“Jangan keluar, bahaya”

“Saya bisa pakai payung, cuma hujan biasa kok”

Tampaknya saya terlalu menganggap remeh hujan sore di bulan Oktober itu, sedari pagi Osaka cerah, saya pikir hujan hanya sebentar dan sorenya bisa berjalan-jalan santai menikmati suasana Osaka.

Penjaga hotel tempat saya menginap sudah mengingatkan, saya bersikeras.

Begitu keluar hotel, hujan menyambut, deras sekali. Tipe derasnya adalah tipe yang menghunjam keras ke wajah dan mendatangkan rasa perih berkepanjangan. Saya menatap ke langit, air hujan diombang-ambingkan angin, rasanya Anemoi sedang marah lalu meluapkannya ke langit Osaka.

Tiba-tiba “braaaak”, payung yang saya pakai patah. Tidak kuat menahan angin, rangka penopang payung hancur tak berbentuk. Untung saya masih mengenakan baju hangat.

Tak mungkin melanjutkan perjalanan, saya kembali ke hotel dengan kondisi basah kuyup, disambut gelak tawa penjaga hotel.

“Kubilang juga apa”

Saya tersenyum kecut dan segera kembali ke kamar.

Hujan di Osaka sore itu ternyata baru awal, ia mengetuk dan membawa tamu bernama Taifun. Awan Taifun pertama mengendap di Hongkong, bergumam pelan di Taiwan dan menyalak di Osaka.

Bodohnya, saya menganggap penjaga hotel hanya bergurau. Saya lupa ini Jepang, negeri di mana ramalan cuaca begitu akurat hingga orang-orang tahu akan ada badai taifun dan mereka sudah bersiap.

Sejak saya keluar tadi, raung sirine mobil polisi bolak balik melewati hotel dan  pengeras suaranya terus memutar himbauan berbahasa Jepang, entah apa artinya tapi mungkin menyuruh orang agar berhati-hati.

Seusai membasuh diri dan membereskan baju yang basah kuyup, saya kembali turun ke lobi hotel dan bertemu penjaga hotel yang lagi-lagi menyambut dengan nada meledek.

“Mau keluar lagi?”

“Tidak”

Saya duduk dan menemani penjaga hotel, musim Taifun seperti ini tamu-tamu memilih berdiam di kamar, sebagian mungkin terjebak di luar dan mengalami kesulitan kembali ke hotel.

Suhu di luar semakin dingin, beberapa kali angin dari luar menerobos pintu hotel dan menyapa saya yang duduk di lobi hotel.

Polisi masih mondar-mandir. mereka mengawasi jalanan dan memastikan orang-orang untuk tidak berkeliaran di jalan. Jalanan sepi sekali dan daerah sekitar hotel seperti kota mati.

Di lobi hotel, saya menatap layar televisi yang menayangkan berita update badai Taifun. Ada yang terkena banjir, ada yang tanah longsor, rasanya malam makin muram.

Langit Taifun Osaka

Bosan, saya memutuskan kembali ke kamar dan tidur, terbangun ketika langit sudah gelap. Rupanya jelang malam datang Taifun mulai tenang, mungkin lelah dari tadi marah-marah.

“Kamu kalau mau jalan-jalan bisa sekarang, ada waktu dua jam sebelum badai datang lagi”

Sekarang saya percaya penjaga hotel. Segera saya mengambil payung dan keluar ke jalanan.

“Hati-hati, ingat dua jam!”

Dalam gerimis saya menuju stasiun, beberapa toko yang biasanya ramai di malam hari masih tutup. Di stasiun antrean mengular, Taifun menyebabkan jadwal kereta api terganggu dan membuat orang-orang harus bersabar menunggu. Peron stasiun penuh manusia dan saya berada di tengah-tengahnya.

Orang-orang Jepang dikatakan orang paling sabar sedunia. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kericuhan, semua antre dengan tertib, lewat corong suara petugas stasiun setiap menit mengucap permintaan maaf karena keterlambatan jadwal kereta. Satu orang petugas berada di ujung peron, meminta maaf dan membungkuk setiap ada penumpang yang masuk ke peron.

Saya lantas ingat Stasiun Tanah Abang saat kereta mengalami keterlambatan. Homo homini lupus, saling sikut, injak, teriak, semua ingin jadi yang pertama masuk kereta.

Antrean di Stasiun

Sepuluh menit berkereta dan lima menit berjalan kaki saya tiba di Dotonbori. Seusai Taifun Dotonbori sepi sekali. Jalanan yang biasanya ramai wisatawan kini lengang. Antrian di warung Takoyaki yang biasanya panjang kini hilang.

Mungkin Taifun membuat orang-orang malas keluar dan memilih menghangatkan diri di rumah.

Sebelum kembali ke hotel saya sempatkan membeli stok makanan dan minuman, menurut ramalan cuaca Taifun akan tiba kembali malam ini dan baru pergi besok sore. Tentu kemungkinan terburuk adalah tak bisa kemana-mana seharian.

Saya tiba di hotel jelang jam sepuluh malam, menurut ramalan cuaca Taifun akan datang setengah jam lagi. Sampai di kamar hotel saya menyalakan televisi, berita Taifun dan ramalan cuaca masih mendominasi.

