Bapak Arief Yahya,
Saya membuka surat ini dengan kutipan kalimat Bapak. “Maaf, Malaysia Tidak Ada Apa-apanya.”
Setuju pak, Malaysia itu punya apa pak? Budaya saja mengklaim punya kita, lagu saja main klaim, sengketa pulau dimenangkan lalu dibangun resort yang bagus, sekarang pulau itu jadi destinasi wisata bawah air populer di Malaysia.
Malaysia punya apa sih?
Malaysia punya keseriusan membangun wisatanya pak. Malaysia tidak hanya soal bagaimana mempromosikan, branding Malaysia Truly Asia lebih bergema daripada jargon Indonesia yang baru diluncurkan akhir tahun ini. Di sisi ini, Indonesia sudah tertinggal beberapa tahun. Jika serius soal branding, ketertinggalan ini bisa dikejar. Soal branding jika benar-benar dibenahi, saya yakin Indonesia bisa menyalip soal branding Indonesia.
Karena Bapak bilang, Indonesia punya apa yang Malaysia tidak punya.
Tapi lihatlah bagaimana Malaysia mengelola wisatanya pak. Jalan yang mulus menjangkau daerah-daerah wisata. Kebersihannya, kawasan yang tertata rapi, sampai tarif kunjungan yang jelas. Bagaimana hendak mempromosikan jika fasilitas yang dimiliki tidak menunjang. Ibarat kata kita mempromosikan barang bagus tapi rupanya hanya bungkusnya saja yang bagus, isinya tidak. Justru malu jadinya pak.
Dalam hal pengelolaan wisata, Malaysia lebih sustainable daripada Indonesia. Promosi wisata diikuti dengan pengelolaan kawasan yang terencana. Bandingkan saja pak, Malaysia hanya punya 1 gunung yang menjadi favorit pendakian, Kinabalu. Indonesia punya ratusan gunung yang bisa didaki.
Tapi Kinabalu diatur dengan begitu cermat. Pendaki nyaman, gunung pun bersih dan aman. Tarif standar, larangan dan peraturan yang jelas. Mereka memiliki lodge-lodge yang nyaman. Satu sisi pendaki banyak yang datang tapi di sisi lain lingkungan terjaga dengan baik. Bagaimana soal mendaki gunung di Indonesia? Mendakilah satu gunung saja Pak dan mungkin Bapak pasti akan melihat satu dua coretan vandal.
Ini bukan soal saya atau kita punya apa dan mereka tidak punya apa-apa. Ini soal bagaimana saya atau kita mengolah apa yang kita punya.
Di Malaka, salah satu atraksi yang paling menarik adalah berkeliling kota dengan rickshaw.
Rickshaw itu kan hanya becak pak, tapi becak disulap dengan pernak-pernik, kemudian sound system, dilegalkan dan diseragamkan pelayanannya. Jika becak di Indonesia juga banyak sebenarnya kan pak?
Malaysia bisa mengemas sesuatu hal yang sederhana menjadi luar biasa dan dikesankan unik. Indonesia, hal yang demikian dianggap biasa saja dan dimarjinalkan.
Sepertinya itu bedanya pak. Malaysia memang tidak ada apa-apanya dibanding Indonesia, tapi mereka menseriusi sesuatu yang sederhana.
Keterlibatan Masyarakat
Sebenarnya keterlibatan masyarakat di Pariwisata bisa menjadi kekuatan Indonesia. Banyak komunitas-komunitas yang mencoba berdikari, memberi jalan keluar dan mencoba memperkenalkan wisata di daerahnya masing-masing tanpa bantuan dana dari pemerintah.
Initiatif seperti itu ada pak dan banyak sekali di daerah-daerah. Kenapa tidak sekalian dari negara merangkul masyarakat untuk bersama-sama membangun pariwisata di daerah mereka. Barangkali memang Kementerian bapak adalah yang berwenang soal pariwisata di Indonesia, tapi masyarakat memiliki hak untuk menikmati hasil dari pengembangan pariwisata tersebut.
Yang saya khawatirkan adalah justru masyarakat hanya jadi penonton di daerahnya sendiri. Wisata yang berkembang pesat malah menyisakan masyarakat dalam ketertinggalan.
Bapak Menteri bisa melihat Bali. Bagaimana masifnya pengembangan pariwisata membuat banyaknya kapital yang masuk dan itu membuat masyarakat perlahan demi perlahan tersingkir.
