sumber gambar : http://www.exposingfloridaphotography.net/Nature/Adventure/11573745_B3Pg4m/815388614_59QAa#!i=815388614&k=59QAa

pagi ini harusnya saya ngopi dan sarapan, tapi gara-gara semalam membaca perdebatan tanpa henti tentang traveling yang membuat saya jengah dan mematikan komputer. pagi ini saya terusik dan ingin menuliskan beberapa sudut pandang tentang traveling. usikan itu muncul dari pertanyaan sekelebat di kepala “seberapa travelerkah anda?” . itu sebenarnya pertanyaan yang singkat namun bisa menimbulkan banyak jawaban dan perdebatan baru, jawabannya bisa tergantung persepsi masing-masing.

saya belum pernah ke luar negeri, jika ukurannya luar negeri skip saya saja sebagai seorang traveler. saya memang sedikit idealis tidak akan pergi ke luar negeri sebelum khatam indonesia, toh idealisme itu luntur saat tahun ini akhirnya untuk pertama kali saya beli tiket ke luar negeri. entah saya tidak tahu kenapa, banyak sekali yang bangga sudah keluar negeri, keliling asean, keliling eropa, ke china, ke india dsb. tak apa, traveling memang bisa menimbulkan rasa bangga. sama rasa bangganya ketika sudah sampai ke Papua dan penjuru Indonesia, walaupun rasa bangganya bisa berbeda.

Tapi agak lucu jika seseorang bisa dibaptis menjadi seorang traveler jika dia sudah keluar negeri. tunggu dulu, bisa jadi itu karena kebiasaan orang indonesia yang menganggap luar negeri itu “wah” dan “keren”. itu akan menjadi persepsi masing-masing. jika traveler diukur dari pernah tidaknya keluar negeri, jelas saya bukan seorang traveler. begitu? tunggu dulu, seorang Alexander Supertramp diakui sebagai traveler kelas dunia bukan saat dia keluar negeri kan? justru saat dia keliling negerinya sendiri kan?

Alexander Supertramp / Christopher McCandles

Perdebatan merembet sampai buku travel budget. sebenarnya tidak ada yang salah kog dengan buku itu, silahkan mau baca buku itu, mau mempraktekkan apa yang ada di buku itu, itu terserah masing-masing saja. tapi saya punya pendapat sendiri yang bertolak belakang dengan isi kepala para penulis itu. ya, saya tidak bisa menikmati buku-buku seperti itu. memang detail, tapi saya tidak mau terjebak dengan isi buku tersebut sehingga saya akan berwisata menuruti apa yang tertulis di buku tersebut, itu akan menjadi sangat monoton dan juga saya punya cara jalan saya sendiri serta mengatur budget saya sendiri.

namun saya tidak mau munafik, saya juga pernah membaca buku tersebut, akan tetapi saya belum pernah menggunakannya untuk traveling. entah kenapa tapi ada semacam ketidakcocokan dengan buku semacam itu. dan bagi saya, buku travel yang baik adalah yang bertutur, bukan yang mengajari cara traveling, toh semua orang bisa traveling tanpa perlu diajari. bagi saya buku traveling terbaik yang pernah saya baca sampai saat ini adalah Kepulauan Nusantara karangan Alfred Russel Wallace, silahkan googling untuk tahu siapa dia.

judul asli : The Malay Archipelago

yang menggelitik adalah perdebatan sampai melebar ke hal-hal yang sebenarnya tidak penting untuk diperdebatkan. tunggu dulu, budgeting itu penting dan memang harus detail, buku travel budget memberikan gambaran tersebut. tapi tunggu dulu, saya punya pertanyaan : “Apakah Traveler Kelas Dunia Memakai Buku Travel Budget?”

