10400170_1136741220995_5115822_n
Pertama kali masuk Kompas, jadi petugas gudang berkas

Di gudang berkas yang berdebu dan lembab saya memulai segalanya tujuh tahun lalu. Lulus kuliah saya harus magang dulu, saya mengistilahkan “sekolah bekerja” di KPP Pratama Tanah Abang Tiga, yang lokasinya persis di titik carut marut kemacetan antara Tanah Abang dan Perempatan Karet.

Saya berpikir saat magang tugas saya akan setara dengan pegawai lainnya, tugas yang taktis atau klerikal. Ternyata salah, ada jenjang bertahap yang harus dilalui. Anak baru, anak bawang tidak langsung diberikan tugas setara, mereka harus berjuang dari mengerjakan hal yang remeh – temeh.

Pada akhirnya saya menyadari hal itu dan mulai menjalani masa magang.

Saya berada di gudang berkas dan tugas saya seharian hanya memasukkan formulir SPT Tahunan ke amplop cokelat, menghitungnya dan mengelompokkannya. Itulah pekerjaan pertama saya. Pekerjaan remeh temeh bukan? Apa gunanya saya kuliah jauh-jauh di Jakarta, belajar mati-matian, tapi hanya disuruh memasukkan formulir SPT ke amplop.

Tapi memang untuk menjadi mahir harus menjadi pemula, untuk menjadi pintar harus melewati proses belajar, untuk berada di tempat tertinggi harus menapak di tempat terendah bukan?

Awalnya saya merasa sedikit sombong, masa mahasiswa STAN kerja beginian? Tapi lambat laun saya menyadari bahwa ini proses yang harus saya lalui, ada proses supaya ada hasil.

Bersua Engkong

Di gudang berkas saya justru belajar banyak hal, gudang pengap penuh tumpukan berkas yang oleh banyak pegawai dijauhi karena dianggap tak bergengsi justru istana bagi saya saat magang. Di situlah saya bertemu salah satu guru kehidupan saya, Engkong.

Panggil saja Engkong karena memang begitulah ia disapa di kantor.

Engkong adalah penguasa di gudang berkas, sudah hampir pensiun dengan rambut putih dan jenggot yang juga sama putihnya. Biarpun begitu, namun jika berkata soal berkas, Engkong jagonya. Ia hafal lokasi dan posisi ribuan berkas wajib pajak yang ada di gudang. Ia juga cekatan, memindah, mendorong rak berkas yang ukurannya besar, serta tekun memilih-milih berkas.

Padanya saya belajar, spesialisasi adalah segalanya.

Atasan Engkong belum tentu bisa melakukan tugasnya, pegawai lain pun belum tentu. Tapi bayangkan jika Engkong absen? Jika petugas berkas tak ada? Mau jadi apa kantor? Posisi Engkong banyak diremehkan, namun rupanya posisinya adalah posisi krusial, pemegang data, kuncen data.

Apa Engkong mengeluh di posisinya? Entahlah. Tapi dari gestur sehari-harinya saya percaya tidak. Engkong berangkat pagi, jam 8.30 tepat sudah di gudang berkas, mulai menata, memilah berkas. Diam, senyap, namun teratur dengan ritme cepat. Bertahun-tahun di posisi paling bawah dalam strata piramida jabatan, Engkong terus bekerja, semaksimal yang bisa ia berikan.

Mengingat Engkong saya lantas berpaling pada apa yang terjadi sekarang. Banyak ditemui kondisi di mana bawahan mengeluhkannya atasannya.

“Kepala Kantorku busuk” atau “Kepala Seksiku Gaiso opo-opo”

FB_IMG_1434680334794
Rapat ketika masih di Garut, rapat apa? Entahlah, lupa

Ternyata jabatan tidak menjamin value pribadi pengemban jabatannya. Bahwa jabatan hanya sekedar embel-embel. Justru value dari diri pribadi-lah yang akan menjadi pembeda, membuat seseorang dihormati orang lain. Mengingat Engkong, ingat juga banyak pelaksana yang dipuji brilian, banyak pelaksana yang memiliki value lebih sehingga dihormati orang lebih.

Maka dari Engkong saya belajar, jabatan bukanlah sebuah hal untuk dihormati, value orang-lah yang membuatnya layak dihormati, apapun jabatannya. Engkong barangkali petugas dengan jabatan remeh-temeh, tapi apa dampak kantor tanpa adanya Engkong? Bisakah kantor berjalan tanpa apa penjaga gudang berkas? Pikirkan.

Buat apa menghormat orang yang punya jabatan jika tidak ada value lebih, tidak ada yang membuatnya dihormati selain jabatannya?

