Indonesia, selama bertahun – tahun era Orde Baru terdoktrin sebagai negara agraris dengan prestasi berwujud data statistik hasil pertanian yang membanggakan dari tahun ke tahun, bahkan mencapai puncaknya dengan penghargaan monumental berupa swasembada beras.

Tapi apabila kita mau berkaca jauh melalui sejarah, berabad lampau bangsa kita gilang – gemilang di laut. Armada Laut Sriwijaya termasyhur di eranya, ekspedisi kaum Bugis bahkan sudah merambah Madagaskar, lalu ada kapal legendaris yang tergambar di relief Borobudur yang dikenal dengan nama Jung Jawa, kapal ini pada perkembangannya diperbaharui pada abad XVI oleh armada angkatan laut Kerajaan Demak dengan bobot 1000 ton, mengalahkan armada Portugis yang hanya 600 ton. Sekaligus mematahkan argumen bahwa Suku Jawa adalah suku agraris seperti doktrinasi selama ini.

Padahal sesungguhnya kemampuan maritim Indonesia sangatlah legendaris, pun juga orang-orang yang hidup dari lautan-lautan di Nusantara. Bolehlah kita menyebut Suku Bugis sebagai suku yang termasyhur dalam mengarungi lautan dengan kapal phinisinya yang tersohor. Suku ini bahkan menjadi ukuran kehebatan bangsa Indonesia di lautan.
Tapi tak hanya Bugis yang termasyhur. Di Bagian timur Indonesia, ada sekelompok manusia pengelana lautan. Mereka tinggal di Laut, hidup dari laut dan tak bisa terpisahkan oleh laut. Mereka dikenal dengan nama Suku Bajo.

Referensi tentang Suku Bajo sebagian saya dapat dari buku Adrian B. Lapian. Beliau adalah sejarawan bidang kelautan yang memetakan tentang Suku Bajo. Dalam tulisan beliau saya mendapat banyak informasi dan terutama bahwa Suku Bajo adalah sebenar-benarnya pengelana lautan, tersebar di penjuru lautan Indonesia, menjelajahi setiap jengkal kepulauan yang ada di Nusantara. Jejak-jejak mereka bisa dilihat dari banyaknya tempat di Indonesia yang bernama Labuan Bajo, ya tak hanya di NTT saja. Banyak sekali tempat yang bernama Labuan Bajo dan disitulah jejak-jejak petualangan Suku Bajo ditinggalkan.

___

Langit bersih dan laut biru menyambut kapal rakyat yang saya tumpangi meninggalkan Ampana menuju Kepulauan Togean. Ya disitulah destinasi kami tim Sulawesi 1 ACI 2011, kepulauan yang elok seolah surga di perairan Teluk Tomini. Saya duduk-duduk di bagian buritan, Sangaji mengambil foto sementara Dinda mengobrol dengan sesama pelancong dari Jakarta. Tak tampak Bang Jufer, pendamping kami. Setelah saya cari-cari rupanya Bang Jufer ada di atap kapal dengan penumpang lain.

Kapal yang kami tumpangi menuju Kulinkinari, pemberhentian pertama kami di Kepulauan Togean. Disinilah saya untuk pertama kali bertatap muka dan bertemu langsung dengan penduduk asli Kepulauan Togean yang berdiam disini sejak sekian lama. Rumah-rumah kayu mereka dipancangkan di atas garis pantai, di atas perairan. Kapal-kapal kecil pencari ikan disandarkan di bagian bawah rumah atau di tepi-tepi pantai. Anak-anak dengan ceria melompat-lompat dari tepian dermaga terjun ke laut, takdir kelak membawa mereka menjadi seorang pengelana lautan.

Dari Kulinkinari kami menuju Poyalisa, sepanjang perjalanan adalah angin sepoi-sepoi, langit biru dan laut yang jernih. Sungguh Kepulauan Togean itu surga di bumi dalam artian sebenarnya, tersembunyi, susah dijangkau tapi keindahannya luar biasa membelalakkan mata. Hidup disini terasa sangat santai dan malas, bagaimana tidak? Dengan pasir putih dan laut yang tenang apalagi yang bisa dikerjakan selain bersantai dan bermalas-malasan?

