Di langit tiada awan, hanya putih sinar terang mentari yang menyengat. Namun, mentari cerah tak mampu menghalau dingin, sapuan tipis salju melewati wajah dan angin dingin menyergap tiba-tiba. Di siang yang terang saya tiba di Shirakawago dalam dingin yang tak padam. Melihat Shirakawago adalah impian yang terpendam selama ini dan ketikat terwujud, rasanya surreal, ini mimpi atau ini nyata?

Desa Shirakawago adalah mutiara bagi area Gifu, sejak 1995 desa ini menjadi menjadi Unesco world heritage site dan mengundang wisatawan dari seluruh dunia untuk mengunjungi Shirakawago. Tak peduli betapa terpencilnya Shirakawago dan butuh berjam-jam perjalanan untuk mencapai desa, pengunjung tetap tak berhenti mengunjungi desa ini.

Konon banyak yang menjuluki Shirakawago adalah desa terindah di Jepang. Apalah itu, sepertinya memang benar adanya. Saya belum pernah mengunjungi seluruh desa di Jepang lalu membandingkannya dengan Shirakawago, tetapi satu hal saya sepakat bahwa desa ini memang indah.

Saya akan mempertanggungjawabkan kata indah untuk desa ini. Desa ini di lembah terkungkung gunung, dengan salju yang memenuhi datarannya di musim dingin. Cahaya mentari menembus pelan-pelan dari leren gunung. Di desa, salju memenuhi hamparan desa bahkan sawah padi pun berubah memutih, pada beberapa bagian salju meleleh perlahan-lahan, menyingkap atap dari rumput, menemani penduduk Shirakawago menyambut pagi.

Angin dingin menghembus dari lereng menuju desa. Menuju Shirakawago memang harus pagi-pagi benar, karena jika tidak Shirakawago akan ramai turis di saat siang demi melihat Shirakawago. Mungkin akan lebih baik jika bisa datang sekitar jam 8-9 pagi, di jam-jam tersebut matahari sedang enak-enaknya.

Saya tiba di Shirakawago dari Takayama, jarak Takayama ke desa ini hanya satu jam perjalanan. Jalur ini jalur populer untuk ke Shirakawago, dari Takayama tersedia bis ke Shirakawago. Namun sebelum sampai di desa, ada titik untuk sightseeing desa Shirakawago dari kejauhan namanya Shiroyama Observatory Deck. Tempat ini terletak di atas bukit dan tempat sempurna untuk menikmati seluruh lanskap Shirakawago.

Setelah menikmati lanskap Shirakawago saya segera turun ke Desa Ogimachi yang menjadi desa terbesar dan pusat wisata utama Shirakawago.. Di desa ada terminal untuk tempat turun naik penumpang. Seluruh bis dan kendaraan bermotor harus diparkir di tempat ini karena di area dalam desa dilarang untuk seluruh kendaraan bermotor.

Di pagi yang berangin sepoi-sepoi, pengunjung belum terlalu banyak yang datang, sebaliknya justru pengunjung yang ingin meninggalkan desa sudah antri di terminal, mereka adalah para pengunjung yang bermalam di desa ini.

Desa Ogimachi  adalah desa para petani dan sudah ada sejak 300 tahun silam. Di tempat ini mereka membangun sistem pertanian yang lestari sejak ratusan tahun hingga kini. Jikab sedang tidak musim dingin, Shirakawago adalah tempat yang subur makmur untuk beragam hasil pertanian.

Ada sebab kenapa orang-orang di sekitar Shirakawago berkoloni dan mengelompok membangun sistem pertanian dan desa seperti ini. Hal ini karena di masa lalu di area ini adalah daerah yang keras, mereka harus berkelompok untuk menaklukkan alam, berkelompok membuat hambatan bisa lebih mudah diatasi dengan bergotong royong. Kelak, semangat gotong royong ini masih bertahan hingga sekarang.