Saya sendiri tidak tahu, tapi tontonlah film Into The Wild untuk mendapatkan sedikit pencerahan tentang budgeting. Bagaimana seorang Supertramp mengenyahkan hal keduniawian seperti uang. Dan dia hanya ingin berjalan, tanpa diganggu masalah uang. Moneyless, Budgetless. terasa sangat heroik memang, tapi toh Alexander Supertramp akhirnya tetap bisa menjelajah Amerika, di satu fragmen film tersebut ada kisah Alexander bekerja apa saja di sebuah restoran fast food. Dan saya yakin seorang Alexander pasti mengatur budgetnya sendiri, tanpa buku panduan. Bagi saya “that’s what world class traveler did, creating his own budget, making effort for his journey. Not only spending money to buy something cheaps like Indonesians did” .

Sebenarnya kata-kata yang saya garis tebal itu juga menampar diri saya sendiri. Saya suka sesuatu yang murah, mungkin itu naluri saya sebagai orang Indonesia? mungkin. Tapi trend ini tidak hanya menimpa orang Indonesia, para traveler di seluruh dunia pun pasti memilih sesuatu yang murah. Barangkali memang wisata murah sudah mewabah dan semua berlomba-lomba mencari yang paling murah.

Tapi jujur dalam hati, saya pun tak segan membayar mahal jika memang itu destinasi impian. Jika destinasi itu memangΒ  mahal, saya tak akan bersusah payah bermurah-murah, selama harganya sebanding. Kesannya kog jadi orang Indonesia jadi suka hal yang murah-murah, takutnya lama-lama terkesan murahan. Bangga dengan sesuatu yang paling murah, dan segala sesuatu yang murah lantas menjadi laris manis diborong orang, dipraktekkan dan tiba-tiba seluruh wisatawan dari Indonesia menuju destinasi yang sama, berlomba booking pesawat yang sama, makan-makanan yang sama, menginap di hotel yang sama. Semuanya sama.

Entah saya tidak mampu menggambarkannya dengan kata-kata tentang fenomena tadi, saya hanya merasa traveling itu tidak bisa dipaksakan, sesuai kemampuan. Tidak usah gengsi jika memang tidak bisa, toh traveling tidak melulu soal destinasi, tidak melulu soal murah tapi proses menikmati traveling itu sendiri. Toh, ukuran murah pun bisa sangat bervariasi.

Foto oleh : Kristupa Saragih

Saya pernah bertemu Don Hasman, seorang yang dijuluki Tireless Traveler, maestro perjalanan dari Indonesia. Saya ngobrol banyak hal dengan Om Don. Om Don ini avonturir kelas dunia dari Indonesia, Saat orang Indonesia belum mengerti apa itu Nepal, beda dengan sekarang yang berbondong-bondong ke Nepal. Om Don sudah melancong ke Nepal, tahun 1978 sampai di ketinggian 6150 mdpl. Beberapa waktu lalu Om Don pergi ke Eropa melakukan perjalanan 1000 kilometer dengan berjalan kaki dari Saint Jean Pied de Port, Prancis hingga Katedral Santiago de Compostela, Spanyol. Menapaktilasi perjalanan reliji Santo Yakobus. Perjalanan itu ditempuhnya dalam waktu 35 hari. Dalam benak saya bagaimana Om Don merencanakan perjalanan tersebut? apakah dia membaca Lonely Planet? apakah dia membaca buku panduan budget? entah tak ada yang tahu.

saya rasa Om Don tidak membeli buku “keliling eropa sekian juta rupiah” sebelum memulai perjalanan, dia pasti membuat riset yang lama. Dan para expert traveler pun begitu. Para expert traveler yang mencintai perjalanan tidak menerbitkan panduan cara berjalan-jalan, tapi menuliskan perjalanannya. Mau bukti? silahkan simak tulisan-tulisan Rudy Badil, Farid Gaban, Ahmad Yunus, Don Hasman, Agustinus Wibowo, Norman Edwin. Mereka tidak menerbitkan buku “cara berkeliling blablabla, dengan blablabla rupiah” , tapi yang mereka tuliskan adalah pengalaman dan romantisme mereka pada perjalanan itu sendiri. mereka membawa pembaca untuk menikmati perjalanan, bukan mengajari jalan-jalan sampai memikirkan budget. kalau mau diperdalam, world class traveler tidak akan sibuk mengurusi budget, mereka lebih sibuk menikmati cara perjalanan mereka sendiri.