Di Poyalisa, pulau kecil milik seorang pensiunan mantri kesehatan yang mengabdi di Kepulauan Togean sejak tahun 1980-an saya mendapatkan kisah-kisah mengenai Suku Bajo, saya pun seperti anak kecil yang didongengi, menyimak dengan takjub. Suku Bajo adalah legenda disini, dihormati dan disegani. Kemudian Bang Jufe menyambung, rupanya ketika di kapal tadi Bang Jufe sempat berbincang dengan seorang Kepala Sekolah sebuah SD di Kepulauan Togean. Kepala sekolah tadi bercerita bahwa di SD yang beliau kepalai, mayoritas muridnya adalah anak-anak Suku Bajo. Mereka cerdas, intelejensia di atas rata-rata, Kepala Sekolah tadi begitu membanggakan anak-anak Suku Bajo di sekolahnya yang berhasil lulus SD tanpa mengulang dan nilainya tinggi.

Menginap semalam di Poyalisa membuat saya malas untuk berpindah ke pulau lain, sudah enak sekali di Poyalisa yang mirip seperti pulau pribadi. Saya dan rekan se-tim harus menuju Kadidiri dengan ketinting kecil berkapasitas 5 orang. Sebelum ke Kadidiri ketinting sempat sandar sebentar di Wakai, Pelabuhan utama dan terbesar di Kepulauan Togean. Disinilah pusat perekonomian Kepulauan Togean. Kapal dari daratan Sulawesi pasti sandar disini, melakukan aktivitas bongkar muat, menurunkan penumpang, atau sandar sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan menuju Kadidiri inilah akhirnya saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kehidupan Suku Bajo saat ketinting yang saya tumpangi berpapasan dengan ketinting Suku Bajo. Saya terperangah melihat ketinting yang mereka naiki lebih kecil dari ketinting yang saya naiki, namun penumpangnya lebih banyak, ketinting mereka dinaiki lebih dari sepuluh orang.

Keheranan saya dijawab oleh pengemudi ketinting. Dia menjelaskan itu tadi adalah satu keluarga Suku Bajo yang sedang melakukan perjalanan, mungkin pindah pulau. Memang di ketinting tadi hanya ada 1 pria dewasa yang duduk di bagian paling belakang memegang kemudi, sementara penumpang lainnya adalah wanita dan anak-anak. Anak perempuan mereka duduk paling depan menantang ombak. Dengan perahu sekecil itu, mereka menembus arus laut yang kadang lebih tinggi dari ketinting mereka, tanpa takut bahkan tertawa-tawa riang di ketinting.

Kemudian saya melihat dengan mata kepala saya sendiri perkampungan Suku Bajo. Saya tak tahu nama pulaunya, tapi disitulah konsentrasi terbesar Suku Bajo di Kepulauan Togean. Perkampungannya terletak di daerah semacam teluk kecil. Rumah-rumah mereka benar-benar di atas air, dengan tonggak-tonggak kayu sebagai pondasi. Benar-benar tidak di atas tanah, beberapa bahkan menempel di pinggiran karang/atol. Menurut pengemudi perahu memang seperti itulah Suku Bajo, mereka hidup di laut, dari laut maka rumahpun di atas laut. Bahkan beberapa puluh tahun lalu, Suku Bajo di Kepulauan Togean masih hidup di atas perahu-perahu mereka, sebelum akhirnya membuat rumah-rumah di atas laut seperti yang ditemui sekarang ini di Kepulauan Togean.

___

Eli namanya, dia adalah putra asli Togean sekaligus yang menjadi pemandu kami selama di menginap di penginapan Lestari Kadidiri. Eli adalah tipikal anak pantai sejati, rambut gondrong, kulit legam, badan tegap dan satu lagi pacar bule, ya Eli punya pacar seorang Bule yang sempat singgah di Kadidiri lalu jatuh hati pada Eli.

