BruFbQKCYAI0KkO

Ia, gerbong besi yang berderak-derak, kaki seribunya keras menghantam rel yang berjajar dari ujung ke ujung Pulau Jawa. Ia, membawa banyak manusia, tapi lebih daripada manusia yang dibawa, ia membawa banyak cerita, menggunung.

Sayang banyak manusia yang diam, larut dalam lelah dan tidur. Sementara ia bisa saja memberikan cerita, untuk mereka yang mau mendengar lebih dalam, melihat lebih dekat dan menyapa dengan hangat, bukan untuk mereka-mereka yang hanya terbawa kantuk di gerbong kereta.

Kisahku dengan gerbong kereta cukup intim, ia adalah andalan untuk memperpendek jarak antara Jakarta dan Magelang. Jakarta tempatku kuliah lima tahun yang lalu, dengan Magelang tempat ibunda menunggu kabarku.

Dahulu, cukup tiga puluh delapan ribu, ia akan membawaku pulang, tentunya gerbong kelas paling bawah, kelas ekonomi. Kala itu uang bulananku tak sampai tiga ratus ribu sebulan. Maka aku tak boleh sering-sering pulang, hanya sesekali saja, aku jelas tak mau kehabisan uang.

Kiranya dulu gerbong kereta ekonomi memang untuk kelas akar rumput, khusus untuk kaum papa. Jika hendak mencari apapun, segala ada, waktu itu ia lebih mirip pasar malam berjalan daripada ruang untuk membawa penumpang. Mulai dari minuman, makanan sampai hiburan lantun lagu dari pengamen bersuara sumbang ada, setia menemani perjalananmu dari stasiun pertama sampai stasiun terakhir.

Coba bayangkan, lima tahun lalu aku harus berdesakan bahkan sejak loket penjualan. Tiket kecil dari potongan kertas kardus, dengan huruf-huruf dicetak stensilan, rasanya tiada beda dari tiket jaman kompeni.

Jaman dahulu tak ada soal kehabisan tiket, tanpa tiket duduk bisa beli tiket berdiri. Masih juga kehabisan tiket, ada calo yang lidahnya siap menjilat pembeli. Atau jika kau barangkali nekat, tinggal saja nyelonong masuk ke stasiun, lantas ke gerbong, duduk seenaknya di restorasi. Diusir? Barangkali kau bisa bayar petugas restorasi atau kasih ke kantong kondektur, selesai masalah dan kau tinggal duduk tenang atau tidur nyaman sepanjang perjalanan.

Lima tahun lalu, dengkul adu dengan dengkul. Tidur berhimpit saling meminjam punggung. Tak ada ruang bahkan untuk menghela napas, bahkan toilet berbau pesing pun kadang jadi tempat istirahat yang nyaman.

Orang tidur saling berkalang kaki, tumpang tindih seperti di kamp konsentrasi. Orang tidur di mana saja, di bawah kursi, di atas, di kompartemen bagasi, di lantai, di bordes sambungan gerbong, di mana-mana. Jaman itu, ia si gerbong kereta dipaksa membawa beban lebih berat daripada seharusnya, sepertinya ia sangat merana.

Ia lebih cerah sekarang. Lima tahun silam terakhir menjejak kaki di gerbong kereta ekonomi sesudah aku lulus kuliah, baru sekarang kusapa lagi gerbong ekonomi . Harganya sudah berlipat lebih dari tiga puluh delapan ribu. Tapi memang naik kereta ekonomi sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Satu persamaan hanyalah ia masih memberi banyak sekali cerita dari jarak yang diiris selapis demi selapis, dari stasiun ke stasiun yang disinggahi.

Tiada lantai kumal yang jadi bancakan para penyapu lantai berbekal pewangi murahan lantas meminta uang dari penumpang. Lantai bersih, kursi yang rapi jali, dengan pendingin ruangan, penumpang bisa lelap semalaman bukan seperti menikmati sauna berjalan dan penumpang keluar dengan penuh keringat, kelelahan.