Jika menghormat pada orang yang demikian maka beberapa tahun lagi haqqul yaqin saya akan tumbuh dewasa menjadi seorang penjilat dan saya tidak mau menjadi seorang penjilat.

Penghasilan dan Zona Nyaman

Hiruk pikuk perdebatan kenaikan penghasilan beberapa waktu lalu membuat saya bisa melihat beberapa karakter kolega saya, ada yang idealis, ada yang pragmatis, ada yang munafik, ada yang diam-diam saya. Saya menyukai perdebatan yang timbul, namun yang tidak saya sukai adalah perdebatan yang berujung kontraproduktif, perdebatan tanpa ujung dan tanpa argumen yang jelas.

Silakan cari, pekerjaan klerikal macam apa yang dibayar dengan penghasilan delapan digit? Lalu dipikirkan lagi baik-baik kembali, institusi apa yang jika pegawai bekerja tidak maksimal masih menjadi pemakluman, namun tetap digaji sama dengan pegawai yang bekerja mati-matian?

Bahkan menurut saya, seorang Account Representative kenaikan penghasilannya seharusnya penghasilannya lebih besar lagi, sebanding dengan resiko yang dihadapi, dengan beban penerimaan yang seolah semuanya ditimpakan padanya. Ingat setiap akhir tahun, jika penerimaan tidak tercapai, selentingan yang muncul, “AR-nya gimana sih kerjanya?”.

Jika yang diperbincangkan adalah timpangnya penghasilan antara pelaksana dan Kepala Seksi, pertanyaan saya dua : “Situ kapabel jadi Kepala Seksi?” dan “Situ bersedia pulang jam 7 malam setiap hari?”

Padahal kenaikan penghasilan direspon dengan perbaikan manajemen, ada seleksi terbuka jika ingin naik jabatan dan hanya yang punya kapabilitas-lah yang berhak menduduki jabatan. Institusi meminta orang-orang terbaik-lah yang akan menduduki jabatan yang tepat pula.

Maka seharusnya selentingan “Aaaaah, Si A jadi Kasi kan karena dekat sama pejabat” atau “Kerjanya apa sih? Gitu doang jadi Kasi.” akan menjadi minimal dan jika ada barangkali ditantang saja sekalian, apakah yang berkomentar sanggup melalui seleksi terbuka. Begitu saja kan?

Institusi ini memang sudah berada zona nyaman, walaupun progresif tapi pergerakannya terlalu lambat, belum ada plan ke depan yang jelas, perubahan hanya mengikuti permintaan bukan perubahan karena ada master plan atau rancangan kebutuhan. Padahal seperti kata orang, zona nyaman itu membahayakan.

Keberadaan zona nyaman yang dialami institusi ini berimbas pada pegawai-pegawainya. Terlalu lama duduk diam di zona nyaman dan seketika reaktif ketika ada perubahan yang cukup progresif.

FB_IMG_1434680764337
Ketika masih menjadi Account Representative

Saya merasakan bagaimana bahayanya zona nyaman, sebelum saya downgrade kembali menjadi pelaksana, saya adalah seorang Account Representative. Pada tahun ketiga di posisi tersebut saya sudah stuck, saya sudah nyaman. Kinerja saya bagus, target setiap tahun terlampaui, lalu saya hendak mengejar apalagi?

Tidak ada hal baru lagi. Lambat laun saya merasa pekerjaan saya tidak ada artinya, tidak ada motivasi lagi untuk bekerja, hanya sekedar melaksanakan kewajiban saja.

Itulah salah satu alasan kenapa saya memutuskan pindah ke kantor sekarang, walaupun jika dibandingkan dengan penghasilan baru, saya kehilangan potensi penghasilan yang lumayan besar. Tapi hidup selalu ada kompensasi dan konsekuensi bukan?

Saya sadar, jika saya berada di zona nyaman bukan hanya saya saja yang rugi, tapi institusi. Institusi membayar orang yang sudah tak memiliki motivasi lagi untuk bekerja. Buat saya, itu sama dengan saya korupsi, makan gaji buta, menerima uang tapi tidak memberikan upaya.

Maka jika ada yang mengeluhkan kenaikan penghasilan yang tidak sebanding, mungkin saya harus katakan bahwa jika ingin penghasilan yang sepadan, buktikan kualitas diri saja jika memang layak digaji sepadan.

Playing Victim : Penempatan

Premis yang berlaku umum di institusi ini adalah penempatan. Penempatan selalu menjadi pembelaan, premisnya semakin jauh penempatan, semakin menderita. Yang penempatan makin jauh, adalah korban. Benarkah demikian?

