Jalan Gempol adalah jalan yang lebarnya pepat, ada gapura lengkung warna biru, sehabis gapura di sisi kanan ada restoran makanan dan ada toko roti di sebelah kini. Selepas itu ada warung gudeg, toko kelontong dan voila! Jalan Gempol isinya tempat makan belaka. Orang-orang banyak yang sudah mengenal kuliner Jalan Gempol Bandung ini. Bahkan ketika saya tiba pagi-pagi sekali, orang-orang sudah merubung jalan yang sebenarnya sangat pepat dengan rumah-rumah di kanan kirinya.

Saya tak berencana ke Jalan Gempol, driver Uber-lah yang mengantar saya ke sana. Tiba di Dipatiukur pagi-pagi sekali dengan perut kosong dan masih ada waktu beberapa jam sebelum saya pergi ke tempat mertua. Dari pool travel Dipatiukur saya memesan Uber ke daerah Braga, mencari ide untuk sarapan.

Di perjalanan berbincang dengan driver bernama Umar, orang Bandung asli, mantan pekerja di BUMN, membuat saya berubah pikiran.

“Ke Jalan Gempol aja, Mas! Abis makan kupat tahunya pasti gamau makan kupat tahu ke tempat lain” Umar meracuni.

Saya lalu mengubah destinasi tujuan di Uber dan setuju saja ke Gempol. Saya tak mungkin menolak referensi dari orang asli Bandung. Biasanya orang lokal pasti punya referensi kuliner yang otentik dan sedap.

Lingkungan Jalan Gempol sebenarnya tidak istimewa, jalan ini hanyalah lingkungan di kawasan perumahan, dengan jalan kecil yang mengitari rumah-rumah petak serupa pasar kecil. Jadilah rumah-rumah petak ini mirip pulau yang dikitari jalanan.

Penanda utama Jalan Gempol selain gapura biru sebenarnya ada dua, Kupat Tahu Gempol dan Roti Gempol. Dua tempat kuliner ini sama-sama legendaris, sudah berpuluh tahun hadir di Jalan Gempol.

Tujuan pertama saya ke Kupat Tahu Gempol. Saya iseng mencari jejak digital Kupat Tahu Gempol di internet dan jika mencari dengan kata kunci “Sarapan di Bandung” di Google maka Kupat Tahu Gempol selalu muncul di pencarian teratas.

Sepintas tak ada yang istimewa dari warung Kupat Tahu Gempol. Bahkan jika belum pernah ke sini tak ada yang menyangka bahwa warung kupat tahu ini adalah icon kuliner Jalan Gempol Bandung. Namun, memang benar bahwa tampilan tak menentukan isi, begitulah kira-kira gambaran Kupat Tahu Gempol. Hanya ada rak kaca kecil dan meja untuk meracik Kupat Tahu. Empat buah meja dan kursi yang tak mampu menampung pelanggan.

Pelanggan lalu banyak yang makan di emperan Jalan Gempol, bersisian dengan motor-motor yang parkir dan harus menepi mepet ke tembok rumah. Maklum Jalan Gempol adalah jalan yang lebarnya pepat, berhimpit dengan rumah-rumah, maka kendaraan dan manusia harus saling mengalah.

Saya harus menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan bangku. Begitu bangku kosong saya tak mau buang waktu, segera duduk dan memesan kupat tahu. Penasaran juga apa istimewanya Kupat Tahu Gempol ini. Satu porsi Kupat Tahu datang tertutup kerupuk berwarna merah muda. Di balik kerupuk yang sudah saya gigit setengah ada bumbu kacang yang memenuhi piring, tipis di balik bumbu ada tahu yang empuknya bukan main.

Setelah kerupuk gurih yang renyah segera manyusul satu suapan masuk mulut. Alamak benar kata Pak Umar, sekali makan di sini tak mau makan kupat tahu di tempat lain. Bumbu kacang yang kental masuk dan bergegas menggelitik lidah. Belum sempat lidah mengecap sempurna, tahu yang empuk betul segera memenuhi mulut. Bumbu tak hanya bercampur di piring, di rongga mulut, bumbu segera kawin mawin dengan tahu yang sudah hancur lebur. Beuh! Bukan main, inilah kupat tahu sesungguhnya.

Lontongnya juga empuk. Konon saat meraciknya, berasnya ditumbuk sampai kecil-kecil. Hingga saat ditanak kadar keempukannya bertambah. Satu porsi Kupat Tahu ini sesungguhnya pas untuk menu sarapan.