Eli mengenal Togean di setiap penjurunya, dari petunjuk Eli lah kami bisa menuju Danau Air Tawar yang didalamnya ada ribuan ubur-ubur air tawar, ubur-ubur tanpa sengat yang dulunya kami kira hanya ada di Kakaban. Eli pula yang mengantar kami ke air terjun ke Wakai, air terjun tujuh tingkat yang airnya segar bukan main. Bahkan jika kami punya waktu lebih, Eli bisa mengantar kami ke Una-una, mendaki gunung api Una-una yang pernah meletus beberapa tahun lalu.

Malam makin larut, sementara suasana di Kadidiri hening. Saya sedang menulis reportase harian, Sangaji mengedit foto sementara Dinda berbaur dengan para tamu lain. Bang Jufe tampak berbincang asyik dengan Eli, sayapun tertarik mendengar cerita Eli dan akhirnya kami berempat ikut larut dalam cerita Eli. Sambil minum minuman tradisional Togean yang membuat panas tenggorokan saya menyimak cerita Eli.

Menurut Eli orang – orang Bajo adalah orang – orang pemberani di lautan, mereka menjelajahi setiap jengkal lautan dengan ketinting kecil. Bahkan Eli dengan sedikit bercanda berbicara begini

“Ah..Orang Bajo kalau lihat orang Bugis Cuma tertawa, orang Bugis kemana – mana pake kapal phinisi, kapal besar. Orang Bajo kemana-mana pakai kapal kecil, ketinting.”

Ya benar, kapal Orang Bajo menjelajah lautan dengan kapal ketinting kecil, bukan dengan Phinisi. Panduan mereka adalah langit, langit menjadi sahabat dengan menunjukkan arah sementara angin menuntun kemana mereka akan melaju. Eli pernah melaut dengan orang-orang Bajo, suatu ketika badai besar melanda, Eli dan kapalnya memilih balik haluan kembali ke Togean, sementara orang-orang Bajo terus melaju menembus badai. Kata Eli badainya tidak terbayangkan, ombak tinggi bergulung-gulung, langit bergemuruh hebat, lalu orang-orang Bajo tadi hilang di tengah badai.

Seminggu tak ada kabar, dua minggu tak ada kabar, keluarga sudah pasrah ketika sebulan setelah badai tersebut orang-orang Bajo yang terjebak badai, mereka kembali, sehat wal afiat dengan membawa banyak hasil dari melaut. Rupanya mereka tetap teguh menembus badai, dengan ketinting kecil tadi, seusai badai mereka bahkan sampai di Gorontalo dan Manado sebelum kembali ke Togean. Sungguh luar biasa keberanian orang-orang Bajo tadi.

Eli menunjukkan kepada saya navigasi yang digunakan oleh orang-orang Bajo. Saat malam orang-orang Bajo menggunakan bantuan bintang sebagai navigasi, kalaupun suatu saat tidak kelihatan bintang sedikitpun di lautan, Suku Bajo bisa menentukan arah hanya dengan menebak arah angin. Jika siang maka awan dan matahari yang menjadi patokan arah. Tak perlu kompas atau GPS, alam adalah penunjuk jalan terbaik bagi mereka.

Karena sudah terbiasa di laut, organ tubuhnya sudah beradaptasi. Orang-orang Bajo bisa menyelam tanpa alat bantu sampai kedalaman puluhan meter. Durasi selamnya mencengangkan, dalam sekali tarikan nafas mereka bisa menyelam sampai 30 menit, normalnya manusia hanya mampu menahan napas di air sekitar 3 menit atau maksimal 5 menit, tapi orang-orang Bajo bisa puluhan menit di dalam air, benar-benar penyelam-penyelam ulung.