Lain waktu bicara gadget, zaman sudah canggih gadget banyak dan variatif untuk traveling. Beberapa orang mungkin mlongo dengan gadget orang lain, kamera orang lain, GPS orang lain. Di benak saya, ya itu sesuai ukuran kemampuan, kalo memang dia punya gadget banyak dan mampu beli ya tak masalah kan? harusnya tak usah saling iri lalu memaksakan beli gadget untuk traveling. dibikin nyaman, gadget terbaik adalah gadget yang dipunyai sendiri dan gadget hebat adalah gadget yang nyaman untuk dipakai.

Mungkin ukuran traveler menurut saya adalah seberapa besar seseorang menikmati proses traveling, menikmati perjalanannya, dan bagaimana dia membuat perjalanannya sendiri. itu menurut saya, bagaimana dengan anda? Seberapa Travelerkah Anda?

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

29 KOMENTAR

  1. nice, chan ..

    tidak ada yang salah dengan traveling ala koper maupun ala ransel. murah – mahal, yang utama adalah bagaimana kita mampu mendanai perjalanan sesuai kemampuan, kemudian, yang paling penting menurut saya adalah menikmati perjalanan tersebut, mengambil pelajaran dan pengalaman, plus menghayati kearifan lokal. semata agar jalan-jalan tidak sebatas jadi ajang, “gue pernah kesana loh !” atau sekedar pajang-pajang foto di social media ..

    bahkan dalam sebuah perjalanan, kebijakan kerap terlupakan ..

    • betul sekali…toh traveler kelas dunia juga ga pernah ribut soal budget.. πŸ™‚
      mereka lebih memilih menikmati perjalanannya..
      semoga makin banyak traveler seperti mbak zou..
      biar traveling tak sekedar cari popularitas semata.

  2. menarik tulisannya, saya mau mengutip sedikit ayat tentang perjalanan yang pasti dan mutlak tidak pernah dilakukan oleh manusia lain.

    (1)Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
    [QS. al-Israa’ (17): 1]

    jika memang ingin membanggakan perjalanan dan atau mungkin sedikit sombong, boleh berkaca dengan ayat di atas. perjalanan paling jauh yg pernah ditempuh manusia. dan sepertinya perlu mengubah mindset untuk berpikir bahwa traveling ya traveling, tidak peduli seberapa kamu pergi atau seberapa banyak uang yg kamu keluarkan, traveling akan memberikan kesannya masing-masing pada pelakunya. maaf, jadi panjang banget. πŸ˜€

  3. “Mungkin ukuran traveler menurut saya adalah seberapa besar seseorang menikmati proses traveling, menikmati perjalanannya, dan bagaimana dia membuat perjalanannya sendiri.” >> saya sangat setuju sekali dengan yang satu ini, jalur yang sama gak berarti travel experience harus sama πŸ™‚

  4. Sedap cung! Kalo boleh nambahi, setahu saya Om Don itu risetnya sangat kuat sebelum jalan. Aku punya rekaman kuliah umum dia saat melakukan ziarah Santiago de Compostela, kata beliau risetnya tahunan, mas. Begitu juga beberapa ekspedisi yang dia bikin tahun-tahun sebelumnya.

    Masalahnya, obyek-obyek yang dia kunjungi itu hampir-hampir tak pernah ditulis dalam buku petunjuk perjalanan. Seperti saat dia melakoni napak tilas Ekspedisi Nieuwenhuis di belantara Borneo.

