Hari pertama di Wakayama saya meminta guide saya untuk berhenti karena saya akan menunaikan shalat.

Ia, orang Jepang yang memang sebelumnya tidak tahu jika saya Muslim.

“Kamu butuh ruangan khusus?”

“Tidak, saya hanya butuh tempat sepi”

“Baiklah akan saya tunggu”

Ia lalu menepi mencari tempat untuk berhenti dan menunggu saya sholat. Saya shalat di emperan sebuah toko yang sedang tutup.

Seusai sholat kami melanjutkan perjalanan, Ia tertarik dengan ritual sholat dan kehidupan saya sebagai seorang Muslim.

Saya menjelaskan dengan penjelasan yang paling mudah. Saya harus sholat lima kali sehari dalam keadaan bersih dan menghadap ke arah kiblat.  Saya jelaskan waktu-waktu shalat dan kenapa saya sebagai muslim wajib melakukannya.

Besoknya selama dua hari perjalanan guide saya akan menawarkan untuk berhenti dan memberi waktu untuk  menunaikan shalat. Itu semua tanpa saya minta, bahkan Ia yang mengingatkan saya.

Toleransi di Jepang memang mengagumkan. Bahkan ketika dikatakan  di Jepang justru banyak yang atheis tapi sikap pribadi orang-orang Jepang memang menjadi keistimewaan tersendiri.

Padahal kehidupan beragama di Jepang itu unik. Pembedaan antara Shinto dan Budha sangat jelas, tempat ibadah Shinto disebut Shrine sementara untuk Budha disebut Temple.

Orang Jepang bisa saja mengunjungi kedua-duanya. 

“Agamamu Apa?” tanya saya pada guide saya.

“Saya rajin ke kuil tapi saya menikah di gereja.” Ia menjawab.

Gambaran tersebut tidak menggambarkan keseluruhan sikap beragama orang Jepang, namun memang praktik-praktik seperti itu umum ditemui di Jepang.

Bisa saja berdoa di kuil Shinto tapi lalu berziarah di kuil Budha. Agama Shinto pun berkelindan antara kepercayaan lokal dan Budha yang datang ke Jepang dari dataran Tiongkok. Pun masih juga mengunjungi gereja.

Agama memang tidak menjadi urusan publik di Jepang, agama adalah urusan individu. Jadi orang Jepang bebas menganut agama atau tidak beragama sekaligus, itulah mengapa ada korelasi dengan tingkat bunuh diri yang tinggi karena kering secara spiritual.

Tapi tidak bisa tidak, hal yang mengagumkan dari Jepang adalah sikap individunya. 

Orang-orang menghormati sistem, tertib, tunduk pada aturan, menghargai orang lain, tidak mengusik orang lain.

Di Jepang sikap diri lebih dikedepankan daripada identitas agama yang dimiliki.

Ketika di Jepang sepanjang perjalanan saya memang tidak menampilkan identitas luar sebagai muslim. Maksud saya adalah saya berpakaian kasual tanpa pakaian khas muslim dan jika saya tidak bilang saya muslim, maka orang Jepang tidak tahu saya seorang Muslim. 

Konsep Islam pun sedikit asing, karena di Jepang agama Islam adalah agama yang sangat minoritas dalam hal persentase.

Walau begitu penerimaan orang Jepang terhadap saya sebagai muslim sungguh sangat terbuka, tidak ada kecurigaan sama sekali. 

Saya malah penasaran apakah Islam identik dengan terorisme atau ISIS misalnya. Saya tanyakan dan saya mendapatkan jawaban yang mengejutkan.

“Islam itu agama, agama bisa menjadikan manusia baik atau buruk itu tergantung dari manusianya. Bukan salah agamanya.”

Orang-orang Jepang tampaknya menilai orang dari sikap terlebih dahulu, bukan identitas agamanya.

Dari apa yang saya alami, rasanya justru sikap yang ditunjukkan oleh orang Jepang itu sangat islami. 

Tidak beragama islam tapi bersikap islami.

Bagaimana rapinya ketika antri di kereta, bagaimana menghormati orang lain, bagaimana attitude dengan orang lain, bagaimana sangat rapi, bagaimana etiket dan sopan santun begitu dijaga.