Rumah-rumah di Shirakawago disebut Gassho, dengan atap yang bentuknya runcing ke atas dan sangat miring. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa bentuk Gassho ini seperti bentuk tangan para bhiksu Budha yang sedang berdoa. Ya, para penduduk di Shirakawago ini merupakan para pemeluk agama Budha yang lalu mengimplementasikan simbol-simbol Budha dalam kesehariannya. Namun, tak hanya simbolisasi Budha semata, bentuk Gassho ini ternyata memiliki fungsi untuk menangkal salju. Dengan kemiringan yang curam, gravitasi akan mengusir salju dari atap dan menyeretnya turun ke bawah. Sistem atap inilah yang kemudian dipertahankan dan menjadi ciri khas rumah di Shirakawago.

Untuk memahami lebih dalam tentang sistem rumah di Shirakawago, saya masuk ke Rumah Kanda, salah satu rumah paling tua yang ada di Shirakawago. Dulunya rumah ini adalah rumah keluarga yang digunakan oleh seluruh keluarga, tetapi sekarang diubah menjadi museum. Rumah Kanda ini konon salah satu bangunan paling tua di Shirakawago.

Masuk di Rumah Kanda saya disambut dengan tungku penghangat yang menjadi episentrum rumah ini. Di lantai satu ini tungku penghangat tak hanya berfungsi sebagai penghangat, tapi juga menjadi pusat kegiatan di rumah ini, jika suhu makin dingin, seluruh keluarga berdiang di ruangan yang hangat ini. Tungku di rumah ini menyala terus menerus untuk menghangatkan rumah, asapnya kemudian membikin hitam rangka rumah menjadi sangat legam. Lantai pertama ini umumnya disebut “Oe” dan merupakan ruangan paling luas yang ada di rumah tradisional Shirakawago. Area lantai satu ini menjadi ruang tamu, ruang keluarga, kamar kepala keluarga, dapur, gudang sekaligus toilet.

Beranjak ke lantai dua adalah kamar-kamar bagi anak-anak yang belum menikah juga para pekerja. Kamarnya tentunya lebih sempit daripada di lantai satu dan terbagi menjadi beberapa ruang. Terdapat beberapa peninggalan keluarga berupa alat-alat rumah tangga di lantai ini. Menuju lantai berikutnya, lantai tiga adalah lantai tempat kerajinan dari Shirakawago dibuat yaitu sutra.  Di lantai ini disimpan alat pemintal sutra serta alat-alat pertanian yang berusia ratusan tahun. Shirakawago memang penghasil sutra berkualitas tinggi yang harganya mahal dan diakui di seluruh Jepang. Lalu ada lantai paling atas yang hanya berupa jendela saja dan hanya muat untuk tiga orang.

Tak dinyana, dari rumah yang keliatannya kecil dari luar ternyata ada empat lantai dalam rumah Gassho ini. Rumah-rumah ini seluruh bangunannya tidak menggunakan tembok batuan, melainkan dari kayu dan rerumputan yang ada di sekitar desa. Untuk atapnya yang berasal dari rumput, dibuat lapis demi lapis dan bisa tahan selama 30 tahun tanpa diganti. Pada saat pergantian atap, barulah seluruh lelaki Shirakawago bergotong royong untuk mengganti atap, jumlahnya bisa ratusan dan pergantian atap bisa selesai dalam waktu beberapa hari. Sistem gotong royong inilah yang terus dipertahankan hingga sekarang.

Usai mengunjungi Rumah Kanda saya berkeliling Desa Ogimachi. Kini desa ini memang hidup dari wisata, sejak area Shirakawago ditahbiskan sebagai Situs Warisan Unesco, para wisatawan memang banyak berkunjung bahkan menginap di desa. Area menginap di Ogimachi memang disediakan khusus, para pengunjung bisa merasakan rasanya tidur di Rumah Gassho dan menikmati malam yang tenang di desa ini.

