kites-kids-flying-kites-hz
sumber gambar : http://arlaswooyswar.blogspot.com/2011/06/quotes-on-kites.html

Afghanistan, debu, perang tak berkesudahan, kekolotan dan fanatisme. Itu mungkin gambaran banyak orang tentang negara tak berlaut di Asia Tengah. Afhanistan adalah kisah tentang perjuangan bangsa-bangsa menaklukkan bentang alam yang angkuh, yang bergunung-gunung, yang menyisakan debu di setiap mata memandang.

Dan dari taburan debu yang maha luas itu, cerita sederhana ini bergulir.

Awalnya hanya kisah antara 2 anak manusia, Amir dan Hassan. 2 anak kecil yang tak tahu apa-apa namun terpisah strata. Satu anak orang berpunya, satu anak orang papa. Kisah ini lalu berlanjut menjadi kisah persahabatan, sedikit dibumbui segregasi strata.

Perbedaan garis antara si kaya dan si miskin sudah dipaparkan dengan tegas oleh Khaled Hosseini, si pengarang sejak kisah ini bermula. Hassan dicitrakan selalu melindungi dan melayani Amir, seolah Hassan mengikuti garis nasib keluarganya yang turun temurun ditakdirkan sebagai khadimat keluarga Amir.

Garis pemisah tak hanya disini saja. Afghanistan adalah persoalan dimana perbedaan suku dan kepercayaan bisa membuat orang berkalang darah. Amir adalah Pashtun – Sunni tulen, sementara Hassan adalah Hazara – Syiah yang taat. Garis mendasar itu seharusnya bisa membuat alur cerita tragik, Amir dan Hassan saling bunuh atas nama suku dan Tuhan. Tapi Khaled menolak mengikuti arus umum itu, dia memilih melembutkan cerita bahwa di Afghanistan pun perbedaan suku dan kepercayaan bisa berujung indah dan rukun.

Kisah ini kemudian mengalir, awalnya lembut lalu lambat laun semakin deras. Hassan adalah martir bagi Amir, setiap Amir ditimpa kesusahan, datang Hassan membela. Setiap Amir dirudung derita, Hassan datang menggantikan Amir menanggung derita.

Tapi memang itu nasib menjadi anak khadimat, selamanya akan menjadi khadimat.

Dan cerita ini tak selamanya murung, walau sebagian latar kisah adalah soal carut – marut negeri para mullah ini. Afghanistan dalam cerita ini sebenarnya menyisakan warna cerah, secerah dunia riang anak-anak seumuran Hassan dan Amir.

Hassan dan Amir adalah warna keceriaan tersendiri dalam cerita. Hubungan antar personanya yang membuat cerita ini tampak membahagiakan. Alurnya sangat ringan dicerna, mudah dipahami.

Hubungan sahabat sekaligus khadimat sejak cerita dibangun adalah kekuatan buku ini. Ketulusan Hassan melindungi Amir, walaupun Amir secara diam-diam panas hati melihat Hassan si anak khadimat ternyata lebih disayangi ayahnya, lebih cemerlang daripada apa yang dipikirkan Hassan.

Cerita tampaknya akan lurus-lurus saja, tapi di sebuah titik Khaled tiba-tiba membelokkan arah cerita, dari jalan lurus ke jalan bergelombang.

Sedikit mundur ke belakang, dalam dunia Amir dan Hassan layang-layang adalah seperti hobi massal orang Afghanistan. Semua orang berduyun-duyun bermain layang-layang saat senggang. Begitupun karib sejoli Amir dan Hassan. Bahkan disaat musim layang-layang, ribuan layang-layang mengangkasa, menghias langit.

Kegemaran mendatangkan gengsi, layang-layang menjadi sebuah tanda kebanggaan, dilombakan. Adu gengsi layang-layang di Afghanistan adalah tentang bagaimana layang-layang yang paling kuat, yang paling sendiri bertahan di langit yang menang.

Amir dan Hassan pun bertaruh nasib di ajang adu gengsi layang-layang ini. Hassan sebagai khadimat menyokong Amir yang berjuang, sampai di penghujung ketika layang-layang Amir harus menyingkirkan layang-layang lain untuk menang. Hassan memberi pesan yang dituruti Amir. Bisa ditebak, Amir menang, layang-layangnya juara, layang-layangnya dipuja dan menjadi kebanggan

Tapi kemana Hassan?

Hassan rupanya mengejar layang-layang biru terakhir yang putus dan dihajar layang-layang Amir. Untuk melengkapi kemenangan, si pemenang harus mendapat layangan terakhir yang putus. Hassan yang larinya cepat bak serigala gunung kemudian berlari, mengejar layang-layang putus, demi Amir. Sahabat sekaligus tuannya.