Roda-roda kereta meninggalkan ibukota, menggilas jarak dan menjadi tempatku menyandarkan punggung kira-kira sepuluh jam ke depan.

Kursiku di tengah, berhadapan dua-dua, depanku tentara, angkatan udara sepertinya, kutebak dari beberapa ignisia di tas yang dibawa. Rupanya benar, dia tentara, angkatan udara.

“Ke mana mas?” Kataku, membuka percakapan.

“Solo.” Jawabnya singkat, tegas, seperti aba-aba di upacara bendera.

“Pulang mas?”

“Begitulah mas, baru selesai dinas tadi sore, langsung pulang, kangen bapak-ibu mas.”

Matanya tampak merah, muka kuyu. Mungkin rumah dan bersua orang tua baginya adalah obat lelah paling mujarab. Si tentara lantas memejamkan mata, mencoba menikmati perjalanan panjang dengan lelapan mata.

Aku pun demikian, menikmati adu roda besi dengan rel dengan memejamkan mata. Dulu, aku tak bisa begini, pernah aku tidur aku disenggol pengamen yang kasarnya minta ampun, bukan meminta tapi memaksa. Setan-setan pengganggu tidur bergentayangan, berujud pengamen, pengemis, penjual minuman sampai banci yang genit mencolek penumpang.

Bantal sewa gocengan menjadi penghalus kerasnya kursi. Aku terlelap dalam malam yang semakin hitam.

Ia, tiba-tiba berhenti. Cirebon kutatap lamat-lamat, beberapa penumpang turun. Di sini ia berhenti sedikit lama, mungkin ia ingin istirahat setelah lelah mengangkut penumpang.

Ada yang menarik di gerbong, penumpang menggelepar begitu saja di lantai. Ini sama, lima tahun lalu pun serupa, demikian adanya. Beberapa sudah membawa koran sebagai alas, sebagian lain membawa matras dan tidur lelap.

Tentara di depanku tak ada, dia ada di bordes antara sambungan gerbong. Tidur dengan alas koran. Aku melompatinya menuju restorasi di gerbong depan. Dengan hati-hati aku melangkah di antara tubuh-tubuh yang merebah.

“Pesan apa mas?”

Aku di restorasi, melihat-lihat menu yang ditawarkan. Tak ada yang menarik, lagipula aku tak pernah tertarik menu di kereta. Sedikit rindu pada dagangan kaki lima di stasiun tempat ia singgah singgah, semacam pecel, atau nasi rames yang sekarang tak ada.

“Kopi saja mas, tanpa gula”

Kopi seperti biasa adalah teman yang lekat untuk menghalau malam. Ia makin melaju, mengikuti loko berjalan ke timur. Cirebon telah lepas. Seharusnya ia sekarang mengular melewati punggungan Brebes menuju Purwokerto. Di luar gelap, aku tak tahu sampai ke mana, maka kegelapan adalah misteri dan perjalanan ini makin menarik, aku menyongsong ketidaktahuan.

Teguk demi teguk, tinggal ampas. Aku kembali menuju bangku dua-dua. Deru kereta makin memekik, kiranya ini masuk dataran tinggi. Aku duduk, orang-orang masih bergelimpangan di lantai gerbong. Dalam sunyi, kopi khianat, tak mampu menjaga mataku menyala lebih lama. Aku pun merebah pada punggungan bangku yang tegak.   Menikmati perjalanan yang masih sangat lama.

Jogja masih lama, kutaksir masih tiga-empat jam. Gerbong Ekonomi sekarang serupa hotel kelas melati. Cukup nyaman untuk tidur lelap. Aku merasa, Jawatan Kereta Api sudah memanusiakan gerbong-gerbongnya, sekaligus memanusiakan penumpangnya.

Tapi memang mudah memoles gerbong, tinggal kirim ke depo, yang susah adalah memoles penumpangnya. Semacam revolusi, mengubah kebiasaan yang sudah berkerak puluhan tahun, dulu bisa seenaknya di kereta, sekarang harus turut aturan yang ada. Memang harga berlipat, tapi dibayar dengan kenyamanan yang meningkat.

