antarafoto-1332657615-
Sumber Gambar : Antarafoto.com

Saya seharusnya percaya, mendapatkan pendidikan adalah hak sebagai seorang warga negara. Hal ini sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Dasar 45. Hanya saja, sayangnya tidak semua warga negara bisa melaksanakan haknya tersebut, dengan berbagai alasan atau ketidakberuntungan. Tentunya pada titik ini, kita, sebagai warga negara sudah harus cukup khawatir.

Adalah Prihatiningsih, atau mari panggil saja Pri. Sahabat saya sejak SMA yang mengungkapkan perasaannya melalui Whatssapp untuk membuat proyek pendidikan untuk beberapa anak-anak yang kurang beruntung untuk menikmati haknya mendapat pendidikan. Saya tak mampu menolak ajakan Pri, saya memiliki visi yang sama dengannya dan sepakat, bahwa jika negara sudah kewalahan untuk menjamin hak-hak warga negaranya, maka warga negaranya harus bisa berkontribusi untuk membantu negara.

Gagasan ini kemudian menyebar dengan getuk tinular, 2 sahabat saya dan Pri lalu turut bergabung dengan gagasan Pri, mereka adalah Matheus dan Ririn. Dari percakapan intensif via Whatssapp kemudian kami berempat sepakat kopdar di suatu kedai kopi di Jakarta, sembari mematangkan konsep mengenai langkah-langkah apa yang harus kami lakukan untuk menjalankan gagasan ini. Gagasan ini bahkan tidak bernama, hanya kesamaan visi yang kami punyai untuk melakukan sesuatu yang mungkin akan berguna kelak kemudian hari.

Saya tidak menyangsikan semangat Pri, matanya bergelora saat membicarakan gagasan ini, saya tahu dia bersemangat sekali. Saya teman sekelasnya selama 2 tahun di SMA dan tahu betul perjuangannya untuk sekolah. Pri adalah sosok perempuan tangguh dengan semangat ekstra keras yang pernah saya temui. Rumahnya di Srumbung, lereng Merapi. Menempuh jarak 30-an kilometer untuk mencapai SMA yang terletak di tengah kota. Saya tahu, Pri harus sudah berangkat sebelum shubuh, kemudian berdesak-desakan sejauh 25 kilometer dalam bis 3/4 untuk mencapai sekolah.

Perjuangannya setimpal, prestasinya selalu diatas. Pri selalu menjadi bintang di kelas, kemudian mendapatkan beasiswa untuk kuliah S-1 sampai S-2 di UGM, setelah itu sekarang dia sedang menapak karir yang cemerlang di sebuah Perusahaan BUMN di Jakarta sana. Saya kira kerja kerasnya dulu berbuah manis sekarang baginya. Tapi Pri masih mengingat perjuangannya dulu, masa-masa susahnya. Di sela-sela kesibukannya di Perusahaan BUMN, Pri masih menyempatkan diri membantu anak-anak yang kurang beruntung di Manggarai sana untuk terus mendapatkan pendidikan yang layak.

Niat baik pasti selalu direstui oleh semesta. Entah kebetulan atau tidak, bersamaan dengan gagasan yang Pri utarakan itu, di dekat rumah saya, tetangga saya sendiri, ada seorang anak yang prestasinya tidak main-main, seorang langganan tim olimpiada di SMP-nya, sudah berkali-kali menyabet juara dan mengharumkan nama SMP-nya. Anak tersebut pintar, cerdas, bertekad kuat, tapi sayang kurang beruntung secara finansial.

Orang tuanya hanya serabutan, kebetulan ibunya setiap pagi lewat di depan rumah, mengantarkan tempe yang kemudian dia setor ke warung-warung di sekitar kampung. Tapi anak ini kebanggaan keluarganya, mendapatkan prestasi demi prestasi yang membuat kedua orang tuanya bangga luar biasa. Tentunya saya tak bisa membiarkan anak ini layu sebelum berkembang, anak ini harus terus mendapatkan pendidikan yang layak, yang bagus, agar bisa terus berkembang dan menatap masa depan yang lebih baik.