Hotel mewah makin banyak berdiri tapi tidak sebanding jua dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Mega proyek direncanakan dibangun, tapi tanpa melihat dampaknya pada masyarakat. Bukankah masyarakat yang terkena imbas pertama kali dari sebuah tempat wisata?
Di banyak daerah banyak organisasi yang mengembangkan wisatanya, mereka ingin masyarakat berkembang bersama wisata di daerahnya. Mereka ingin bertanggung jawab dengan wisata yang mereka miliki. Bapak harus mendukung mereka, jika selama ini mereka berjuang sendirian tanpa didukung keberadaan negara, sekaranglah saatnya untuk menyokong mereka.
Hal-hal yang bagus tentulah harus didukung Pak, hal yang bisa menyejahterakan masyarakat harus dilanjutkan.
Saya paham Bapak mungkin ingin meningkatkan branding dan positioning, dengan promosi. Tapi jika hanya promosi yang dikerjakan maka akan berujung pada eksploitasi dan komersialisasi pak.
Takutnya justru apa yang dilakukan sekarang mirip apa yang bangsa kolonial dulu lakukan terhadap bumi Indonesia. Jika dulu eksploitasi alam demi keping-keping gulden sekarang eksploitasi alam untuk wisata. Jika itu dibiarkan, maka yang terjadi sebenarnya sama, kerusakan alam. Sifatnya sama hanya beda skala.
Jika alam sudah rusak, maka Indonesia akan punya apa? Bukankah jika wisata Indonesia mengandalkan alamnya, maka kita, orang Indonesia juga-lah yang harus benar-benar menjaga alamnya. Bukan justru diumbar dan dibiarkan dijamah begitu saja.
Jangan sampai promosi berlebihan tanpa ada edukasi Bapak. Jangan sampai masyarakat hanya termangu melihat wisatawan maju tanpa mereka turut menikmati kesejahteraannya.
Ego Sektoral
Birokrasi menjadi sesuatu yang rumit dalam pengelolaan pariwisata. Ada ruang yang tumpang tindih, ada irisan kewenangan satu instansi dengan instansi lain.
Masalahnya menjadi kompleks jika dikaitkan dengan pariwisata atau diatasnamakan pariwisata. Ada Cagar Alam jadi tempat wisata, ada Peninggalan kerajaan kuno terkikis tambang dan itu adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Saya jadi teringat bagaimana ego sektoral disingkirkan oleh negara tetangga ketika mereka bicara promosi pariwisatanya.
Bapak mungkin perlu mencontoh Vincent Tan, ketika konglomerat Malaysia itu menjadi pemilik klub sepakbola Cardiff City dan sempat bermain di Liga Premier Inggris 2013/2014, sponsor jersey mereka adalah Visit Malaysia. Bahkan ketika klub ini terkena relegasi dan berlaga di Divisi Championship, Visit Malaysia tetap terpampang di dada setiap pemain mereka.
Atau ketika Tony Fernandes menjadi pemilik Queen Park Rangers FC yang juga pernah berlaga di Liga Premier Inggris. Ada tulisan Malaysia Airlines di jersey pemain selain Air Asia. Jadi walaupun Tony Fernandes menjadi pemilik klub, tapi ia bekerjasama dengan Malaysia Airlines untuk mensponsori klubnya. Kolaborasi ini membuat setidaknya ada tulisan Malaysia tercetak besar sekali di jersey.
Betapa ada semangat untuk turut memperkenalkan Malaysia di mata dunia.
Sementara Indonesia punya Garuda Indonesia yang sekarang menjadi sponsor Liverpool dan brand ini terpampang di jersey latihan. Mungkin apabila ego sektoral disingkirkan, bisa jadi musim depan ada tulisan Indonesia di Anfield? Atau Garuda Indonesia menjadi sponsor utama.
Vincent Tan dan Tony Fernandes menyingkirkan ego mereka dan membuat Malaysia dikenal dunia lewat tayangan sepakbola. Ribuan bahkan mungkin sampai jutaan mata akan mengeja pelan-pelan Malaysia.
Tapi tak hanya itu saja Bapak.
Saya jadi ingat bagaimana kemudian Pemerintah Malaysia mensupport Air Asia sampai-sampai membangun bandara khusus Low Cost Carrier yang ukurannya maha besar, mungkin yang terbesar di Asia Tenggara.