Benar, Taifun datang lagi dimulai dengan hujan yang mengetuk jendela dan suhu yang makin dingin.

Bagi orang Jepang, Taifun adalah hal yang biasa. Setiap tahun Taifun menyapa dan meninggalkan kerusakan di daerah yang dilaluinya. Belajar dari bencana, Jepang memiliki mitigasi yang bagus, ramalan yang akurat dan antisipasi yang cepat.

Seperti misalnya polisi yang lalu lalang melarang orang-orang bepergian, televisi yang tiada henti menyiarkan kondisi terkini sampai bagaimana penjaga hotel mengingatkan tamunya. Orang-orang Jepang tidak takut dengan Taifun, mereka sudah menganggapnya kawan akrab.

Paginya dalam sergapan hawa dingin saya terbangun, dingin paginya ternyata lebih menusuk daripada dingin malam. Saya buka sedikit jendela kamar dan langit tetap kelabu, hujan masih turun dan angin masih bergejolak.

Hotel yang saya tempati adalah hotel super murah, kamar saya hanya berukuran 3 x 4 dengan tatami, lemari dan televisi. Tidak ada pendingin ataupun penghangat ruangan, hanya ada satu jendela kecil.

Distrik tempat saya menginap di Osaka memang distrik pusat penginapan murah. Dulu penginapan murah ini umum dikenal dengan nama Doya, penginapan murah bahkan super murah yang biasanya digunakan untuk para pekerja berpenghasilan rendah. Kamar sempit, seadanya yang penting orang-orang bisa tidur telentang.

Tapi kini banyak Doya yang telah berubah menjadi hotel murah. Menyasar tamu luar negeri dengan fasilitas setara hostel backpacker, walaupun namanya tetap hotel. Dengan fasilitas yang saya dapatkan rasanya saya sudah cukup puas dengan biaya yang saya bayar, 300 ribu per malam, tergolong murah untuk hotel di Osaka.

Tapi bagaimana jika terjebak sehari semalam di hotel berukuran 12 meter persegi ini. Tidur menatap langit-langit kanan, menengok ke kanan saya melihat tembok, begitupun jika saya menengok ke kiri.

Gawai saya sampai panas, saya sudah bosan di dalam kamar. Tapi mau apalagi? Taifun masih riang bermain-main di luar sana.

Saya menatap stok makanan, dua tangkup roti sudah hapis, tiga biji onigiri yang semoga masih enak dan satu cup mie instan.

Dari pagi sampai siang saya tak keluar kamar, membunuh kebosanan dengan nonton tv, mengecek gadget, tidur-tidur ayam, lalu bangun lagi, menonton tv, mengecek gadget lagi. Begitu siklusnya selama berjam-jam, berulang.

Saya yang sudah bosan akhirnya turun ke resepsionis. Sekarang baru jam satu siang, dari sepuluh hari, satu hari setengah saya terjebak di Osaka tanpa berkeliling kemana-mana, hanya menyapa kebosanan di kamar hotel berukuran 12 meter persegi.

“Kapan Taifun berakhir?”

“Menurut ramalan cuaca jam tujuh malam”

Dari lobi hotel saya menatap angin masih kencang dan hujan masih ganas. Sementara saya masih harus membunuh bosan selama enam jam.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

26 KOMENTAR

  1. Bangsa Jepang bangsa yang sabar, namun bukan pelupa. Mereka sabar menghadapi ketidaknyamanan namun berupaya supaya tetap selamat dan kali berikutnya bisa lebih nyaman. Bangsa kita sebaliknya. Cepat lupa dan pemaaf, namun tak sabaran. Akibatnya marah saat kenyamanan terganggu, missal saat bencana alam. Namun setelah kejadian, lupa lagi.

  2. Karena bentuk penanganan dan antisipasi yang terstruktur sejak lama, masyarakat Jepang tidak menganggap bencana sebagai mitos, melainkan seperti seorang kawan yang butuh pendekatan dan pengenalan. Seperti biasa, tulisan filosofis dan sastranya apik. ^_^

  3. Kalo ada badai Taifun gitu jd susah jg buat beraktifitas. Apalagi lupa beli makanan dan stok habis kan jd repot :D. Untungnya Mas nya udh persiapan.

  4. Teman saya dari Cina pun, selalu mengecek ramalan cuaca sebelum keluar rumah. Tapi masalahnya, apa yang membedakan ramalan cuaca di sana, dengan di sini? Kan ilmunya sama saja

  5. Keren banget ya, mas. Bahkan ramalan cuacanya bisa memprediksi berapa jam lagi taifun akan datang. Nggak nyangka juga orang-orang Jepang yang time-oriented (cmiiw) ternyata lebih bersabar dan tenang menghadapi kereta yang datang terlambat. Kalau di Manggarai mah, semuanya mecucu wkwkwk

  6. Bukannya nantangin alam ya mas, tp kok aku jd pengen kalo ke jepang lagi nanti, ngalamin taifun begini :D. Pgn tau gmn rasanya.. Pas ke jepang kmrn, paling parah aku cm ngalamin hujan salju deras. Itu jg impianku yg akhirnya bisa ngerasain sendiri 😀

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here