Beberapa waktu lalu Saya bicara dengan teman yang punya usaha trip operator, Ia bicara banyak tentang kondisi yang terjadi. Bagaimana strugglingnya, marketingnya dan satu yang Ia khawatirkan. Persaingan harga yang makin tak sehat.

Saya mencoba mengerti bagaimana soal banting harga, kompetisi harga, meskipun saya jarang banget menggunakan tour saat jalan-jalan, biasanya saya urusi semua sendiri. Tapi saya memahami bagaimana apa yang teman khawatirkan bahwa makin murah harga paket tour pasti selalu ada yang dikorbankan.

Pada satu titik itu Saya sepakat.

Di suatu kesempatan lain, ada kolega di kantor yang menanyakan paket ke Jepang yang bagi saya pun cukup murah. Saya hanya bilang kalau begini mending urus semuanya sendiri. Kolega ini tak mau repot katanya akhirnya ikut paket.

Pasca liburan dia bilang, fasilitasnya kurang ini, kurang itu, di tempat cuma senyum sebentar. Saya cuma bilang, jangan mengeluh, itu kan keputusanmu sendiri.

Jika ingat tour travel serba murah seperti itu saya jadi ingat Umroh First Travel yang membuat dua pemiliknya terjebak kasus hukum. Dulu First Travel gila-gilaan jor-joran promo umroh dengan harga murah meriah, banyak yang ikut. Ternyata di balik itu semua ada skema segitiga macam skema Ponzi yang membuat paket jadi murah.

Skema yang ujungnya jadi bencana karena banyak jamaah tak jadi berangkat, lebih parah lagi perputaran uang dari pendaftaran umroh justru digunakan untuk keperluan pribadi.

Saya tak bilang yang murah-murah pasti skemanya buruk, tetapi satu yang jelas, jika ada sesuatu yang murah maka pasti ada sesuatu yang berkurang. Apapun itu.

Ana Rego Ana Rupa

Jika ingin melihat bagaimana sistem harga bekerja, maka sederhananya bisa mengikuti falsafah orang Jawa. Ada harga ada wujudnya. Secara mudahnya ya harga sebanding dengan kualitas. Untuk semua hal saya sepakat dengan falsafah ini.

Barangkali memang ada satu dua jenis barang atau jasa yang murah dan fasilitasnya bagus. Tetapi ya bagaimanapun yang mahal selalu menawarkan kelebihan.

Bicara paket wisata, jika ingin murah maka saran saya coba cek dan telaah satu per satu fasilitasnya seperti apa. Breakdown satu-satu termasuk jadwalnya, cek review dari pengguna, cek rekam jejak tripnya, cek semuanya sampai lengkap. Hal ini agar tidak terjebak di belakang hari. Soalnya banyak sekali kasus trip-trip berembel-embel murah tapi berujung kontraprestasi.

Pernah dengar kasus udah bayar DP pengelola tripnya lari? Pernah dengar kasus ditinggal ngilang oleh leader tripnya? Pernah dengar kasus fasilitasnya yang diberikan berbeda? Kasus seperti itu banyak sekali dan berulang.

Jadi intinya sih saya pengin agar tak gampang tergiur embel-embel murah. Jangan sampai deh trip yang awalnya senang-senang tetapi berarti bencana karena salah memilih operator tripnya.

Persaingan Harga

Dengan gelembung atas minat wisata yang tinggi mau tidak mau akan menimbulkan persaingan harga antar operator. Tentu yang senang konsumen, tetapi apakah pernah memikirkan imbas harga murah ini?

Pertama, dalam dunia trip seperti ini yang bekerja tak hanya operator trip. Operator trip hanya perpanjangan tangan, ada banyak tangan-tangan yang bekerja mulai dari penginapan sampai driver misal.

Dalam sebuah percakapan, kawan saya yang driver juga mengatakan bahwa para driver dan rental kendaraan juga terlibat persaingan harga dengan saling berani mengambil marjin yang tipis, yang penting jalan. Padahal dengan marjin ini sebenarnya risikonya cukup besar, misalnya untuk menutupi maintenance kendaraan atau bayaran driver yang tidak sebanding. Bayangkan jika marjin yang tipis itu membuat kendaraan tak terawat dengan baik atau bisa juga driver dipaksa bekerja dengan bayaran yang rendah.