    • thanks mas..
      saya rasa begitu mas..
      riset sebelum perjalanan itu hal yang harus dilakukan traveler sebelum berjalan
      agar sesuai dengan gaya jalannya sendiri.
      dan itulah seninya perjalanan mas, menemukan sesuatu yang jarang ditemui orang lain.
      thanks mas sudah berkunjung. πŸ™‚

    • Mas Ari, saya dapat buku Alfred Wallace di atas di Gramedia TP dengan diskon 50%. Miris sih awalnya kok ditaruh di rak obralan. Tapi, ini mungkin masalah selera saja. Bagi aku, merasa beruntung bisa menemukan ‘harta karun’ nan berharga ini.

      Oya, Mas Chan… world class traveler di atas bisa jadi tidak butuh buku panduan budget traveling. Karena Mas juga belum konfirmasi ke Om Don Hasman, yang Mas jadikan contoh. Jadi, masih asumsi semata.

      Tapi, membandingkan kebutuhan antara para expert traveler di atas dengan para newbie traveler dalam hal panduan perjalanan juga menurut saya tidak ‘fair’. Yang ahli sudah lebih terasah kemampuannya dalam menentukan sendiri rute, budget, dan keterampilan survival-nya di perjalanan. Yang newbie, butuh semacam pendorong agar berani melakukan perjalanannya.

      Dan, alangkah layaknya untuk menyajikan tulisan berimbang, dengan menghadirkan komentar dari para newbie traveler yang pernah membaca buku-buku panduan perjalanan. Apakah buku itu membantu mereka?

      Dan, kalau boleh sharing, dari tulisan para pembaca buku Travelicious Lombok (panduan ke Lombok) yang akhirnya ‘berani’ melakukan perjalanan mandiri lalu menuliskan pengalaman mereka di blog, tetap saja mereka mengalami pengalaman yang berbeda. Dan, apa yang mereka lihat dan rasakan juga kecap (makanan), belum tentu sama dengan pengalaman saya yang tertuang dalam buku TL.

      Sebab, seperti katanya Paul Theroux, “Perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananmu bukanlah perjalananku.”

      • sebenarnya setiap kita akan berjalan, kita adalah traveler nubie.
        kita tak tahu apa yang dihadapi di depan, kita tak tahu seperti apa medan dan kita hanya bisa meraba keadaan.
        saya tidak menafikan keberadaan buku travel guide seperti itu, tapi please jangan membohongi publik dengan menyembunyikan item.
        saya tadi malam sampai bertandang ke Jakarta untuk berdiskusi panjang lebar dengan kawan-kawan dari Backpacker Indonesia (itulah mengapa saya tidak bisa balas komen) dan secara khusus membahas buku travel guide.
        secara khusus bahkan sampai ada yang tertipu dengan isi buku, itu sebenarnya yang ingin kami hindari.
        buku travel budget tidak cocok jika dipakai oleh orang yang stick pada budget karena bisa jadi akan sangat berbeda situasinya.

        tapi saya tidak mau terjebak dalam perdebatan tanpa henti yang ujungnya cuma membanggakan diri, menonjolkan ego.
        jadi makanya saya nulis ini, walaupun belum objektif.
        mengenai expert traveler, AHmad Yunus dan Farid Gaban mengaku memakai Lonely Planet, Agustinus Wibowo juga. tapi ada juga kawan saya dari Blackpacker Indonesia yang lumayan expert, baru saja keliling asia selama 6 minggu tanpa bantuan Lonely Planet dan buku travel budget, murni riset sendiri.