Maka Kuala Lumpur menjadi penghubung utama untuk rute-rute Air Asia ke berbagai belahan dunia. Air Asia sendiri menjadi pilihan banyak orang untuk bepergian dengan murah.
Tapi masalahnya bukan itu Bapak.
Malaysia menjadi hub, dengan demikian orang-orang akan masuk ke Malaysia setiap pindah pesawat ke rute lain. Jika delay maka penumpang bisa berjalan-jalan sebentar ke Kuala Lumpur atau wilayah lainnya ke Malaysia. Air Asia juga menjadi jembatan yang sangat mudah bagi orang-orang untuk ke Malaysia.
Bandingkan dengan Indonesia Bapak.
Belum ada Low Cost Carrier yang bisa membawa banyak orang ke Indonesia. Bahkan dorongan dari pemerintah untuk mewujudkan maskapai berbiaya murah yang bisa menjadi jembatan orang-orang ke Indonesia pun belum tampak.
Maka kuncinya adalah lepaskan Ego Sektoral Bapak. Jangan mentang-mentang Kementerian Pariwisata maka urusan wisata menjadi hak utama kementerian yang Bapak pimpin.
Pengembangan wisata juga terkait kementerian lain ataupun organisasi lain.
Bayangkan pak, jika Bapak menggandeng Pak Ignatius Jonan untuk mengembangkan kereta api wisata dari Jakarta sampai Banyuwangi. Kereta yang akan melalui titik-titik wisata penting, Bandung-Jogja-Malang-Banyuwangi dan menjadi jembatan ke Bali. Kereta yang mengakomodasi pejalan berbudget rendah dilengkapi tempat tidur. Bukan kereta wisata supermewah yang dimiliki oleh PT KAI seperti sekarang.
Saya membayangkan, kereta ini pasti akan mengalahkan kereta lintas negara Singapura sampai Thailand. Panorama sepanjang jalur kereta dari Jakarta sampai Banyuwangi tak tertandingi pak.
Saya memimpikan, Bapak merangkul banyak pihak untuk sama-sama melepaskan ego sektoral dan mengembangkan dunia pariwisata bersama-sama.
Soal Travel Blogger
Saya senang ketika Bapak menyebut Travel Blogger sebagai pahlawan tanpa tanda jasa di dunia wisata. Satu sisi itu Bapak benar, selama ini Travel Blogger berkontribusi banyak sekali, dengan berdikari, hanya karena kecintaan mereka terhadap Indonesia.
Ajang yang Bapak gagas, mengadakan Travel Blogger Awards juga saya sambut dengan salam hormat. Dalam hal ini Bapak mengakui eksistensi kami, setidaknya kami merasa dihargai dengan layak.
Memang benar Travel Blogger menyumbangkan banyak sekali tulisan untuk pariwisata Indonesia.
Hanya sayangnya memang Kementerian Bapak sedikit terlambat merespon apa yang Travel Blogger lakukan untuk Indonesia. Sayangnya juga, Kementerian yang Bapak pimpin sedikit bias. Belum semua Travel Blogger terakomodasi, memang mungkin tidak semua akan terakomodasi.
Ada banyak sekali Travel Blogger di Indonesia. Bukan hanya Travel Blogger yang populer dan yang sering Bapak undang.
Dari ujung Barat ke ujung Timur setiap hari ada tulisan baru tentang wisata di Indonesia. Bapak mungkin perlu tahu ada Travel Blogger dari ujung barat Indonesia yang berjuang dengan konservasi alam di daerahnya, ada juga seorang jagawana yang mengedukasi masyarakat tentang bagaimana seharusnya berwisata dengan menghormati alam, atau ada juga Travel Blogger yang concern dengan sejarah dan menggugah minat pada sejarah bangsa.
Ada banyak sekali Travel Blogger di Indonesia, bukan yang itu-itu saja dan saya yakin mereka semua siap menyokong setiap program pengembangan pariwisata yang Bapak impikan.
Masalahnya cuma satu. Beri mereka kesempatan yang adil. Itu saja
Sekian dari saya Bapak. Setelah membaca surat dari saya, silakan membaca Blog dan artikel saya.
Izinkan saya menjadi pengingat, orang yang mengkritisi kebijakan dan barangkali memberi solusi pada Bapak dan Bapak pun tentunya boleh menegur saya, boleh mengkritisi saya. Saya tahu Bapak adalah orang yang berpikiran terbuka dan mau menerima saran dan bersedia membuka ruang diskusi karena itulah yang sudah Bapak tunjukkan, karena itulah semangat pemerintahan Baru ini.