Itu adalah bagian bagian sunnah seorang muslim bukan?

Itulah mengapa saya senang bolak-balik ke Jepang, ya karena sikap orang-orangnya yang islami. Meski mereka  bukan muslim bahkan asing dengan Islam.

Tapi keasingan Jepang terhadap Muslim sekarang ini mulai luruh. Dari sisi turisme Jepang pun akhir-akhir ini sangat menggencarkan wisata ramah muslim.

Awalnya mungkin dari motif turisme karena banyak wisatawan dari negara muslim yang datang ke Jepang. 

Namun pengembangan wisata ramah islam saya pikir juga hasil kerangka besar orang-orang Jepang yang menerima muslim sebagai agama yang ramah.

Pada awal 2015 saya melihat sendiri bagaimana pemerintah mendukung restoran-restoran untuk menyajikan menu yang sudah mendapatkan sertifikat halal.

Soal sertifikasi halal memang tidak main-main, saya bahkan pernah menginap di kuil Budha di Koyasan yang memiliki sertifikasi halal untuk sajian masakannya. Lebih hebat lagi pengurus kuil tersebut adalah lulusan sekolah teologi agama Budha dengan konsentrasi perbandingan agama dan yang diambil adalah agama Islam.

Pengurus kuil tersebut pernah ke Arab Saudi, pernah ke Indonesia yang katanya karena negara dengan umat muslim terbesar sedunia.

Apa komentarnya tentang umat muslim di Indonesia? “Muslim di Indonesia banyak tersenyum ya?”

Ia menunjukkan Al-Quran terjemahan bahasa Jepang yang Ia simpan baik-baik di ruang khusus. Ia menunjukkan sajadah yang dibeli semasa di Arab Saudi. Ia bangga kuilnya satu-satunya yang memiliki sertifikasi halal dari seratusan kuil di Koyasan.

Kemudian saya juga merasakan bagaimana bandara-bandara Internasional berbenah dengan memberikan praying room yang bisa digunakan untuk Sholat.

Bahkan stasiun Osaka juga membangun praying room yang berukuran cukup besar dan representatif untuk sholat. Lengkap dengan arah kiblatnya.

Jika saat traveling ditanya agamamu apa, saya pasti dengan bangga menjawab “Saya Muslim”

Jika di Indonesia agama akhir-akhir ini menjadi topik yang sensitif. Maka di  perjalanan ternyata identitas agama justru menjadi jembatan untuk membangun relasi.

Saya mempelajari bagaimana agama dan kepercayaan di tempat yang saya kunjungi dan pembelajaran tersebut berujung penghormatan atas agama satu sama lain.

Saya bisa semakin mempelajari Islam yang saya anut di dunia yang luas. Melihat dunia luar untuk memperkuat apa yang saya yakini di dalam hati. 

Saya yang barangkali dalam sholat saja belum benar merasa bahwa Allah menolong saya dalam banyak hal di perjalanan.

Saya belajar bahwa dengan atau tanpa agama orang-orang bisa menjadi seorang yang baik. Saya juga belajar bahwa dengan atau tanpa agama orang-orang bisa menjadi seorang yang biadab.

Dunia luar mengajarkan banyak hal, relasi antar manusia rupanya menembus batas-batas keyakinan. Penghormatan atas ketuhanan ternyata menjadi pemertebal rasa ketuhanan yang dimiliki.

Dan itu semua berujung pada diri kita yang akan menjadi makin baik dan itulah yang saya rasakan.

Mungkin bagi sebagian orang, bertanya agama adalah sesuatu yang personal, bisa jadi kurang pantas.

Tapi bagi saya, pelajaran tentang toleransi bisa bermula dari sebuah pertanyaan,

“Agamamu Apa?”

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

36 KOMENTAR

  1. Di Negara kita sekarang agama dijadikan bahan untuk memecah (oleh sebagian orang), mas. Kita bisa lihat sendiri bagaimana orang-orang tersebut dengan mudahnya mengatakan hal buruk jika tidak seiman. Cenderung ingin memecah belah perdamaian.

