Di alun-alun yang luas, pada suatu pagi, doa-doa dan ketulusan terpancar dari jilbab berwarna meriah dan kaki-kaki yang mengeras melawan sinar mentari yang panas. Ketika orang-orang mencari kesenangan di minggu pagi, orang-orang dari desa berdatangan, jauh-jauh dari rumah sedari subuh mencari ketenangan jiwa.

Itulah yang terjadi di Kota Magelang, setiap 35 hari sekali di hari Minggu Paing dalam penanggalan Jawa. Orang-orang Jawa memang gemar menamai sesuatu dengan waktu pelaksanaan, acara di Minggu Paing maka dinamai Paingan, keefesienan khas orang Jawa.

“Monggo poro sedherek, meniko sampun caket kalian sasi ramadhan”

Suara Kyai menggema dari pelantang suara yang gagah terpasang di menara masjid. Tidak ada ceramah yang muluk-muluk, hanya ceramah sederhana tentang betapa pentingnya ibadah untuk terus dilakukan dan babagan muamalah di kehidupan sehari-hari.

Mereka yang mengikuti Paingan biasanya adalah orang-orang desa di sekitar Kota dan Kabupaten Magelang. Ada yang datang dengan berjalan kaki, ada yang naik angkutan umum dan ada juga yang menumpang bak terbuka. Datang penuh keikhlasan demi sebuah panggilan jiwa.

Orang-orang ini bukan orang yang muluk-muluk dalam bersikap dan sederhana. Hidup menghormati orang lain dan mengikuti apa Kyainya. Dengan takzim mereka menjalani hidup dengan penuh kepasrahan. Kita acap menyebutnya Kaum Nahdliyin.

Saya menyibak kerumunan untuk menyimak ceramah yang terus menerus mengingatkan tentang pentingnya berbuat baik, tentang pentingnya beribadah. Sesuatu hal sederhana yang barangkali akan dibicarakan kembali di Paingan berikutnya. Namun, orang-orang tetap menyimak dengan serius hingga usai, tetap diam saat ceramah dan pesan-pesan baik dibacakan.

Paingan memang fenomena tersendiri. Orang-orang yang datang mengundang keramaian, keramaian mengundang peluang bisnis, ada gula ada semut, ada orang ada lapak. Maka Paingan lalu identik dengan terbentuknya Pasar Paingan, pasar yang hanya buka saat ada Paingan.

Beberapa tahun ke belakang, Pasar Paingan sempat diusik pemerintah, dikatakan mengganggu estetika kota. Namun, tentu saja sebuah kultur tak bisa dicerabut dari akarnya. Pasar Paingan pun dikembalikan pada asal muasalnya, mengiringi acara Paingan.

Memang kita akan melihat bagaimana sederhananya orang-orang Islam tradisional di Jawa dalam beberapa jam acara Paingan. Bagaimana tawadhu’nya, betapa ikhlasnya dan betapa tulusnya orang-orang demi sebuah ketenangan jiwa.

Paingan di Magelang bagaimanapun tak hanya soal acara rutin, jauh lebih dari itu, Paingan adalah tentang tradisi keislaman yang sudah melekat sekian lama di Magelang.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

6 KOMENTAR

  1. Asik sekali keliling seputaran Alun-alun Magelang. Satu sisi mesjid, sisi lain gereja, sudut lain Klenteng, di tengah-tengah ada bendungan yang ikonik banget.

    Kendala saya eksplore Magelang cuma satu, banyak jalan searah yang tidak sesuai dengan google maps. Hahaha

  2. Ada beragam cara dilakukan oleh masyarakat untuk mencari ridho dan keikhlasanNya, salah satunya adalah Paingan. Mungkin akan ada lagi Kliwonan, Ponan dan lain sebagainya. Cukup sederhana mereka menamakannya, namun sarat makna yang begitu besar.

    Yup selalu akan ada orang-orang yang menjajakan makanannya di setiap acara seperti ini. Itulah ciri khas Indonesia… Salam kenal

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here