Akhirnya saya berkesempatan bertemu orang tuanya, saya tanya baik-baik, saya tanya kesulitannya apa dan saya tanya anak tersebut ingin meneruskan SMA dimana.

Jawabnya : “anak saya hanya mau masuk SMA 1 Magelang mas, dia bekerja keras untuk itu, sebagai orang tua saya hanya bisa berusaha untuk itu..”

Saya tak bisa berkata-kata apalagi, saya bertekad anak ini harus masuk ke SMA 1 Magelang, saya juga bilang ke orang tua anak tersebut agar tidak usah risau memikirkan soal biaya, nanti akan dibantu agar terus bisa bersekolah. Kisah tetangga saya ini kemudian saya sampaikan kepada Pri, Matheus dan Ririn. Pada akhirnya kami bersepakat untuk menyokong anak tersebut agar terus bisa masuk ke sekolah pilihannya dan menggapai cita-citanya.

Saya tidak hendak membanggakan SMA 1 Magelang sebagai alumni. Tapi secara faktual, di lingkup Kota bahkan Karesidenan SMA 1 Magelang masih yang terbaik, bahkan di level propinsi pun SMA 1 Magelang masih merupakan 3 besar dan menjadi impian setiap anak-anak di Magelang untuk bersekolah disana.

Maka Sabtu lalu saya datang ke SMA 1 Magelang untuk menjajaki kemungkinan anak tersebut bersekolah di sekolah impiannya. Sebagai gambaran, anak tersebut saat lulus SMP adalah lulusan terbaik kedua. Kemudian di jurnal penerimaan siswa baru SMA 1 Magelang 2013, anak tersebut menempati peringkat ke-16 dari 288 siswa baru yang akan diterima di SMA 1 Magelang. Anak tersebut sudah pasti masuk SMA 1 Magelang. Saya lega tapi masih harus ada langkah lain yang harus diambil.

Saya optimis anak ini pasti semakin berkembang nanti di SMA. Kebetulan SMA 1 Magelang memang memiliki iklim yang cocok untuk pengembangan diri. SMA ini konsisten untuk mendidik dan membina siswa berprestasi tanpa melihat latar belakangnya, miskin atau kaya. Dan untungnya tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Di SMA Saya bertemu Pak Cahyo, lengkapnya Sucahyo Wibowo kepala sekolah SMA 1 Magelang yang sekarang.

Pak Cahyo ketika saya SMA adalah seorang guru sejarah, waktu itu beliau dijuluki guru yang visioner. Di saat paradigma  yang berkembang bahwa guru selalu benar, Pak Cahyo mendobrak itu semua. Dia melepas sekat guru – murid, dia menempatkan diri bahwa guru pun bisa salah, dibukanya ruang-ruang diskusi di kelas, dia suburkan kegiatan berorganisasi dan dia menumbuhkan sikap kritis pada siswa-siswanya. Bagi saya saat itu, Pak Cahyo adalah seorang guru dengan pandangan objektif, cover both side, mau mendengarkan suara murid-muridnya, bukan tipe guru yang serta merta menyalahkan murid-muridnya.

Saya menghadap langsung ke Pak Cahyo di ruangannya, kami bicara tentang kemungkinan-kemungkinan agar anak ini bisa mendapatkan keringanan saat sekolah di SMA 1 Magelang. Saya ceritakan bagaimana kondisi orang tuanya, prestasi – prestasinya. Dan kemudian saya sampaikan pula bagaimana gagasan-gagasan yang Pri sampaikan dan Pak Cahyo cukup menyambut baik gagasan tersebut. Beliau memang tidak menjanjikan apa-apa namun menyarankan agar kami terus berhubungan dengan pihak sekolah untuk terus memantau perkembangan selanjutnya. Pertemuan singkat tersebut menyiratkan nada positif, kami harus terus bersinergi dengan pihak sekolah untuk langkah-langkah ke depannya. Dan semoga dengan awal mula ini kami bisa terus bergerak demi anak tersebut.