Amir mengejar Hassan, melihatnya mendapat layang-layang. Harusnya Amir bergembira, tapi Hassan melihat kepiluan. Amir dicegat Assef, tokoh menakutkan bak monster dan meminta layang-layangnya. Hassan jelas tidak mau, layang-layang ini adalah milik Amir, sahabat sekaligus tuannya.

Mendengar ini tanpa ampun Assef mengeluarkan kekejamannya. Bak kisah Sodom dan Gomorah, Assef melecehkan Hassan. Dan Amir yang melihatnya hanya terdiam, hatinya bimbang, campur aduk. Amir kelu antara dia akan membela Hassan, sementara hatinya dipenuhi ketakutan. Pada akhirnya Hassan menerima nasibnya sebagai khadimat, menderita, pasrah ketika tahu Amir bersikap untuk diam saja, berlalu dan meninggalkannya.

Cerita lalu berlanjut pedih, amat pedih. Khaled menukar dunia riang kanak-kanak dengan kepiluan, tragedi dan fitnah. Alur cerita mendadak berjalan cepat. Hassan yang sudah menderita, Amir yang malu melihat apa yang menimpa Hassan dan memilih diam. Khaled meramu kisah dengan latar ini.

Cerita ini lalu retak. Hubungan mereka digambarkan Khaled menjauh. Sahabat ini dahulu tak mau berpisah, sekarang bak air dan api, tak bisa bersatu. Amir ingin Hassan enyah dari hidupnya, sementara Hassan sendiri bersikap biasa saja, masih menganggap Amir sahabat baiknya.

Sampai akhirnya Amir kalah dengan hasutan sifat iri dan rasa bersalahnya. Amir merancang mufakat jahat untuk memfitnah Hassan. Amir ingin Hassan pergi dari hidupnya. Fitnah dibuat, Hassan menjadi pihak yang salah.

Amir menghasut ayahnya untuk mengusir Hassan dan keluarganya. Amir menang, Hassan pergi bersama ayahnya meninggalkan Amir si kaya. Walaupun di hati ayah Amir, dia tak mau mengusir Hassan.

Amir menang, Hassan terbuang.

Dalam novel ini, Khaled dengan pintar membuat twist cerita. Mencampuradukkan emosi pembaca. Sekaligus memberikan deskripsi latar di cerita ini. Dari apa yang digambarkan Khaled, saya bisa menebak kira-kiri di era berapa lini waktu cerita ini bermula.

Kisah ini sebenarnya dibaca dengan cermat juga bermuatan sejarah dan politis. Sisi politis ini bisa dibaca tersirat ketika di Novel ini diceritakan bagaimana Soviet datang dan memporak-porandakan tatanan di Afghanistan. Komunis merubah tatanan islam yang sudah mengakar dan mereka yang tidak setuju dengan haluan politik dipaksa berdiaspora meninggalkan Afghanistan. Termasuk Amir.

Dari sini Khaled membawa garis waktu cerita ke Amerika Serikat. San Fransisco. Dimana Amir dewasa telah hidup mapan. Tapi apalah arti hidup mapan jika terus dihantui rasa bersalah? Itulah Amir dewasa, dihantui rasa bersalah sepanjang umurnya atas apa yang dia perbuat pada Hassan, di waktu dulu.

Khaled membangun ulang cerita. Dikisahkan tiba-tiba Amir dihubungi oleh Rahim Khan, teman ayahnya dulu di Afghanistan yang sekarang pindah ke Pakistan, diminta bergegas datang. Dengan terburu-buru Amir ke Pakistan, tanpa menyadari bahwa semua sudah berubah dan ada rahasia yang akan terkuak.

Disini ada kesan Khaled terburu-buru memutar arah cerita. Dipaksakan untuk kembali lagi ke Afghanistan. Hanya demi membuka tabir rahasia hubungan Hassan dan Amir. Tapi mungkin memang itu yang diinginkan Khaled.

Dari Pakistan setelah sang paman memberi tahu rahasia keluarga, setting berpindah kembali ke Afghanistan. Sekarang Afghanistan adalah medan perang, jauh dari bayangan kanak-kanan Amir. Jika dulu Amir meninggalkan Afghanistan karena invasi kamerad merah, sekarang Amir datang ke Afghanistan disambut mullah berjenggot.

Amir mencari anak Hassan.

Semua dimulai ketika Khaled membangun twist cerita di Pakistan, saat Amir diberitahu Rahim bahwa Hassan sebenarnya adalah saudara kandungnya. Ibu Hassan adalah istri Ali, bapak kandung Hassan yang diselingkuhi oleh ayah Amir. Mendengar kisah itu Amir terkejut tak disangka bahwa sebenarnya rahasia ini dipendam bertahun-tahun oleh ayahnya sampai meninggal.