Saya jawab tidak, setiap kota memiliki masalahnya sendiri. Yang di Jakarta belum tentu lebih nikmat daripada yang di daerah, sebaliknya pun demikian. Semuanya relatif. Semua punya sudut pandang masing-masing. Ada yang bilang penempatan adalah nasib, ada yang bilang nasib sial, tapi banyak justru yang melihat penempatan adalah peluang. Sekali lagi, ini hanya soal sudut pandang.

Penempatan adalah hal yang sensitif, dua strip. Hal yang bisa membuat orang tiba-tiba galak, lalu merasa paling benar. Premis-premis itu dimulai dengan pertanyaan konfrontatif “Kamu memang pernah penempatan di luar Jawa?”, atau “Alah, coba kamu yang penempatan di sini!”.

Sebenarnya premis tersebut sudah usang dengan pernyataan sederhana “Buktikan bahwa kamu memang layak penempatan di Jawa atau Homebase deh.”

Jika penempatan soal nasib, saya diingatkan bahwa Tuhan tidak merubah nasib suatu kaum, jika kaum tersebut sendiri tidak merubahnya. Ada banyak usaha ke Jawa atau homebase. Bisa ikut open bidding, bisa berprestasi sehingga yang di Jawa notice, bisa kuliah lagi. Tidak ada yang mustahil, yang mustahil adalah jika hanya berdiam diri tapi meminta penempatan di Jawa, lalu mengeluh dan mengutuk orang-orang yang tidak senasib dengannya.

Saya memang belum pernah penempatan di luar jawa. Tapi setiap saya traveling ke luar jawa, saya selalu menyempatkan bersua teman-teman yang ada di sana. Saling berbagi kisah, saling menguatkan. Minimal saya tahu apa yang terjadi di luar jawa, minimal saya peduli dan minimal saya bisa membantu semampu saya.

Apa memang penempatan homebase adalah jawaban atas segalanya? Mungkin jika masih menjadikan penempatan sebagai pembenaran. Yuk lirik sejenak, teman-teman TNI yang ditempatkan di gubug-gubug perbatasan, hanya mendapat gaji pokok, tunjangan tak seberapa dan uang beras. Lalu jika masih bersikukuh bicara kerja kita lebih berat karena mencari uang untuk negara, kita bisa ingat satu kata, pengabdian.

Naif / Idealisme?

Barangkali saya naif bukan idealis. Saya kadang merasa institusi ini seperti sangkar raksasa dengan ribuan peraturan di dalamnya, membuat yang di dalam sangkar walaupun bisa bergerak tapi tidak bisa bergerak sesuai kehendaknya. Kadang saya merasa tidak ada ruang improvisasi, inovasi, semua terbentur satu kata, birokrasi, aturan.

Saya juga bisa jadi munafik atau naif, tapi sebisa mungkin saya menjaga idealisme. Apa yang bisa saya pegang selain idealisme? Bisa saja saya dibilang keras. Saya sering konfrontatif, saya pernah berkonflik panjang dengan atasan sampai atasan memindahkan saya. Biarlah, tapi saya punya idealisme. Idealisme yang membuat saya berusaha untuk terus berbicara dan menyampaikan pendapat.

Jika, sebagai pegawai saya harus tunduk pada aturan, maka sebagai manusia saya berpegang pada satu hal, idealisme. Tapi bisa juga saya naif karena saya mendapatkan kenyamanan yang orang lain tidak dapatkan.

Sekali lagi, ini hanya soal sudut pandang. Saya merasa belum bisa adil pada diri sendiri, apalagi pada orang lain.

Tabik.

NB : Tulisan refleksi 6 tahun bekerja sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak (tidak dihitung magang). Catatan sebelumnya.

FB_IMG_1434680121965
Teman-teman kantor baru
Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

35 KOMENTAR

  1. ada tertulis, ‘Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.’ ……

    waheed gak ini bib?

  2. Tentang Engkong. Aku terkadang miris dengan ungkapan para motivator yang seakan merendahkan pekerjaan ramah temeh. “Jangan sampai Anda tua masih kerja rendahan” Memang ungkapan itu ada benarnya, namun mengapa merendahkan mereka sedang kita banyak menemukan ilmu kehidupan dari mereka?

