Saya bukan Ishmael yang mengikuti obsesi gila Kapten Ahab berlayar melintas samudera demi balas dendam pada seekor paus.

“Ini kapal baru Mas, saya baru megang kapal ini tadi pagi”

Di ruang nahkoda, saya menemani Kapten kapal yang mengendalikan kapal meliak-liuk menghindari gelombang.

“Canggih sih, tapi ya namanya barang baru masih butuh adaptasi”

Tiga jam sebelumnya langit begitu cerah di perairan Krakatau. Saya naik kapal yang mirip yacht dengan tiga dek susun dengan gembira dan karena ingin menikmati angin sepoi-sepoi saya duduk di dek paling atas, dek tengah dan dek paling juga bawah penuh penumpang yang ingin tidur di perjalanan.

Setelah penuh penumpang, kapal angkat sauh meninggalkan perairan Krakatau.

Langit tenang dan tiada gelombang. Lambat laun Krakatau semakin mengecil dan akhirnya lenyap dari pandangan mata.

Krakatau
Jelang senja, langit dan gelombang tenang

Kapal ini melaju melintas Selat Sunda menuju Bandar Lampung.

Romantisnya angin sepoi-sepoi yang saya nikmati di dek atas rupanya hanya rayuan sesaat, tiba-tiba langit gelap dan menghamburkan hujan. Sebagian dari penumpang termasuk saya yang ada di dek atas pindah ke dek tengah, sialnya dek tengah sudah penuh. Saya menuju dek bawah, dek bawah juga sudah penuh. Ada ruang kosong di dek bawah, sayangnya bau mesin, lima menit berada di sana mata saya perih dan mual. Untung kapten berbaik hati, memperbolehkan saya berada di ruang kapten.

Dek tengah sudah penuh

Di ruang kapten saya melihat layar GPS, Bandar Lampung masih jauh. Sementara cuaca makin memburuk.

“Santai Mas, sudah biasa di Selat Sunda begini”

Menyusuri Selat Sunda kata kapten kapal butuh keberanian, cuacanya sering berubah, arusnya sering tiba-tiba galak dan jika tidak tahu arah, bisa-bisa terbawa arus dan terdampar entah di mana.

Di haluan lampu kapal tak mampu menembus pekatnya malam, cahayanya hilang. Kapten meminta salah satu anak buah kapal ke haluan, menjadi mata bagi sang kapten.

Saya melihatnya dengan dramatis, diterpa hujan dan hanya berpegangan pada besi kapal, sang anak buah kapal memberi isyarat dengan tangan. Diterpa hujan angin dan disambut gelombang.

ABK di haluan

Untung gelombang sedang tidak tinggi, kapal ini hanya bergoyang-goyang ringan, tak sampai terpelanting.

“Biasa mas ini, masih normal gelombangnya”

Saya mengangguk.

“Kalau pas patroli malah biasanya lima meteran”

Entah kenapa saya tiba-tiba terbatuk.

Namanya laut memang isinya ketidakpastian. Walaupun Selat Sunda ini mungkin adalah jalur lalu lintas laut paling ramai di negeri ini, tapi resiko yang dihadapi juga besar sekali. Gelombang tinggi, badai, sampai erupsi Anak Krakatau.

Walaupun suasana agak mencekam, kelap-kelip lampu kapal yang lamat-lamat di kejauhan membuat saya sedikit tenang. Setidaknya kami tidak sendiri di perairan ini.

“Halo posisi di mana?”

“Brrrt brrrt brrttt”

“Halo posisi di mana?”

“Brrt brrrt brrrrttt”

Tidak ada jawaban di radio, Kapten kapal sedang menghubungi kapal lainnya. Kapal terus laju dengan panduan GPS dan isyarat anak buah kapal.

Saya terus melihat layar GPS, titik-titik kelap-kelip menunjukkan posisi kapal dan garis panjang menunjukkan jalur yang harus diambil.

Kapal ini ternyata tidak mengambil garis lurus ke pelabuhan. Jalurnya justru berkelak-kelok, menghindari karang, melintas di antara dua pulau kecil.

“Pelaut sekarang ketolong alat Mas, pelaut dulu lebih hebat, pakai naluri dan hafal posisi bintang”

“Bayangin sekarang, GPS bisa nunjukkin posisi karang, jaman dulu boro-boro, kudu hafal jalurnya”

Kapten kapal sepertinya tahu apa yang ada di pikiran saya. Benar katanya, teknologi memang membantu manusia tapi di sisi lain membuat manusia tumpul dan tak percaya diri.

Kapal laju pelan sekali, sementara gelombang semakin tinggi. Penumpang yang berada di dek atas sudah menyerah, terkena gelombang mereka muntah, terkena hujan angin mereka basah. Lalu mereka berjubel di dek tengah, sebagian berdiri karena dek tengah sudah tak ada tempat.

Ruang Kapten

Saya masih berada di ruang Kapten ketika tiba-tiba terdengar desing yang ganjil “Nguung”.

Lalu kapal bergoyang ke kanan dan ke kiri, saya merasa tidak laju, kapal goyang diombang-ambing gelombang. Kapten hanya memutar roda kemudi dan saling lirik dengan anak buah kapal yang berada di haluan.

Saya berpandangan mata dengan Kapten, Ia bicara pelan.

“Mesin mati”

Pelabuhan masih jauh, gelombang makin tinggi, hujan makin deras dan sekarang mesin mati.

Lalu Saya teringat Ishmael.

Tabik.

NB :

  1. Ishmael dan Kapten Ahab dari Moby Dick.
  2. Kapal ini goyang, judul postingan ini terinspirasi dari bagian lirik lagu Bulan Madu dari Melancholic Bitch.
Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

13 KOMENTAR

  1. Memang sih kalau bau mesin kapal itu bawaannya bikin mual.
    Bagi kita ombak segitu sudah besar, tapi bagi pelaut, mereka masih menganggap itu ombak yang wajar 😀

    Selain mahir menggunakan GPS, sudah seharusnya pelaut bisa membaca bintang. Jadi ingat waktu mancing bareng bapak. Beliau mengajari saya saat akan berlabuh ke pesisir. Tanda-tanda itu menuntun perahu yang kami naiki agar tidak menabrak terumbu karang.

  2. perlu nyoba naik perahu katinting di KP2KP-KP2KP yg wilayah kerjanya kepulauan lalu rasakan sensasi nyidukin air laut yg masuk ke dalem perahu di sepanjang perjalanan hehe…

  3. benar benar sangat menakjubkan pemandangan yang ada di tengah laut ini terlihat view gunung yang begitu tegak,,,, ngomongin tentang laut ayo kunjungi web g-land.asia disini kalian akan megetahui tentang keindahan laut laut di asia..

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here