Pendidikan sekarang memang tidak memihak orang yang tidak berpunya. Makin mahal, ironis dengan amanat 20% dana APBN dialokasikan untuk pendidikan. Teman kantor saya bercerita, dia harus membayar 30 juta hanya untuk memasukkan anaknya ke sebuah SMP. Mengerikan bukan? Atau ada teman sekelas saya dulu saat SMA, juara kelas yang setelah lulus SMA tidak bisa meneruskan kuliah karena tidak memiliki biaya dan memilih bekerja untuk meringankan beban keluarganya. Saya sedih, marah, geram. Juara kelas, orang terpandai di kelas tidak mampu melanjutkan kuliah karena urusan finansial, karena tak sanggup membayar uang kuliah yang mahal. Saya waktu itu rasanya berteriak, rasanya tak rela, mempertanyakan segala sesuatu tapi pada akhirnya saat itu saya tak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya.

Tentunya saya tak ingin hal ini berulang lagi, kami tidak ingin ada lagi orang – orang pintar yang seharusnya menerima pendidikan yang layak kemudian berhenti di tengah jalan. Lalu hilang begitu saja. Maka kami berempat mematangkan konsep untuk menjadi kakak asuh, gagasan yang diungkapkan tersebut kemudian digulirkan agar tidak hanya sekadar wacana. Untungnya  Pri dan Ririn adalah lulusan Psikologi dan sempat aktif di berbagai kegiatan kesukarelaan, merekalah yang mematangkan konsep gagasan ini. Secara garis besar, kami berempat akan menanggung biaya pendidikan anak tersebut, dengan Pri sebagai koordinator, Ririn konselor, Matheus evaluator sementara saya adalah pelaksana lapangan yang berhubungan dengan sekolah. Ini adalah ujicoba pertama kami, pilot project pertama, langkah pertama yang bisa kami lakukan.

Dalam agama yang saya anut, Tuhan mengingatkan bahwa sebagian harta kita adalah hak orang lain. Hal ini dalam segala kenyamanan hidup yang saya terima sekarang, ada hak orang lain yang juga untuk turut menikmati kenikmatan hidup saya. Ini berarti segala kesempatan pendidikan yang saya kecap dulu, juga berarti ada hak orang lain untuk turut menikmatinya juga.

Maka ini langkah kecil yang kami lakukan. Memberikan hak orang lain untuk menikmati kesempatan, kenikmatan, kenyamanan memperoleh pendidikan yang layak seperti yang kami alami dulu. Saya realistis, gagasan ini mungkin akan berat saat dilakukan. Tapi sebuah gagasan hanya akan tinggal gagasan dan menguap hilang jika tidak diikuti dengan tindakan. Maka sekarang atau tidak sama sekali, kami bertindak. Mungkin langkah kami belum sebesar teman-teman lain yang sudah mampu berbuat lebih dari apa yang kami lakukan sekarang.

Tapi kami memang tidak ada harap berlebih selain semoga gagasan ini bisa menggugah teman-teman lain untuk melakukan hal yang sama, melakukan sesuatu untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Menggugah teman-teman untuk kemudian melangkah, melakukan hal yang sama.

Pada akhirnya saya tahu jawaban atas pertanyaan Kenapa Kita Harus Membantu? Karena Sebenarnya Kita Mampu.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

17 KOMENTAR

  1. Malah nyasar ke artikel ini…

    Iki piye kelanjutan program-e? Ayo dijadikan program angkatan ae Chund biar kebermanfaatannya nambah, nggak cuma ke satu adek kelas 😉

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here