  3. penempatan emang perkara sensitif mas, kayak nanya berapa umur ke perempuan hehehe…
    soal pen4an… alhamdulillah 8 taun di djp (7 taun + 1 taun magang) membuat saya semakin mencintai Indonesia dengan segala keunikan, plus minus suatu daerah…
    kalo di daerah yang sepi itu ujian, kalo di kota itu tantangan 🙂
    dan saya percaya mau ditempatkan dimana aja, jodoh, mati udah ada yang ngatur, tinggal 1% usaha mas 🙂
    apapun yang terjadi saya berusaha mengingat kata2 orang jaman dulu “nerima ing pandum” aja…

    salam dari saya yang pernah mencicip setaun “belajar tapi nggak kerja” di jakarta, eh…di jakarta coret deng 🙂

    *btw maschan di direktorat apa? siapa tau bisa kopdaran…
    suwun

  4. “belum ada plan ke depan yang jelas, perubahan hanya mengikuti permintaan bukan perubahan karena ada master plan atau rancangan kebutuhan”

    Entah kenapa pas baca kalimat ini, kok jadi mirip sama yg saya alami walaupun ya saya bukan PNS sih. :p

    Mungkin karena kita yang masih muda-muda ini selalu ingin “tantangan” untuk mewujudkan masa depan yg lebih baik. Beda dengan generasi di atas kita yang baru berpikir akan masa depan ketika “kenyamanannya” mulai terusik.

  5. saya sendiri punya 2 orang temen alumni STAN yang satu dinas di BPKP, satu lagi di pajak klo gak salah deh. tapi di jakarta semua sih mereka.
    Ada perbedaan job desk klo saya liat dari mereka itu, yang di BPKP masih sering jalan2 luar kota dan mudik ke Purworejo. nah yang di pajak itu sibuk banget, sampe jarang mudik ke Kroya dan sering dinas ikut atasannya ke luar Jawa.
    Yang di BPKP skrg sedang kuliah lagi di UNS mengikuti program prostar BPKP. Aapakah yang sedang kuliah itu masih menerima gaji mas?

  6. KH. Imam Khambali dari Surabaya, saat ceramah di Malang yang dihadiri Gus Ipul (Cawagub Jatim saat itu), pernah berkata bahwa pekerjaan sekecil apapun, seremh apapun adalah berkah, adalah mulia jika sudah berjanji dalam ucapan “radithu billahi rabba, wa bil islami dina, wa bi muhammadin nabiyyaw wa ra sula.”Jika sudah mengaku ridha Allah adalah Tuhanku, maka kita harus siap dengan segala ujian-ujian yang ditimpakan kepada kita. Barangkali khatib salat Jumat tiada bosan meyampaikan pesan, yang membedakan umat Allah hanyalah soal taqwa 🙂

  7. Refleksi yang menggugah Mas. Idealisme memang satu2nya yang harus dijaga. Kalau dalam individu nggak ada lagi idealisme aku nggak tahu apa yang menggerakkan seseorang dalam tiap tindakannya. Hehe. Yang penting idealismenya nggak kebablasan dan keblinger. Tentang DJP aku setuju juga… Tapi aku belum bisa berkontribusi apa2 juga sih di luar kerjaan yang lalu.

  8. siapa bilang penempatan homebased nyaman……13 thn dihomebased bikin saya gak berkembang, malasss dan ogah mikir, akhirnya minta pindah supaya wawasan dan pergaulan kembali terbuka lebarr

  9. Salah satu alasan saya nggak berminat jadi PNS juga sama Bang, birokrasi dan matinya kreatifitas. Saya nggak mau mati bosan *alah apa sih bahasanya*. Mirisnya, masih banyak orang tua-orang tua yang menginginkan anaknya menjadi PNS karena zona nyaman itu

  10. masya Allah si bapak kece satu ini ternyata PNS KemenKeu tah?
    teman-teman almamater banyak yang masuk sana mas, salam kenal *jabat tangan

    wah tulisan satu ini kayak lagu SUm 41 yang In too deep mas,
    sarat pesan moral dan membuat pikiran menerawang jauh kesana,
    ya kalau saya mah disyukuri aja, mau jadi apa dan dimana saja.

    anyway kalau soal remeh temeh atau bukan menurut saya dari kitanya juga kali yah, anyway kerjaan awal saya juga remeh temeh mas, yaitu cuma nyocokin data dan kasih tanda data mana yang salah, setelah berlama-lama dan diberi rejeki, saya jadi tahu, bahwa kerjaan saya itu penting. so soal remeh temeh atau bukan, bair kita yang menilai serta disyukuri aja, toh Gusti Allah lebih tau baiknya kita jadi apa dan dimana, iku pendapat saya loh mas 😀

  11. Entah kenapa membaca tulisan ini seperti bercermin pada diri sendiri? Kok bisa pas ya? Saya pertama kerja juga mengerjakan yang remeh temeh namun penting itu, walaupun tak sama persis kerjaannya, tapi dulu sempat minder juga. Salut mas…

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here