Ada sedikit cerita yang diluar nalar disini, bahwa seorang Suku Bajo bahkan bisa menyelam sambil merokok. Rokoknya tidak mati walaupun di dalam air, tapi kata Eli hal itu sungguh-sungguh terjadi entah mau percaya atau tidak. Saat mencari ikan Suku Bajo menggunakan tombak, bukan dengan jala atau pancing. Mereka menombak ikan di kedalaman lautan. Suku Bajo juga punya kemampuan lain yaitu berjalan di dasar laut. Awalnya saya tak percaya sampai saya melihat liputan BBC tentang Suku Bajo yang berjalan di dasar laut. Mereka benar-benar di dasar laut.

Eli menyudahi kisah malam itu dengan menceritakan temannya, sang pengemudi kapal di yang pernah diminta ibu pemilik penginapan untuk mencari ikan di laut sebagai lauk untuk para tamu penginapan. Pengemudi perahu ini keturunan Suku Bajo, setelah mempersiapkan alat berupa tombak ikan, maka ia segera melaut.

Satu jam kemudian dia kembali ke penginapan dengan membawa seekor barracuda besar dengan panjang satu meter. Si ibu penginapan terheran-heran padahal dia hanya diminta membawa ikan kecil untuk lauk, sementara para tamu penginapan yang umumnya adalah diver juga terheran-heran, bagaimana dia bisa membunuh dan membawa ikan buas itu.

Sang pengemudi kapal membenarkan sambil tersenyum simpul, ibu penginapan juga mengiyakan, kisah tadi menjadi penutup kisah-kisah Eli tentang kehebatan Suku Bajo. Akhirnya saya, Eli dan Bang Jufe mengakhiri kisah-kisah kehebatan Suku Bajo tadi dengan bersulang minuman khas Togean yang membuat panas tenggorokan.

___

Lautan yang kaya mencukupi Orang-orang Bajo, apapun yang mereka butuhkan ada di laut. Mereka adalah sebenar-benarnya orang laut, hidup di laut, hidup dari laut. Mereka tidak terikat batas-batas daratan, selama bertemu lautan maka itulah tanah air mereka.

Bahkan ada kisah tentang Orang Bajo yang berstatus stateless (tanpa kewarganegaraan) yang hidup lintas pulau di perbatasan-perbatasan Indonesia dengan negara lain. Mungkin itu wujud dari kebebasan mereka, wujud dari ketidakmauan terkekang oleh batas-batas negara, karena laut adalah kehidupan mereka.

Di balik kehebatan mereka di lautan. Sesungguhnya  banyak kegetiran yang dialami oleh Orang Bajo,  Bajo pernah alami. Tekanan datang dari mereka yang belum mengenal tapi menstigma buruk orang Bajo, bahkan terkadang pemerintah pun mendiskreditkan mereka. Mereka dipinggirkan.

Mereka adalah orang-orang hebat dengan laut adalah dunianya, tapi pada kenyatannya mereka terpinggirkan, terhimpit secara ekonomi dan hampir tidak dikenal oleh saudara sesama bangsa Indonesia. Padahal sebenarnya, orang-orang Bajo adalah orang-orang hebat, mereka adalah perwujudan sesungguhnya jargon Indonesia Negara Maritim, karena mereka adalah sebenar-benarnya orang laut.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

7 KOMENTAR

  1. pelaksanaan pembangunan dengan perspektif darat mengikis keterhubungan orang bajo dengan laut. Keputusan untuk ‘mendaratkan’ mereka menjadi sumber masalah ekonomi dan sosial yang dialami orang bajo…

    sungguh sayang…

    tulisannya enak dibaca mas.. *bersulang

    • betul sekali..dari berbagai sisi, kebijakan kita terlalu ke darat.
      mulai dari ekonomi sampai militer.
      itulah sebabnya, potensi maritim kita tidak maksimal..padahal kaya raya..

      makasih mas sudah mampir..semoga betah dan kapan-kapan mampir lagi. 🙂

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here