Pada akhirnya saya ucapkan selamat Bekerja Bapak, semoga Pariwisata ke depannya menjadi kebanggaan Indonesia.
Saya pun akan turut mendukung Bapak. Demikian Surat Terbuka Kepada Menteri Pariwisata.
Mari kita Kerja! Kerja! Kerja!
Tabik
Farchan Noor Rachman
PNS / Travel Blogger di Efenerr.com
Referensi
1. Menpar Arief Yahya: Maaf, Malaysia Tidak Ada Apa-apanya
Post ini dalam rangka Posting Bareng Surat Terbuka Untuk Menteri Pariwisata. List tulisan lainnya :
Bobby Ertanto – Dear Menteri Pariwisata Indonesia
Danan Wahyu – Repackage Visit Indonesia Year
Firsta Yunida – Thoughts and Testimonials: Tourism in Indonesia
Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal Untuk Pariwisata Indonesia
Lenny Lim – Surat Untuk Menteri Pariwisata
Matius Teguh Nugroho – Merenda Asa Untuk Pariwisata Kota Indonesia
Olive Bendon – Indonesia, Belajarlah pada Malaysia
Parahita Satiti – Surat Untuk Pak Arief Yahya
Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia, Dan Segala Problematikanya
Titiw Akmar – Secercah Asa Untuk Pariwisata Indonesia
Vika Octavia – Pariwisata Indonesia; Telur dulu, atau Ayam dulu?
Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat Untuk Menteri Pariwisata
Yofangga Rayson – Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
Wih, ini cukup menohoklah, Chan. Pe-er lama yang harus terus diulang-ulang..
Terima kasih mbak. 🙂
PR seharusnya dikerjakan sampai tuntas ya.
Kak Chan, tulisannya kritis khas cah STAN, hehehe…
Aku suka bagian travel-blogger. Setuju, yang diundang kok ya itu-itu saja ya..
Sore Kak Titi! 🙂
Duh jadi malu almamater disebut.
Hehe. Mungkin apa memang karena kecenderungannya seperti itu ya?
Setuju. Thailand & Malaysia punya keseriusan dalam mengurus pariwisatanya. Belakangan Filipina juga mulai menghentak. Itu yang mereka punya dan kita tidak.
Semoga bukan hanya sang bapak membaca tulisan ini, tapi juga semua pihak yang punya kepentingan dan tanggung jawab akan kemajuan pariwisata Indonesia
Selamat Pagi Mas. 🙂
Itu dia mas. Sebenarnya kementerian tidak akan bisa bergerak sendiri tanpa dukungan masyarakat.
Semoga sedikit surat ini bisa menjadi gagasan untuk memajukan pariwisata.
Ini luar biasa sekali bang.. Mantap tulisannya, semoga bisa dibaca oleh yang bersangkutan dan tentunya bisa menjadi bahan koreksi untuk pariwisata di Indonesia agar berbenah dan mendunia lagi.
Terima kasih Dikky. 🙂
Tentunya itu harapan kita di 2015 ini ya.
dari tadi pengen nulis yang kayak gini, tapi nggak bisa keluar, akhirnya sebagian besar terwakilkan disini. Semoga dibaca sama si pak mentri beneran 😀
Sepertinya kita memandang masalahnya sama ya? Mungkin memang permasalahannya serupa ya. 🙂
Nice written!
The day he was assigned as Ministry of Tourism, I made a similar letter to him.
Working closely with tourism sector for SE Nations has put me on dilemma if we talk about tourism in Indonesia
In the end, I just can say C’est La Vie. Sound desperate but yes.
Best,
ah great.. 🙂
anyway, muchas gracias.
best for you too..
Sebenernya permasalahannya klasik banget ya kak
tapi kok ya kitanya gak sadar-sadar 🙁
ngomongin masalah becak, masih banyak juga orang kita yang malu naik becak lho kak, lha kita sendiri gak menghargai gimana bisa jual ke orang
kelamaan dijajah kali ya, mentalnya jadi gak sehat
pemerintah memang harus diingatkan. 🙂
dan soal malu naik becak sepertinya memang kita sudah sangat inferior..
