Pada suatu masa, rempah adalah emas. Diperebutkan dan menjadi ajang pertumpahan darah.

“Ah dekat, hanya lima menit dari Bandara” kata Acho, kawan dari Ternate yang motornya saya pinjam untuk berkeliling Ternate.

Saya naik motor karena hanya punya waktu beberapa jam berkeliling Ternate.

“Seberang bandara itu Halmahera”, tambah Acho

Daratan Halmahera lamat-lamat dipisahkan laut dari daratan Ternate. Tampak dekat sekali, taksiran saya mungkin tak sampai dua jam jika menyeberang dengan kapal motor.

Saya berpamit pada Acho lalu melajukan motornya menuju Benteng Tolukko yang katanya hanya lima menit dari Bandara.

Ternyata benar, bentengnya dekat sekali dengan bandara. Tak tampak seperti benteng, pintu masuknya berada di halaman rumah. Tak ada loket masuk, tak ada penjaga, pintunya pun terbuka.

Ada anak kecil yang bingung melihat saya datang, saya senyumi si anak malah menangis. Mungkin dikiranya saya penculik atau ia melihat muka saya yang menyeramkan.

Benteng ini sekarang tak lebih dari seonggok bangunan batu yang menjorok di ujung tebing. Terkepung pemukiman orang Ternate yang khas, cat warna warni dan atap seng yang tahan panas.

Padahal dahulu benteng ini adalah benteng megah, perlambang dominasi Portugis terhadap perdagangan rempah di Ternate. Tempat di mana Portugis memuat cengkeh yang akan dibawa ke benua barat menempuh badai berbulan-bulan lamanya.

Di ujung Benteng Tolukko menatap lautan saya mengingat kisah tentang rempah.

Dahulu rempah adalah harta berharga, di Mesir menjadi ramuan ajaib yang hanya dimiliki raja, bangsawan dan orang kaya. Orang-orang Barat menghargai rempah selayaknya emas.

Di separuh benua di sebelah barat tak ada yang tahu rempah berada dari mana. Yang tahu asalnya hanyalah pedagang-pedagang dari arab yang menutup mulut rapat-rapat.

Hingga akhirnya tiba era penjelajahan ketika orang-orang Barat mulai membuat kapal-kapal yang mampu berlayar beribu mil jauhnya dari benua Eropa. Dan voila ketika menemukan rempah, muncullah rasa serakah. Dari rempah hasrat penaklukan muncul, karena sifat tamak dan ingin mendapatkan segalanya telah berkuasa.

Tolukko pada masanya adalah simbol supremasi Portugis atas perdagangan rempah di Ternate.

Kembali dari kisah masa lalu saya menikmati langit biru yang sangat cerah di nusa rempah.

Ternate kini menjadi salah satu kota yang begitu semarak di sisi timur Indonesia. Sisa-sisa kejayaan rempah masih tampak, walaupun mungkin barangkali di masa lalu Ternate lebih kaya daripada sekarang.

Dari Tolukko saya menuju kota dan melewati kedaton Ternate yang megah. Lokasi kedatonnya berada di tepi laut, gerbangnya menghadap laut dengan jalur menuju pintu kedaton tegak menjulang. Kedaton ini sekarang menjadi museum dan terbuka untuk umum. Di sinilah hikayat Ternate dijaga dan dirawat.

Saya membayangkan di masa lalu Sultan Ternate setiap hari memandang pelabuhan, menyaksikan kapal-kapal dagang angkat sauh membawa komoditas rempah dari Ternate. Sejarah mengisahkan bahwa kemakmuran Ternate pernah terjadi karena rempah.

Kota Ternate adalah kota yang teduh, kota ini terkena angin laut juga sejuknya gunung. Ada satu gunung yang menjadi penanda Ternate, Gunung Gamalama.

Gamalama adalah kisah-kisah yang menjadi sejarah. Gunung ini masih terus menggeliat hingga sekarang, tapi dengan aktivitas gunungnya, Gunung Gamalama menjadi penghidupan bagi orang-orang Ternate. Gunung ini selama bertahun-tahun memangku Kota Ternate, dari kota perdagangan menjadi kota teramai di Maluku Utara.

Saya tak sampai Puncak Gamalama. Hanya menikmati sedikit kaki gunungnya. Di kaki gunung banyak ladang dengan gubug-gubug para peladang. Suasananya hijau dan berlumur hawa gunung yang sejuk.

Di tepi sebuah ladang saya memandang lepas laut, pikiran mengawang, saya membayangkan betapa metropolisnya Ternate di masa lalu. Betapa campur baurnya kultur di Ternate yang sudah dikunjungi bangsa-bangsa dari berbagai belahan dunia sejak berabad lampau.

Siang makin panas, saya kembali turun ke arah pantai. Jalanan Ternate lengang dan menyenangkan.

Di tepi pantai saya bersua mama-mama penjual nasi kuning, saya berhenti, menyantap nasi kuning sampai kenyang sambil menikmati angin dan langit biru.

Tabik.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

15 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here