Beruntunglah saya memiliki seorang nenek yang tinggal di Kauman, Jogjakarta serta ibu yang pernah indekos di Kauman semasa kuliah dulu. jadilah saya tidak pernah absen setiap tahun berkunjung ke Kauman, silaturahmi sekaligus menyusuri lorong-lorong Kauman yang eksotis.
Beberapa waktu lalu, saat lebaran tiba akhirnya saya kembali ke Kauman, walaupun akhirnya sebentar mengingat kondisi simbah putri yang sedang sakit. Tapi berkunjung ke Kauman akan selalu menyenangkan, ibu dengan antusias membawa kami ke lorong-lorong Kauman yang penuh dengan cerita-cerita menarik.
Kauman dulunya adalah kampung para “kaum” atau pemuka agama Islam, didirikan setelah Masjid Gedhe didirikan. Oleh Sultan HB I para pemuka agama Islam diminta tinggal di Kauman, dan dari kampung Kauman inilah syiar Islam di seantero Jogja bahkan Indonesia dahulu pernah berpusat. Kelak dari kampung inilah muncul seorang K.H Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.
Oleh ibu, saya dan adik-adik dibawa ke Langgar K.H Ahmad Dahlan, langgar tempat dakwah pendiri Muhammadiyah tersebut, kemudian ke Makam Nyai Ahmad Dahlan. selepas dari situ, ibu mengajak saya menyusuri lorong-lorong yang penuh bangunan tua. bangunan itu adalah simbol kesuksesan para pemiliknya yang dulunya mayoritas adalah juragan batik.
Dari situ saya dibawa ibu berhenti sebentar di depan tugu peringatan yang bertuliskan “Syuhada Fi Sabilillah, Kauman Darussalam”. Rupanya tugu itu adalah tugu peringatan untuk para pejuang dari Kauman yang gugur saat perang merebut kemerdekaan Indonesia.
Kemudian ibu menerangkan beberapa sudut Kauman, beberapa bangunan yang sudah berubah fungsi, kemudian diakhiri dengan sowan di rumah simbah putri.
note : jika ingin menyusuri Kauman, akan lebih baik berjalan kaki dan jangan segan bertanya, para penduduk Kauman rata-rata memiliki kisah sejarah yang menarik dan jangan sampai tersesat karena lorong-lorong di Kauman agak mirip labirin.









