara tidak langsung berpartisipasi dalam perusakan alam.
    Mudah mudahan jiwa jiwa anggun seperti ini bisa terus langgeng.

  8. Oh wow,,,baca tulisan mas Farchan ditambah komentar teman-teman yang lain serasa “ditampar” supaya bisa lebih bersabar dan grasa-grusu dalam segala hal. Thank you, loh.

    Salam kenal, btw.

  9. Agak terharu.. agak tertampar.. jadi mami saya gaptek tapi ingin ngikutin perkembangan zaman.. saya mencoba menghalangi.. mikirnya mindset mami belum bisa mencerna hidup di dunia maya yg jelas beda audiensi dan perilaku dg masa skg.. ah tapi baca ini.. harusnya saya bantu mami yg mau belajar dan mengejar.. makasih udah sharing tulisannya 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here