  2. Ketika pertama kali berkunjung ke Jepang sebagai turis saya merasakan keramahan yg amat sangat dr orang2 disini. Ini adalah salah satu hal yg membuat saya ingin kembali dan kembali lg ke jepang.
    Akan tetapi ketika ada kesempatan tinggal sementara disini, saya merasakan tetap ada penolakan walau sedikit sekali terjadi. Saya mengenakan busana muslimah dan ketika di kereta atau bis jarang ada yg mau duduk di sebelah saya walau tempat duduk itu kosong. Beberapa kali di restoran saya merasakan diskriminasi dr pelayan. Merasakan tatapan aneh dr tetangga2 jepang saya ketika di musim panas saya mengenakan pakaian tertutup rapat. Ketika saya menyapa dan mereka tidak menjawab. Mungkin mereka rasis tp masih pollite dan saya masih bisa memaklumi, busa jd karena ketidaktahuan. Tidak ada tindakan anarkis yg berlebihan atau secara fisik menyerang seperti yg pernah saya alami di negara lain.
    Apapun itu, saya masih cinta Jepang lebih dr negara lain. Sikap hidup mereka terkadang lebih islami dari saya yang muslim sejak lahir, kekurangannya some of them dont believe in God.
    Salam kenal Pak Efenerr

  3. Temanku tinggal di Jepang. Ternyata banyak komunitas Muslimnya dan bahkan anaknya disekolahkan di sekolah Islam. Dimana beberapa gurunya ada orang Jepang asli yang sepertinya bisa beberapa doa sehari-hari untuk membantu menuntun anak-anak berdoa. Padahal mereka itu bukan Muslim.

    Rasanya senang ya agama kita diterima dengan baik di negara lain.

  4. iya mas, sekarang…apa aja dikaitin sama SARA.
    kayak yang kita berbeda2 tuh mulai dari kemarin, padahal dari dulu santai aja tuh ya. natal ya natal…lebaran ya lebaran. kenapa natal sekarang semengerikan ini?

  5. Mereka yang sering rusuh-rusuh tentang agama mungkin beneran kurang piknik ya.. Coba sering piknik ke berbagai tempat yang beragam kaya mas Chan, mungkin sisi kemanusiannya semakin terbuka..

    Merinding baca tulisan ini, bagaimana orang Jepang bersikap sangat islami.. Tapi kok saya pesimis ya mas di Indonesia isu toleransi tidak akan pernah pudar πŸ™

  6. Suka quote ini : Saya belajar bahwa dengan atau tanpa agama orang-orang bisa menjadi seorang yang baik. Saya juga belajar bahwa dengan atau tanpa agama orang-orang bisa menjadi seorang yang biadab.

    Jadi ?

  7. miris yaa dipikir2… bukan muslim, tp sikapnya justru mencerminkan muslim yang seharusnya… sementara yg muslim sendiri, sikapnya banyak yg arogan akhir2 ini πŸ™ .

    aku ga sabar berangkat ke jepang feb ini.. pgn ngerasain sendiri sikap orang2 jepang di sana mas πŸ™‚

  8. hai, salam kenal mas πŸ™‚ bagi saya itulah juga kenapa Jepang menjadi salah satu negara favorit saya, mungkin karena saya juga bekerja di perusahaan jepang dan atasan langsung saya orang jepang, sehingga setelah saya suka dengan cara kerja dan cara berpikir mereka, setelah saya datang ke negaranya, saya lebih suka lagi hehe

    dan jika kami trip ke Jepang, atasan saya sendiri yang mengingatkan untuk jangan lupa memastikan semua resto yang akan dikunjungi selama di jepang adalah resto yang halal πŸ™‚

  9. Terharu aku baca tulisan ini. Apalagi kutipan β€œIslam itu agama, agama bisa menjadikan manusia baik atau buruk itu tergantung dari manusianya. Bukan salah agamanya” yang meluncur dari mulut orang Jepang yang masih asing sama Islam. Kita mesti banget belajar sama Jepang soal sikap diri, ya, mas.

  10. bukan islami, tapi beradab

    islam memang memperkenalkan adab, namun adab bukanlah satu-satunya yang memberikan identitas pada islam

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here