Mudah-mudahan tulisan ini sampai ke Pak Menteri. Saya setuju sekali masih banyak PR yang harus dilakukan terkait pengelolaan pariwisata Indonesia, tidak hanya sekedar promosi. Kebersihan menjadi salah satu masalah klasik yang sampai sekarang tidak pernah tuntas. Kembali ke pernyataan Pak Menteri, bahwa Malaysia tidak punya apa-apa. Setidaknya mereka punya cara untuk mengelola tempat wisatanya dengan benar.
Amin kak Bama. 🙂
Memang itulah kelebihan Malaysia dibandingkan Indonesia. Soal itu kita memang harus benar-benar belajar..
permasalahan wisata dibawah permukaan, di daerah, di pelosok justru lbh rumit dari sekedar kemasan, chan
mental sikap dan etos benar2 menjadi PR utama bagi semua pihak yang akan terlbat dalam pariwisata tsb
semangat meningkatkan wisata kadang kebablas menjadi semangat menjual diri, sehingga lupa jati diri sendiri
travel blogger yg itu-itu saja, yg udah populer, mungkin kadang ada baiknya berdiam lbh lama mendampingi daerah dalam membangun pariwisatanya
Bang Yud.
Aku sepakat padamu. 🙂
Memang jika ia bisa mengembangkan daerahnya, ia bisa disebut travel blogger sejati mungkin ya?
masyarakat Borbudur (Megelang) juga disuarakan nggih, masak ribuan wisatawan berkunjung masyarakat sekitar tak makmur-makmur…salahnya dimana?
itu dia Mas. 🙂
Borobudur mungkin akumulasi yang terus terulang dari tahun ke tahun.
Semoga surat ini sampai ke beliau & semua pihak bisa bersama2 menyelesaikan PR besar yg selama ini belum terselesaikan.
Karena sesuatu yg dimulai haruslah diselesaikan..
Amin Mas Donny. 🙂
nggak takut disangka nynyiran kemenpraf terus di black list ngga dikasih trip gratisan
kita bikin Kemenpar tandingan nanti kak.. 🙂
Ibarat anak panah, tulisan ini melesat dan menghunjam titik pusat sasaran. Namanya saja surat terbuka, semoga semakin banyak “Efenerr-efenerr” lainnya yang juga kritis demi masa depan pariwisata Indonesia lebih baik 🙂
amin. 🙂
menohok tapi emang bener sih kak 🙁
semoga si Bapak baca tulisan kalian yang keren-keren ini
Halo Dita. 🙂
Aminn. 🙂
Aku paling suka baca suratmu :).. Jelas bgt isi dan pesannya.. mudah dibaca dan ga berbelit2 mas 😉
Terima kasih mbak! 🙂 semiga pesannya sampai..
Aku bisa ikut merasakan emosimu, mas 🙂
Mungkin karena merasa memiliki banyak hal dalam jumlah berlimpah, kita jadi tidak memikirkan bagaimana mengelola dan menjaga sumber daya tersebut. Singapura dan Malaysia sadar mereka tidak memiliki apa2, maka mereka bekerja keras mengelola dan menjaga objek-objek wisatanya. Bahkan sampai menciptakan sendiri objek wisata yang baru. Hal yang patut kita pelajari dari mereka.
Nah itu dia bedanya.
Kita (Indonesia) merasa punya segala jadi malah effort untuk menjaga menjadi berkurang.
Jadi mungkin beranggapan, ah masih ada yang lainnya.
Menyedihkan sebenarnya.
mungkin tdk abang aja yg merasakan nya mungkin semua pengiat pariwisata mungkin iya tinggat induvidu tp apa yg kita sdh berikan untuk indonesia kita tinggal mengolah nya sja akan tetapi ada beberapa daerah yg belm bisa nahh kita sebagai masyrakat yg mengerti ini kita bantu pemerintah pusat maupun daerah sehingga yg di inginkan abang bisa di laksanakan jd kita bangun bersama pariwisata indonesia bang….
Setuju mas hanung.
Jika kita bisa bantu Pemerintah kenapa tidak?
ini lg ngetrend ya nulis surat cinta buat pak Arief, hihihi…udah ada yg dibalas belom kayak yg ke pa jonan? :p
sepertinya surat cinta yang tak berbalas kak. :))
sayangnya mentri pariwasata dg mentri perhubungan kurang kerja sama
tiket pesawat LCC pun sekarang diatur 40%. makin mikir lagi orang-orang utk traveling :((
seharusnya memang bisa mengesampingkan ego sektoral. 🙂
tapi seharusnya jika tidak ada tiket LCC, kita bisa makin kreatif untuk melakukan perjalanan.