Warung kupat tahu yang kecil ini memang bersahaja, seperti sang empunya. Tapi tiap pagi jika orang-orang menyemut demi satu porsi kupat tahunya maka kesahajaan kupat tahu ini tak boleh diremehkan begitu saja. Tempatnya boleh kecil saja tapi kiprahnya mendunia, tak main-main, Kupat Tahu Gempol pernah menjadi peserta dalam World Street Congress 2015 di Singapura. Kupat tahu di pojokan Jalan Gempol yang membanggakan Bandung dan membawa harkat dan martabat Kupat Tahu ke pentas dunia.

Puas dengan kupat tahu saya lekas beralih ke kuliner Jalan Gempol Bandung lainnya. Lima puluh meter ke arah belakang kupat tahu ada bau harum roti bakar. Di sinilah terletak Roti Gempol, salah satu toko roti tua di Bandung.

Sama seperti kupat tahu Gempol, lokasi Roti Gempol jelas tidak mencolok. Mengambil tempat di rumah petak era tahun 1950-an, penanda toko roti ini hanya tulisan Roti Gempol yang sudah usang.

Saya masuk ke toko roti yang sudah ada sejak dekade 50-an ini, di dalamnya ada etalase dari kayu dan kaca yang tampak sangat tua. Juga rak-rak tempat roti di belakang kasir. Saya segera mengambil menu dan memesan setangkup roti gandum bakar dengan isi keju.

Di dalam toko berderet meja dan kursi untuk menikmati racikan rotinya. Sebagai pendamping roti, para pengunjung bisa memilih kopi, teh atau susu sebagai padu padan yang pas untuk menikmati roti.

Ada tiga jenis roti, roti putih, roti gandum dan roti tawar. Semuanya ditawarkan dalam menu perseorangan atau ririungan. Kalau perseorangan menunya untuk sendiri, sementara ririungan bisa dinikmati bersama-sama.

Kiranya ada 40 menit ketika pesanan sudah siap. Tukang roti akan memanggil nama orang ketika pesanan sudah siap. Setangkup roti gandum yang hangat, baru beranjak dari pembakaran dengan keju yang meleleh di tengahnya segera saya santap. Kesan pertama, roti gandumnya sungguh gurih, biji gandumnya bertebaran dan lepas dari ikatan adonan rotinya begitu masuk ke mulut. Harum gurihnya roti gandum cocok dengan lumernya keju.

Pengunjung di Roti Gempol juga tak berhenti datang. Hingga para pengunjung harus duduk di tepi jalan dengan kursi-kursi plastik yang berjajar. Selain itu para tukang ojek online juga duduk takzim menunggu pesanan.

Toko roti ini memang belakangan populer, sama juga dengan kupat tahu Gempol. Jalan Gempol kemudian kembali diingat oleh generasi terkini sebagai jalan kuliner. Saya memang hanya mengunjungi dua tempat makan, tapi sesungguhnya di ruas jalan Gempol yang pepat ini ada banyak tempat makan yang bisa dicoba.

Dua tempat makan ini terus dijaga oleh zaman, tidak tumbang oleh tren kekinian. Saya selalu melihat bahwa rumah makan di Bandung itu selalu melalui pasang surut, ada yang tiba-tiba ramai lalu sepi, ada yang menjulang lalu hancur tergilas tren. Tapi dua ikon kuliner Jalan Gempol Bandung ini tetep bertahan.

Saya kira semua sudah tahu rahasianya. Tidak ada yang berubah dari kupat tahu dan roti Gempol sejak mereka buka pertama kali. Ketegaran menjaga proses dan merawat resep adalah kunci kekonsistensian sebuah kuliner. Itulah yang dijaga benar oleh pemilik dua tempat makan ini, hingga akhirnya keteguhan rasa akan diingat turun temurun oleh orang-orang.

Dua tempat ini memang mengedepankan rasa dan tradisi, itulah kenapa tempat makannya tetap bersahaja, tetap sederhana tapi pengunjung tetap datang menyemut setiap harinya. Ini bukti bahwa rasa bagi sebuah tempat makan adalah raja dibandingkan cantik di tampilan sosial media.

Perut saya penuh, sudah dua porsi makan berat untuk sarapan di dua ikon kuliner Jalan Gempol Bandung. Saya tak sanggup mengisi perut lagi sampai siang. Setidaknya, ada yang harus dicatat baik-baik, jika tiba di Bandung pagi-pagi benar, segerakanlah ke Jalan Gempol, ada kupat tahu atau roti yang menanti.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

15 KOMENTAR

  1. Meski bukan yang terenak, tapi kupat tahu di sana emang luar biasa sih, Mas.

    Kapan kapan mampir ke warung makannya Ibu saya Mas. Di dekat roti gempol. Rumah makan Ella namanya

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here