Ah, tapi kenapa pula aku musti memikirkan soal kereta? Toh aku cuma penumpang. Aku hanya tinggal bayar, duduk dan diam. Soal kereta, itu biarlah bapak-bapak pejabat Jawatan Kereta Api di Bandung sana yang urus.

“Sudah tidurnya mas?” Kusapa si tentara di depanku yang baru kembali dari bordes.

“Sudah mas, kayanya ngopi enak ya mas?” Jawabnya.

“Iya mas, ada kog di restorasi. Ini kopi saya tadi.” Kataku, sambil menunjukkan gelas kopi yang tinggal ampas.

Si tentara bangkit, menuruti saranku untuk ke restorasi. Mungkin dia juga ingin menghela penat dengan kopi.

Ia, gerbong-gerbong kereta terus berisik menembus malam. Sesekali ia membunyikan klakson panjang. Menunjukkan sombong, ia hendak lewat.

Jogja masih lama. Sebelum si tentara kembali dari restorasi. Kopi yang khianat tadi sudah menikam. Bubuk-bubuk kopi sudah tiada guna. Mataku makin berat, kantukku makin menjadi.

Kukira di sela Ajibarang atau mungkin Purwokerto aku sudah terlelap.

“Mas-mas, permisi mas, mau dibawain tasnya mas?””

Aku merasa bahuku digoyang-goyang. Lamat-lamat kubuka mata, ada sepasang wajah berkumis tersenyum ke arahku. Aku mencari-cari di mana kacamataku. Rasanya dunia kabur, mataku seperti berbilur. Belum sadar benar, dunia rasanya riuh. Suara porter yang membangunkanku, suara pengumuman di stasiun, suasan derap langkah yang tergesa-gesa. Semua campur baur.

“Hah? Oh, gausah mas. Maturnuwun” Aku masih linglung. Beberapa detik bingung. Kepala masih berat. “Di mana ya ini mas?” Lanjutku pada porter dengan senyum ramah

“Di Madiun mas…”

Celaka.

Tabik.

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

32 KOMENTAR

  1. Saya heran juga lihat foto di atas. KA Ekonomi sudah bagus, kok ya masih ada yang tidur melantai? Mungkin memang benar, karakter bangsa kita harus diubah.

    Tapi ya apa mungkin? Jangan2 budaya tidur seperti itu sudah mendarah daging jadi susah dihilangkan. Apa mungkin juga, karena kita lebih sering bertolak pada budaya dan kebiasaan barat maka perilaku yang seperti itu dianggap “tidak tepat”.

    Mungkin memang bangsa ini perlu suatu aturan tegas agar bisa tertib. Misal KA menerapkan aturan “DILARANG TIDUR DI SEPANJANG AREA INI” ditambah sweeping oleh polsuska.

    Eh, Madiun? Rupanya dirimu terlelap lama juga ya Mas Bro dan tidak terusik sedikit pun, hehehe. Tapi masih sempat mengejar kereta Madiun Jaya buat balik ke Jogja?

    • selidik punya selidik ternyata yang klekaran itu adalah rombongan PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). jadi mereka bisa tidur nyenyak sepanjang perjalanan dan paginya bisa langsung bekerja..begitu mas..

      saya memilih jalan-jalan dulu mas, lalu balik naik SK. Adrenaline Rush..

  2. Kenangan ekonomi memang membekas mas, selama saya di Taiwan saya sering cerita ke teman2 lokal bagaimana kondisi kereta kita yang masih banyak pengamen dan pedagang seliweran di dalam,,sering saya bilang kereta Taiwan “hambar” banget,. hehe,. dan eh, ndilalah begitu pulang sudah g ada semua itu (pengamen ma asongan).., haha,.
    sekarang kayaknya cuman tinggal bis yang masih menyisakan “kerakyatan”nya

    • hihi…
      benaaar! 🙂 kenangan-kenangan itu sekarang sudah ga ada..
      bis pun sekarang sudah makin bagus dan mewah..mungkin selera masyarakat juga sudah berubah..