Jadi inget obrolan sama salah satu pelaku pariwisata di Bali.
Itu semua yang dipromosiin udah siap belum kedatangan tamu. 😉
Chan, surat ini bagus.. (tumben gw bisa bertahan baca tulisan lo. Biasanya udah puciiiingg duluan, harap maklum ilmu cetek. Hahaha..)
Semoga si Bapak baca semua suratnya satu-satu ya, bukan rangkuman.
Yuk mari kerja!
Makasih kak first!
Yuk Kerja!
sebagai praktisi tour wisata, kami sangat setuju tulisan ini.. semoga njenengan diangkat jadi staff khusus menteri pariwisata.. 😀
amin mas!
Kepada YTH Bapak Mentri Pariwisata .. saya atas nama masyarakat Maluku Utara , dgn kesederhanaan mengajukan permintaan dukungan untuk mewujudkan daerah kadaton Ternate menjadi situs warisan dunia dengan adanya “Mahkota kesultanan Ternate” bisakah kami menyuarakan ini lewat kementrian Pariwisata ke Badan dunia PBB dalam Situs Warisan Dunia UNESCO (UNESCO’s World Heritage Sites) untuk program Warisan Dunia internasional yang dikelola UNESCO World Heritage Committee, Sebuah Situs Warisan Dunia adalah suatu tempat Budaya dan Alam, serta benda yang berarti bagi umat manusia dan menjadi sebuah Warisan bagi generasi berikutnya… kami sadar tidak lah mudah mewujudkan hali ini dengan demikian sudilah kiranya Bapak memberikan saran dan dukungan kepada saya untuk menambah warisan dunia yang berasal dari tanah air Indonesia, karena sudah 8 warisan dunia yang telah di akui di Unesco , kami berharap peninggalan tak ternilai “Mahkota kesultanan Ternate” menjadi warisan dunia ke 9 dari mewakili Nusantara di Dunia… terima kasih sebelumnya
Nama : Rudianto Sabur
Email : rudi.sabur.skamining@gmail.com
Hp : 0823 0495 0408
Setuju mas dengan tulisan dan ulasa yang dikemukakan disini, memang Indonesia itu punya segalanya, tp tidak bisa mengelolanya dengan baik karena kurang adanya koordinasi yang baik antara pusat dengan daerah dan lebih menonjolnya ego sektoral di masing2 instansi pemerintah yang seharusnya saling bekerjasama untuk mensukseskan pariwisata. seolah-olah semua beban mengenai target kepariwisataan menjadi beban dari Kementerian Pariwisata, sedangkan pengelolaan pariwisata itu tidak bisa berdiri sendiri dan hanya bisa maju apabila saling bekerjasama dan mengesampingkan ego sektoral.
Semoga ke depannya pariwisata Indonesia bisa lebih maju lagi…
amin mas!
efenerr…. eh, benerr!
tulisan nya keren, mas bro!
Terima Kasih. 🙂
[…] Vika Octavia – Pariwisata Indonesia : Telur dulu atau Ayam dulu? Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya Titi Akmar – Secercah asa […]
[…] Indri Juwono – Peduli Budaya Lokal untuk Pariwisata Indonesia Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka untuk Menteri Pariwisata Rijal Fahmi – Pariwisata Indonesia dan Segala Problematikanya Titi Akmar – Secercah asa untuk […]
yg ditulis disini memang benar adanya.sangat setuju
Terima kasih. 🙂
[…] Surat Untuk Menteri Pariwisata. Silahkan kunjungi surat lainnya di: Farchan Noor Rachman – Surat Terbuka Kepada Menteri Pariwisata Wira Nurmansyah – Sepucuk Surat Untuk Menteri Pariwisata Rijal Fahmi – Pariwisata […]
Cuma berharap pak menteri bisa mengatur beberapa kendala di daerah. Termasuk transportasi dan besarnya pungli di lapangan. Kadang biaya masuk tempat wisata ga wajar. Apalagi jika ada parkirnya
Betul, Mas.
Namun itu tentu harus koordinasi dengan pihak lain.
wooww 2014 ternayta udah ada surat terbuka. dan di akhir masa jabatan, ada surat terbuka yg lebih menohok kemarin itu.
hehehe benar!