Tak hanya driver, banyak hotel atau penginapan mulai terlibat perang harga yang akhirnya merugikan dan membuat mereka yang tak bermodal besar terpaksa gulung tikar. Habis tenaga melawan pertarungan harga.

Kedua, persaingan harga membuat kondisi tempat wisata justru semakin rentan. Dengan semakin banyak turis, semakin banyak permintaan, semakin banyak yang mengunjungi tempat tersebut.

Masalahnya adalah di Indonesia, orientasi wisata masih soal jumlah kunjungan. Makanya kadang suka muncul inovasi aneh-aneh di tempat wisata demi angka kunjungan. Contohnya kampung warna warni yang sekarang ada di banyak tempat, lalu tulisan tempat besar-besar sekali sampai menutupi pemandangan, ada juga model-model anjungan selfieHal-hal itulah yang mewarnai wisata kita sekarang.

Sejak berkecimpung di dunia travel blogger 2011 gejala ini tak berkurang, bahkan ada tendensi bertambah terus. Harusnya Indonesia sudah bergerak ke arah sustainability tourism ya padahalmah. Bagaimana agar wisata bergerak berkelanjutan bukan hanya soal jumlah kunjungan.

Okay, mungkin poin kedua ini hanya argumen saya semata dan tentunya perlu ada penelitian lebih lanjut, tetapi paling tidak muncul gejalanya. Makin ramai suatu tempat maka tawaran trip ke tempat tersebut mulai muncur bak jamur di kaki pada saat musim hujan. Berlomba-lomba mencari yang terdepan.

Lantas Bagaimana?

Biasanya persaingan harga ini akan menuju titik jenuh sampai muncul ekuilibrium. Masalahnya sampai kapan? Persaingan harga semacam ini sekarang macam peribahasa gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah. Konsumen girang tetapi banyak yang menjerit.

Praktik macam ini juga memunculkan banyak trip operator yang tak memenuhi kaidah. Semisal apakah guidenya punya sertifikat? Apakah fasilitasnya terjamin? Bagaimana kualitas makanannya? Bagaimana pengaturan waktunya dan sebagainya.

Saya kira dari sisi pengguna jasa bisa mulai dengan menghindar dari godaan persaingan harga dengan memilih dengan hati-hati trip operatornya. Sementara dari sisi pengelola trip mulailah dengan mengenakan harga yang pantas untuk setiap tripnya sembari memberi kualitas.

Somehow, mengajari apa arti kualitas pada konsumen itu penting sekali dibandingkan mengejar peserta trip sebanyak-banyaknya.

Tabik.

 

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

8 KOMENTAR

  1. Di setiap tempat permasalahan seperti ini muncul mas. Di Karimunjawa juga sudah terlihat perang harga. Saya punya saudara yang memiliki paket wisata, dan sering curhat ke saya perihal ini. Saya bilang ke mereka, kalau yang lain banting harga, kamu harus bisa memberikan pelayanan lebih agar harga paketanmu tidak turun. 🙂

  2. Nampaknya para pengusaha travel harus banyak belajar bagaimana retorikanya alm. Steve Jobs deh. Yang bisa ngeyakinin mayoritas orang di seluruh dunia untuk beli Iphone meskipun harganya rada tidak masuk akal. Lagipula banting2an harga adalah salah satu kebodohan dalam berbisnis. Pengusaha yang masuk dalam permainan ini sama saja seperti sedang menggali kuburan bisnisnya sendiri. Untuk itu, strategi terbaik adalah dengan meningkatkan pelayanan, fasilitas, dan lain-lainnya dari bisnis yang tengag diurus, bukan malah ikut nurunin harga.

  3. soal inovasi aneh2 di tempat wisata, ini setuju banget… Sebagai contohnya di Sumatera Barat, pertama kali datang dulu, lembah harau masih banyak sisi2 alaminya yang ciamik bgt,.. Sekarang, dimana2 ada tempat2 kekinian yang justru merusak keindahan alamnya sendiri. Dan mirisnya, mayoritas pengunjung spertinya lebih menyukai itu hiks..

    -Traveler Paruh Waktu

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here