Kini Amir yang terjebak rasa bersalah selama bertahun-tahun kembali ke Afghanistan untuk menebus rasa bersalah akibat penghianatannya pada Hassan. Khaled mempercepat tempo cerita disini. Dikisahkan Amir di Afghanistan menemui kehampaan dan daerah yang sudah hancur-hancuran. Hassan dan istrinya sudah syahid, meninggalkan seorang anak yang diculik Taliban.

Tak ada pilihan, akhirnya Amir mati-matian mencari anak Hassan, mendobrak markas Taliban. Demi sebuah penebusan dosa, menghilangkan rasa bersalah. Menyelamatkan darah daging martirnya di masa kecil dulu. Kini Amir adalah martir bagi anak Hassan. Amir hanya punya satu tujuan, menyelamatkan Sohrab, anak Hassan dari Taliban dan membawanya menjauhi kepahitan hidup di Afghanistan.

Seperti pesan Rahim, di Pakistan ”Ada jalan untuk kembali baik, Amir”

Cerita lalu bergulir sampai usai. Dan beginilah cara Khaled mengatur alur ceritanya. Berbelok-belok, dengan twist tiba-tiba. Novel ini panjang namun tidak berputar-putar. Novel ini membuat haru tanpa kesan menggurui.

Untuk memahami secara utuh buku ini, pembaca sebaiknya memahami 2 hal penting. Yang pertama adalah memahami bagaimana kondisi Afghanistan di setting buku ini, yaitu mulai dari era Shah, era Invasi Irak sampai era Taliban. Memahami bagaimana konstelasi politik masyarakat Afghanistan. Karena sesungguhnya Khaled menyisipkan muatan-muatan politis dan sejarah yang amat kental pada tiap goresan tinta pada novelnya. Jika jeli Khaled menyisipkan friksi politik antara muslim, Komunis dan Liberalisme. Juga Khaled membenturkan Sunni dan Shiah serta soal chauvinisme suku-suku di Afghanistan, tapi itulah hebatnya Khaled, dia meramunya dengan sangat cantik sehingga menjadi tidak kentara.

Yang kedua adalah memahami latar belakang Khaled Hosseini sendiri. Khaled adalah kelahiran Kabul, Afghanistan. Bapaknya diplomat yang lalu ditugaskan di Perancis, Khaled turut serta. Ketika masa tugasnya selesai, Komunis Russia datang ke Afghanistan. Orang tua Khaled memutuskan untuk mencari suaka ke Amerika Serikat dan tinggallah mereka disana, membangun hidup kembali dari nol.

Saya mengandaikan novel ini adalah memoar Khaled sendiri. Bagaimana dia bercermin dari masa lalunya sampai sekarang, kemudian untuk mengenangnya dia membuat novel ini. Bisa jadi, memang ada bagian-bagian hidup Khaled yang dituangkan di novel ini, hanya Khaled dan Tuhan yang tahu. Pembaca hanya diminta menikmati twist dan berimajinasi tentangnya.

Secara umum saya menikmati cerita ini. Saya menganggap ini bukan cerita remeh temeh persahabatan berlatar belakang Afghanistan. Tapi ini adalah cerita hebat yang akan menyentuh halus sendi sendi kemanusiaan siapapun yang membacanya. Terpujilah Khaled Hosseini.

Tabik.

Post Scriptum : Resensi ini diikutkan dalam lomba Resensi Novel The Kite Runner yang diselenggarakan Perpustakaan Direktorat Jenderal Pajak. Menjadi Nominasi keempat dari 10 Nominasi pemenang.

 

Follow Efenerr on WordPress.com

Warning: A non-numeric value encountered in /www/wwwroot/efenerr.com/www/wp-content/themes/Newspaper/includes/wp_booster/td_block.php on line 997

12 KOMENTAR

  1. Aku kemaren dulu pengen ikut lomba resensi ini juga Chan. Tapi bacanya udah bertahun-tahun lalu. Terus mau baca-baca singkat lagi bukunya ada di kampung halaman sana.. Gak jadi deh.

    Semoga menang ya Chan. Keren ulasanmu 😀

    • sebenarnya dikirimi kog bukunya dari Perpus DJP. 🙂
      aku ga menang mas..yang menang ada 3, kalo gasalah salah satunya angkatanmu..ada di Kepegawaian pengumumannya..

  2. jadi inget sama filmnya, he he he, , , bung Effenerr kalau nulis resensi, belum sebaik travel writing euy, belum bisa bikin orang jadi pingin baca bukunya. Haduh, kalau punya buku besok, ane ogah ah di resensi ama bung efenerr, he he he becanda bung kaburrrr ke blog saya. . . 😛

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here