Di desa ini fasilitas wisatanya lengkap. Selain ada penginapan, juga tersedia restoran yang menyediakan menu khas Shirakawago, menu yang berasal dari ratusan tahun silam. Fasilitas umum lainnya juga mudah ditemui. Satu lagi, akses untuk penyandang disabilitas di tempat ini sangat mudah. Bisa dibilang penyandang disabilitas menjadi prioritas di desa ini.

Saya kemudian menuju sisi lain desa ini dengan menyeberangi jembatan gantung yang menghubungkan dua sisi Shirakawago yang dipisahkan sungai. Pengunjung bisa menikmati pemandangan tepi sungai dengan tebing tinggi yang membingkai desa. Di jembatan inilah pengunjung menyemut karena di sisi desa lainnya juga terdapat tempat parkir pengunjung. Jadi pengunjung memenuhi jembatan dari dua arah yang berbeda.

Dari sisi desa inilah saya kemudian menuju area lain Shirakawago. Tak jauh dari desa terdapat rumah tradisional yang sekarang menjadi museum, namanya adalah Rumah Toyama. Rumah ini adalah rumah petani sama seperti di Shirakawago, bedanya adalah yang menghuni tempat ini adalah keluarga besar, tercatat rumah ini pernah dihuni oleh 120 orang di satu waktu yang bersamaan.

Dibangun pada tahun 1827, rumah ini ukurannya berkali lipat dibandingkan dengan rumah-rumah di Desa Ogimachi. Bisa dikatakan rumah ini adalah rumah terbesar di area Shirakawago. Hingga kini rumah ini masih bertahan dan hanya diperbaiki sesekali.

Berbeda dengan rumah di Desa Ogimachi, ruangan di rumah ini banyak sekali. Bisa dikatakan satu keluarga mendapatkan satu ruangan di rumah ini. Barangkali karena pemilik rumah ini menghendaki seluruh keluarga berhimpun menjadi satu, akhirnya dibangunlah rumah ini untuk dihuni seluruh anggota keluarga.

Kini rumah ini menjadi museum. Struktur lantai dan fungsinya sama, Gassho, hanya ukurannya lebih besar. Di lantai satu terdapat toilet, kandang kuda, ruang tamu, ruang keluarga, kamar-kamar, tempat mandi, dapur hingga gudang penyimpanan. Di lantai dua dan tiga juga sama, kamar-kamar berbagai bilik juga tempat untuk membuat sutra.

Rumah ini memang sangat kuat, bahkan setelah hampir dua ratus tahun umurnya. Keluarga Toyama menghuni rumah ini hingga dekade 1970-an, selanjutnya mereka kemudian keluar dari rumah dan tinggal di sekitar rumah ini untuk kemudian menghibahkan rumah ini kepada negara. Oleh pemerintah, rumah ini kemudian dirawat dan diubah menjadi museum hingga kini, saksi sejarah dan warisan arsitektur Shirakawago yang tahan oleh gempuran zaman dan cuaca ekstrim setiap tahunnya.

Di Rumah Toyama inilah kunjungan ke Shirakawago berakhir sudah. Desa ini menawarkan hal yang sangat menarik, pemandangan alam yang indah, sejarah, kuliner hingga kehidupan desa yang amat tenang. Sungguh berada di Shirakawago, hati menjadi senang.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

8 KOMENTAR

  1. Pas lihat foto pertama langsung, wow keren sekali rumah yang ditumpuki oleh salju.
    Kalau dibilang salah satu desa terindah, saya setuju sih. 😀

  2. Ya allah, jgn sampe aku keabisan tiket lg tahun depan kesana :D. Sukaaaak banget liat foto2nya. Kamu ga ke desa yg 1 nya lg mas gokayama? Sama cantiknya katanya.. Aku planning mau ke 2 desa itu.. Beneran ga sabar nunggu january 😀

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here