    • waktu itu saya juga dapat di shopping (tempat jual buku di Jogja)
      rata-rata buku dari penerbit komunitas bambu memang susah dicari, kalo ga bisa order online mas.. πŸ™‚

  5. awesome…..
    saat ini org kita memang lg berbondong2 hunting tiket murah dah menggembor2kan plus bangga krn dapat tiket tersebut,,buat saya yg mereka lakukan jd terkesan norak..
    saya pernah nonton into the wild,,film yg bagus banget ,,

    cheers

  6. soal buku travel, aku jd inget materi yg dishare hifatlobrain dlm bentuk e book sense of places-nya mas yudasmoro, di mana buku travel jg ada sub genre-nya sendiri, kayak travel book, guide book, travel literature, dan travel journal.

    awalnya aku jg risih liat buku sekian juta ke sana atau ke sini, tp emang bener kok kata kamu juga klo buku itu nggak salah, dan emang ada yg sangat butuh dengan buku itu, tergantung siapa yang butuh. dan, buktinya buku2 kayak gitu keliatannya laku. hihihi.

    tapi klo pribadi, sekarang sih lbh seneng baca buku travel yg travel literature kayak punya agustinus wibowo krn lebih dalam bahasnya, eh tapi aku jg suka yg kocak2 kayak punya trinity ;p

    btw, klo saya sih, jalan2 dalam kota aja uda tak masukin kategori traveling, lho. hihihi. mungkin krn aku seneng nikmati proses jalannya ya, bukan melulu tujuan akhirnya.

    *ah sori panjang ;p

  7. Cukup idealis mas Ef ini.

    Kalo saya sih yang penting perjlanan itu asik dan bikin saya bahagia.

    Walau kadang saya juga sering terhalang budget untuk melakukan travelling ke destinasi yg saya pengen..

    Mungkin karena mindset saya “Travelling itu = Backpacker” .. Ok,.. Mungkin sama kali ya maksudnya..Cuma pelaksanaannya yang beda , atau gimana.. Saya juga kadang bingunbg..Hehe..

    Tapi menurut pemahaman saya Backpacker itu = Traveller yang cukup memperhatikan budget, low cost budget, dll. Sedangkan Traveller : Ya , orang yang suka bepergian ke tempat-tempat baru terlepas dari masalah budget dll.. CMIIW.

    Nah mungkin agak dipersempit lagi kayaknya ya mas? yg dibicarakan ini Traveller secara umum atau Backpacker. Mungkin kalo yang disinggung Backpacker cukup lumrah jika memikirkan masalah budget hehehe..

    IMHO πŸ™‚

    Tapi emang saya juga agak sedikit setuju tentang buku panduan travelling. Kalo saya mungkin akan menjadikan itu sebagai refferensi dan asupan pengetahuan travelling aja πŸ™‚

    thx..

    Sorry kalo komen kepanjangan..

    CMIIW..

    • tidak apa-apa mas, saya justru senang sekali saat mas Adhit posting panjang-panjang.
      postingan ini memang saya tujukan untuk membuka ruang diskusi yang hangat dan membangun.
      bagi saya memang proses perjalanan lebih penting daripada destinasinya.
      dan saya dulunya memang bersikukuh traveling adalah backpacker. karena dulu saya memang backpacker minded. maklum saya dulu orang yang ga punya duit tapi pengin ngetrip, dan backpacker adalah cara terbaik untuk menjembatani antara keinginan ngetrip dan ketidakpunyaan duit.
      tapi semakin kesini saya sadar, backpacking hanyalah satu dari banyak cara untuk traveling.
      bahwasanya saya melihat proses menikmati traveling dengan caranya masing-masing adalah kebahagiaan sesungguhnya dari sebuah perjalanan.

  8. Salam travelling, nice writing sobat. Menikmati perjalanan memang bukan “kemana” nya, tapi “bagaimana” kita bisa menikmatinya. Maju terus wisata Indonesia

  9. Setuju banget ama tulisannya kak. Ga emak2, traveler, kayaknya pada suka war2an yaa. Bener sih,traveling ga usah diatur2,budgetlah,gaya fotolah, yg penting plesir dan dapet pleasure nya. Klo saya cuma suka piknik nyenengin anak2,

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here