Ada Gunung Inerie bertutup kabut sebagai latarnya, ada harum kopi yang disangrai sampai pekat dan ada tenun-tenun yang berjajar warna-warni di depan rumah. Saya tiba di Kampung Adat Bena, disambut dengan hal-hal yang membuat jatuh cinta.
Di kaki Gunung Ineria, ada senyap di Kampung Adat Bena. Hawanya sejuk, walaupun matahari keras sekali, tapi kabut memeluk dan menahan panas matahari.
Kampung Adat Bena konon sudah ada sejak jaman megalitihikum. Apabila melihat dari struktur kampungnya memang bisa jadi demikian. Di lereng yang topografisnya miring, struktur Kampung Adat ini mirip punden berundak yang acap ditemui sebagai peninggalan era megalitikum.
Pun ditemui susunan batuan yang ada di tengah kampung, susunan batuan ini ada kaitannya dengan kepercayaan adat orang-orang di Bena dan dipelihara beratus tahun lamanya. Beberapa susunan batuan tersebut berfungsi untuk ritual adat.
Rumah-rumah Kampung Adat Bena dibuat menyatu dengan alam, bahan-bahannya didapat dari alam. Batu untuk pondasinya, bambu untuk strukturnya dan alang-alang untuk atapnya. Semua disatukan dengan tali ijuk, tidak ada paku, tidak ada bahan-bahan selain bahan yang disediakan oleh alam.
Di bagian tengah Kampung Adat Bena terdapat tanah lapang yang luas, pusat kegiatan kampung, tempat diadakannya upacara adat. Di bagian tengah juga terdapat bangunan kecil yang menjadi simbol Kampung Adat Bena, namanya Bhaga dan Ngadu.
Bhaga adalah miniatur pondok kecil sementara Ngadhu adalah bangunan dengan tiang tunggal, mirip payung. Dua-duanya dibuat dari kayu keras dan beratap alang-alang. Jika diadakan acara adat, Bhaga dan Ngadu menjadi pusatnya.
Walau kental dengan kepercayaan adat, orang-orang Kampung Adat Bena adalah penganut katolik yang taat. Di bagian belakang kampung yang terdapat bukit kecil dan Gua Maria. Perlambang bahwa Kampung Adat Bena percaya pada iman Katolik.
Untuk sebuah kampung adat, Bena sungguh tertata rapi, bersih dan terjaga. Pengunjung harus mendaftar dan berdonasi, tidak ada tiket masuk, namun bentuk donasi seikhlas pengunjung. Donasi inilah yang nanti akan digunakan untuk pemeliharaan dan kegiatan kampung adat.
Orang-orang Bena rata-rata berkebun, jagung yang paling banyak. Jika datang di siang hari, jagung terhampar di halaman rumah. Kaum pria juga tidak ada di rumah, rata-rata pergi ke huma yang ada di balik bukit.
Yang paling membuat senang di Bena adalah anak-anak kecil yang ceria. Hobi mereka bermain bola, seperti tidak kenal waktu, jika ada bola menganggur tiba-tiba bola akan ditendang sampai melambung.
Kampung Adat Bena adalah kampung yang sederhana, namun penuh warna. Semeriah kain tenun yang dikerjakan mama-mama di Kampung Adat Bena.
Kaum perempuan di Bena sehari-harinya memang menenun, kaum perempuan yang lebih tua, menenun sembari mengunyah sirih pinang. Anak-anak perempuan duduk manis di sebelah para mamanya, melihat dan dikenalkan dengan tenun Bena. Terkadang kaum perempuan turut ke huma membantu suami-suami mereka.
Berbeda dengan anak laki-laki yang aktif dan ribut mencari perhatian saat ada pengunjung, anak perempuan di Kampung Adat Bena cenderung diam dan pemalu. Ketika ada pengunjung yang menyapa, mereka biasanya hanya tersenyum simpul lalu menundukkan muka tanda malu-malu.
Terletak di ketinggian, Kampung Adat Bena memiliki kopi yang enak. Tanaman kopi yang tumbuh di lereng Gunung Inerie yang tanahnya subur dan hawanya sejuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas.
Bapak-bapak di Kampung Adat Bena pasti akan menawari kopi kepada pengunjunag, siapapun itu. Kampung Adat Bena tak akan kehabisan kopi karena kampung ini bisa adalahΒ sumber biji kopi yang tak pernah habis.
Olahan kopinya tentu tradisional, digoreng dengan tungku hingga biji kopinya menghitam, kadang ditambah jagung.
Saat disesap rasa asam dengan aroma buah sedikit terasa, lalu pahit yang tipis-tipis. Enak. Seperti sudah menjadi pakem, kopi dari tanah Flores pasti enak, meninggalkan citarasa yang tiada dua.
Di Bena, suasananya sungguh tenang, senyap. Saya tertidur lama sekali di balai-balai rumah adat Bena.
Senyap di Bena memang mendamaikan.
Siang semakin habis dan sore sudah menjelang. Saya dibangunkan untuk melanjutkan perjalanan. Kampung Adat Bena harus saya tinggalkan, walau sebentar, senyapnya sudah memberi kesan.
Tabik.
Tulisan dalam rangka penjelajahan Terios 7 Wonders edisi Flores dan Tour de Flores bersama Daihatsu Indonesia.
Waaaah … salah satu kampung yang sudah masuk list buat dikunjungi neh Mas
Segerakan kang ali. π
kerafifan lokal yang harus terus dilestarikan. kampung yang benar-benar rapi, bersih, dan sarat tradisi juga warna
Iya Mas. Betul sekali. π
aku pgn banget ngerasain tinggal di rumah adat begini.. kalo untuk menginap ga bisa ya mas?
bisa mbak! cobain deh
Gak nyobain kulinernya Mas??
Cuma kopi saja Mas. π
Berasa damainya walau cuma baca dan belum pernah ke sana, Mas. Pagi mendung baca ini, suasana damainya makin kerasa. Di lapangan tengah itu cuma dipake acara adat ya? Dikira kaya di Desa Adat Sade, suka ada pagelaran/tari-tarian khusus untuk wisatawan.Ataumemang ‘kesakralan’ tari-tarian adat di sana tetap dijaga ya? Hehe..
Iya mas, biasanya buat acara adat saja. TIdak ada tarian khusus buat wisatawan sih mas, kalau ke sana suasananya seperti biasa saja.
Nyaman banget liatnya. Tentreemmm
Bangettt!
tenunnyaa. harganya berapaan mas kalau beli langsung di sini?
antara 400 – jutaan.
Kampung ini peninggalan megalithikum yang nggak banyak berubah ya Mas. Luar biasa ya. Bikin bangga sama Indonesia.
Iya Mbak Anne. π
Tempat ngopinya istimewa
iyo mas
Dari zaman megalith tapi mereka menganut katolik yaaa, adacerita kah ttg penyebaran agama di bena ???
Kayanya bersamaan dengan agama Katolik masuk Ende mas.
Woww…. tempatnya keren…
Kapan ya bisa ke sana?
Ayo Mbak, agendakan. π
Kampung adat yang menyimpan banyak cerita! Semoga bisa berkunjung ke desa ini lagi!
Amin!