  3. bahasa penyampaian yang enak dibaca, mantab… maju terus Chan..
    Penak men awakmu saiki rajin balik kampung

    Ps: kalau nongol lagi di TV dandannya yang gahar dikit ah, jangan cupu2 bgt,, ^^

  4. Hahaha aku juga ngrasain jaman dulu pas mudik naik kereta bisnis masih ada tiket berdiri 😀 😀

    Sekarang lebih nyaman memang Mas, dan paling suka bagian kopi hitam tanpa gula… saya biyanget 😀 😀 🙂

  5. Setelah baca ini jadi kangen naik kereta lagi. Salah satu memori paling berkesan buat saya adalah waktu kecil naik kereta dari Jakarta ke Semarang yang menjadi tradisi tahunan. Kereta Senja Utama kelas bisnis, gerbong kereta yang bergoyang lembut dan sesekali berderap kencang, suaranya itu lho merdu banget. Tapi untuk urusan kebablasan naik kereta untungnya belum pernah, cuma pernah bablas ketiduran pas naik bis. 🙂

  6. wah sama! 😀 saking nyamannya kereta saat ini, saya pernah tertidur dalam perjalanan bandung-jogja. bangunnya di solo! untung saja tujuan akhirnya cuma solo. 😀

    btw, saya suka tulisannya, mengalir. enak. 😀

  7. Saya pernah naik gerbong waktu itu jurusan Cirebon – Yogyakarta. Ini kedua kalinya saya naik kereta. Waktu itu tengah malam dan betapa kagetnya saya banyak yang tidur sampai di lantai2. Saya posisi kursi paling belakang dan meloncati semua dari kepala dan badan orang2 itu. Gak enak banget rasanya mas… 🙁

  8. Kereta kelas Ekonomi memang jadi bagian yang ga bisa dilepasin dari perjalanan. Dari dulu, kotak metal ini yang selalu anter saya pulang pergi liburan. Sampai sekarang.

    Baca tulisan Mas jadi inget ibu penjual kue dan pemuda penjual kopi yang cekcok di kereta karena saling ngehalangin jalan. Cekcok di sebelah saya yang mau tidur. Sampai akhirnya saya yang marahin mereka biar mereka diem. Hahaha. Sedikit lebih beruntung dari Mas, saya ga pernah ketemu, apalagi dicolek pengamen multisexual di kereta.

    Tabik.

  9. Harus diakui saat ini PT KAI sudah melakukan perbaikan yg sngat besar, reformasi menurut istilah di instansi kita, walaupun belum sempurna yg pernah merasakan kereta api dulu dan sekarang spt njenengan pasti terasa banget
    Dulu saya ingat sekali mas wkt mau pulang ke magelang brg temen2 STAN naik ekonomi, persis apa yg njenengan ceritakan pedagang asongan, pengamen atau lebih tepatnya preman tukang paksa, sampe tukang bersih2 kereta seliweran, mau tidur pun khawatir dgn keamanan 🙂 dr situ saya tdk prnah naik kereta lagi baik ekonomi sampai eksekutif. Tapi kini kereta menjadi idola baru bagi saya mendekatkan magelang dgn jakarta pun dgn kereta ekonominya yg memang memanusiakan manusia,luar biasa pelayanannya sekarang 🙂
    Terkait orang yang tidur dilantai biasanya adalah PJKA, kl saya pribadi tdk terganggu dgn kebiasaan ini hehe wong kalo msh ada tempat pengen ikut nggletak 😀

    • hahaha…
      dulu kita mudik bareng, istri njenengan sekarang ini kan dulu pernah ilang di purwokerto..kita berdua sampai panik cari-cari..

      betul perlahan tapi pasti kebijakan perkeretaapian semakin memanusiakan penumpang… 🙂

  10. knp ya kreta kursinya ga dibikin aja agak miring biar ga tegak terus duduknya, gitu, trus menghadapnya satu arah saja gitu ya, dibikin kayak tempat duduknya bus bus gitu ya

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here