tulisan ini pernah dimuat di UMU Magazine edisi Agustus – September 2011.

Saat itu saya kelas 3 SMP, tahun 2001. Masih ingusan dan baru mengerti cinta monyet. Tapi saya sepertiya tidak normal untuk anak seusia saya, di saat yang lain mulai belajar pacaran, saya belajar mencintai alam dan petualangan.
Pramuka yang saya ikuti ketika SMP adalah satu-satunya wadah untuk segala macam keinginan saya tentang hal-hal berbau petualangan. Disini, saya belajar hidup di alam bebas. Sampai suatu ketika, kalau tidak salah saat libur caturwulan, teman di pramuka mengajak saya naik Merbabu. Tanpa pikir panjang, langsung saya iyakan ajakannya.
Walau belum izin orang tua, tapi saya sudah dalam euforia. Ternyata apa yang saya khawatirkan terjadi, orang tua melarang saya dengan alasan saya masih smp. Bah, tekad sudah bulat! Seminggu saya tidak jajan. Akhirnya pada akhir pekan, tanpa izin orang tua saya nekat kabur dari rumah menuju Merbabu, bergabung dengan teman saya tadi.
Mendaki dalam keadaan tidak punya uang dan minim perlengkapan, terasa menyedihkan. Saya ingat betul, saya hanya punya celana kargo tentara pemberian paman, sendal sepatu merk Neckermann. Jaket gunung? Boro-boro, harganya mahal. Alhasil saya pakai jaket parasit dengan tulisan di punggung “Dealer Motor HONDA.”
Selain itu saya juga bawa kaos kaki, sarung tangan pramuka, kaos 2 buah, dan handuk. Lalu saya membekali diri dengan ponco yang saya ambil diam-diam dari motor orang tua saya. Terakhir, saya bawa 2 bungkus mie instan, 2 butir fit up dan 2 botol minum ukuran 1 liter. Sedangkan tas ransel yang saya pake adalah tas hijau tentara pemberian ayah, yang di bagian punggung masih ada besinya dan jika digendong bisa menyebabkan lecet di bahu.
Dengan tekad membara saya menuju Merbabu! Perjalanan dimulai jam 4 sore. Kami carter angkot menuju Wekas, berjejalan 15 orang didalamnya. Perjalanan memakan waktu 1, 5 jam. Menjelang maghrib kami sampai Wekas dan segera naik ke base camp. Saya lupa nama kampungnya, tapi itu kampung terakhir di lereng Merbabu.
Disana saya pesan nasi dan telur dadar, kalau gak salah harganya 1500 rupiah, bonus teh manis. Setelah isi perut, ibadah dan istirahat, saya dan rombongan memulai pendakian. Sekitar jam 9 malam kami naik, dengan personel mayoritas anak SMP. Hanya ada 2 anak SMA, merekalah yang jadi pemandu.
Kami tak punya alat penerang memadai seperti sekarang, yang kami bawa hanya senter bergagang aluminium ber-baterai besar 2 biji yang setiap 5 menit mati. Hanya ada 3 senter, pastilah kami merayap-rayap dalam kegelapan. Kabut mulai turun, tambah gelaplah suasana.
Saya mulai kedinginan, apa daya tak punya penghangat memadai. Jaket dealer motor saya rupanya tidak tahan air, akhirnya saya lepas saja, dan saya hanya memakai kaos malam itu. Masalah lain ada di alas kaki, saya piker Neckermann itu sandal gunung yang tangguh, rupanya solnya licin dan membuat selip. Akhirnya saya putuskan menggantinya dengan sendal jepit.
Merayap perlahan, kami sampai di pos 1 setelah sekitar 2 jam perjalanan. Istirahat barang sejam, kami lanjut ke pos 2. Cuaca makin mendung dan pemandu kami di depan kehilangan arah. Dia menyuruh saya dan teman-teman berteriak untuk mencari bantuan. Akhirnya ada yang menyahut dan menyalakan senter. Kami menuju arah cahaya itu, rupanya mereka adalah pendaki dari UGM.
Setelah peristiwa kehilangan arah itu, kami lebih hati-hati dan berusaha menjaga jarak dengan rombongan
depan. Tapi kami tetap ketinggalan, maklum kami pemula. Lagi-lagi kami kesasar, pemandu di depan tidak tahu posisi kami dimana. Akhirnya pemandu saya nekat mengeluarkan parang. Ya parang, bukan pisau gunung dan membuka
jalan. Mungkin itu salah, tapi tak ada pilihan lain. Akhirnya kami sampai di suatu bagian dimana sisi kanan saya adalah tebing batu dan kiri saya jurang. Merayap-rayap di bagian tebing perlahan, licin rasanya. Saya takut luar biasa karena saya hanya bersendal jepit.
Setelah lepas dari tempat menakutkan itu, jalur mulai landai dan jalan setapak sudah tampak. Dengan semangat kami menuju pos 2. Setengah jam kemudian kami sudah sampai. Waktu itu pos 2 masih hutan dengan pohon-pohon tinggi. Tenda pun digelar. Jangan bayangkan tenda yang dibawa adalah tenda bagus seperti sekarang. Waktu itu kami pakai tenda pramuka segitiga yang terbuat dari kain, diantara kami ada yang membawa tongkat dan tali pramuka. Udah gitu kami gak punya matras, waktu itu masih mahal. Jadi yang kami bawa adalah tikar plastik. Ya! Tikar plastik, yang saya jamin dalam waktu satu jam akan basah. Tapi apa daya, karena lelah saya dan teman2 pun tertidur lelap.
Saya terbangun ketika matahari sudah tinggi. Rupanya salah satu pemandu sudah menuju puncak, sendirian. Satu orang yang lain sedang memasak air. Jangan dibayangkan memasak air dengan kompor gas portable, apalagi trangia. Dia masak dengan kompor parafin bertuliskan TNI AD kepunyaan bapaknya yang nyalanya susah, karena parafinnya basah terkena embun.
idak ada dari kami yang mencapai puncak hari itu, tapi bagi saya pengalaman pertama ini sudah luar biasa. Sambil menunggu yang dari puncak, kami memasak mie. Mie campur aduk. Kami makan dengan piring kaca yang dibawa pemandu kami ini. Ya, saat itu nesting mahal, dan tempat makan portabel untuk naik gunung masih langka. Saya sendiri membawa tempat makan plastik Lion Star yang waktu itu sangat populer dan gelas plastik hasil ambil tanpa izin dari dapur rumah
Sekitar jam 10 pemandu yang dari puncak datang, kamipun mengemasi barang-barang. Jam 11 kami beranjak turun, dan siksaan dimulai. Rupa-rupanya perjuangan untuk turun itu lebih berat. Betis dihajar sampai gempor, kepleset melulu karena saya bersendal jepit.
Alhamdulillah akhirnya sampai juga di kampung bawah, walaupun badan buluk tapi hati puas. Segera kami berhenti di masjid untuk membersihkan diri dan beribadah, lalu kembali menuju Wekas untuk pulang. Sampai Wekas sekitar pukul 3 sore dan sampai di tepi jalan sudah tak ada angkot atau bus menuju Magelang. Alhasil saya dan teman-teman menumpang truk sayur sampai Magelang dan dari situ saya naik angkot kembali pulang ke rumah.
Demikian kisah pendakian pertama saya, sepuluh tahun yang lalu…
gila emang teman yang satu ini.
susah di ikat. kalo dah nikah, jalan jalan nye bawa si doi donk ya. Apa rencana mau honeymoon di merbabu, Chandz…?
mampir juga ye, sepuh…
huahaha…
emangnya ane tali pake diikat? :))
amin deh kalau rejeki hanimunnya kesana, iye kan?
ane udah mampir ke blog ente brur. 🙂
blogwalking lagi bro…
Ckckc…nekaterz.
Pngn tau smp rumah gmn kondisinya..hehe
sampe rumah? ya capek to ndah.
maksudnya diapain sm romo-biyung, critanya kn edisi kabur… ^^v
romo waktu itu sudah meninggal.
sama biyung didiemin aja..udah tahu anaknya tukang dolan.
Wah. Jebul kita sama mas. Saya lulus SMP mblabak juga naik merbabu sama Epan dan Arfan anak paremono. Sama-sama tidak ada pengalaman dan sama-sama sampai pos 2. Tos 😀
Tos. 😀
Jacket “dealer motor HONDA”
Ini bikin ane ngakak gan..btw Jadi inget masa2 SMP SMA camping…ga jauh Beda kondisinya..taun2 90-95…hehehehe..
Memorable Bang.